9. Larangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mendengar derap langkah kaki sedang terburu-buru menghampirinya, Faris segera menghidupkan motor. Bersiap-siap membonceng Alma. Namun, tak terduga. Ia mendapatkan pukulan dari istrinya.

Puk.

Astagfirullahaladzim,” ucapnya menoleh dan menatap istrinya yang sudah menepuk kepalanya barusan. Untung dia memakai helm.

“Dasar Ustadz mesum!”

“Lo sengaja ‘kan tadi dorong pintu kamar gue?!” ketusnya, berkacak pinggang. 

“Biar apa? Biar bisa lihat gue ganti baju gitu? Mau lihat badan gue yang mulus dan seksi ini, hah? Denger, ya. Gue peringatin sekali lagi, kalau lo macam-macam sama gue, gue bunuh lo!”

“Lo Ustadz ‘kan? Bisa-bisanya gak sopan sama perempuan, gak punya adab lo?”

“Lo pikir gue takut sama lo? Mentang-mentang tinggal satu rumah sama gue, ingat ya kita itu bukan pasangan suami istri!”

Sudah kehabisan kata-kata. Alma memalingkan wajah sambil memutar bola matanya dan melipat tangan di depan perut, kesal. Sekarang giliran Faris yang membuka mulut.

“Sudah selesai ngomelnya?” 

“Jangan marah terus,” Faris mengenakan helm di kepala istrinya.

“Marah itu perbuatan syaitonirojim,” lanjutnya.

“Ih, apaan sih. Pakein helm segala.” Alma menyingkirkan tangan Faris, membenarkan helm di kepalanya.

“Gue bisa pake sendiri!” pekiknya.

“Lagian kenapa gak naik mobil aja?” 

“Mobil di bawa Suprik, dia tinggal di apartemen,” jawab Faris.

“Sebenarnya yang majikan dia atau elo sih?” Alma naik ke atas motor.

“Bodoh, percaya banget sama orang. Dibawa lari tuh mobil, baru tau rasa lo!”

Astagfirullahaladzim, jangan suudzon. Suprik itu udah lama kerja dengan saya dan sebenarnya Suprik itu menetap di rumah ini, tapi semenjak kita menikah dia pergi dan saya percayakan mobil padanya,” jelas Faris.

“Lo aja, gak ada kita-kita. Lo budek ya? Kita itu bukan suami istri!”

Faris menghela napas, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sudah tak heran lagi dengan istrinya. Suka bicara ceplas-ceplos, syukurlah Faris tak pernah ambil hati. Tidak ingin memperkeruh keadaan, ia langsung melajukan motor keluar dari halaman rumahnya.

“Pegangan,” ucapnya.

“Ogah,” balas Alma. Duduk diujung motor dengan jarak cukup jauh dari Faris.

Dari pada selalu salah, Faris lebih memilih diam selama di perjalanan. Namun, tak dapat dipungkiri, dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat bahagia bisa pergi bersama Alma. Ini pertama kalinya ia membonceng perempuan kecuali ibu dan adiknya. 

Kok, lama banget sih, gak nyampe-nyampe,” batin Alma. Hatinya mulai tak tenang, ia tak tahu suaminya sengaja membawanya pergi ke indomaret yang jaraknya cukup jauh dari rumah, padahal jika Alma benar-benar memperhatikan ada alfamart di dekat rumah mereka. Hanya saja Faris mengambil kesempatan untuk berdua dengannya. Kebetulan ini malam minggu.

Beberapa menit kemudian mereka sampai, Alma cepat-cepat turun dari motor dan melepaskan helm. Lalu matanya tertuju pada pakaian suaminya. Ia baru menyadari jika Faris bukan memakain celana melainkan sarung dan baju koko lengan panjang, serta poni rambut yang acakan membuat Alma malu diikuti olehnya. Alma menghentikannya.

“Eh, stop!”

“Lo mau ke mana? Tunggu di sini aja,” lirihnya.

“Terus siapa yang bayar? Kamu ‘kan gak punya uang,” balas Faris.

“Yaudah, sini mana uangnya?” Alma menengadah tangan kanannya pada Faris.

Faris menggeleng. “Saya mau ikut ke dalam,” tegasnya.

Alma menghela napas, pasrah. “Yaudah, deh. Serah lo Ustadz pelit!”

Keduanya masuk ke alfamart. Alma mengambil semua kebutuhannya dan diam-diam mengambil minuman kaleng beralkohol. Sayangnya, aksinya itu tertangkap basah oleh suaminya.

“Orang yang meminum minuman keras, shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari.” Faris mengembalikan minuman tersebut.

Alma menatapnya tajam, rasanya mau mencerit sekuatnya. Ia membalikkan badan, berjalan menghentakkan kaki dengan keras menuju kasir sambil membawa belanjaannya. Faris menyusulnya ke kasir, membayar semua belanjaan istrinya. 

“Bawain!” pinta Alma, berlalu begitu saja.

Tanpa keberatan, Faris menurutinya. Membawa semua belanjaan keluar dari alfamart dan meletakkanya di motor.

“Lama banget, sih.” Ketus Alma, tak sabar ingin cepat-cepat pulang.

“Sabar,” balas Faris lembut. 

Alma bergegas naik, padahal Faris belum juga menghidupkan motor. Tanpa sadar kedua tangan Alma berpegang pada baju di pinggang Faris. Sebenarnya itu adalah kebiasaan Alma setiap kali naik motor dengan pacarnya. Menyadari itu, Faris tersenyum bahagia. Ia menghidupkan motor dan mulai melajukannya.

Selama di perjalanan menuju pulang, Faris sengaja tak mengajak istrinya itu bicara supaya tangan Alma tak lepas darinya. Hening, Faris merasa sangat beruntung bisa pergi berdua bersama istrinya meski tak lama. Keduanya sudah sampai di rumah, Alma dengan cepat turun dari motor dan masuk ke rumah. Ia berharap ada pesan masuk dari sang kekasih. Ternyata benar, penantiannya akan segera berakhir. Alma menyesal tak membawa ponselnya tadi, ada 66 panggilan tidak terjawab dan 3 pesan masuk dari Kevin pacarnya.

‘Ma bagaimana kabarmu? Aku baru aja sampai di rumah susun, bundoku udah sehat.. bundo strok ringan. Kita ketemu setelah aku pulang kerja besok, bye.. aku sayang kamu. Tidur yang nyenyak yo.’

'Maaf baru kabarin soalnya di sana gak ada sinyal, maaf ya. Aku janji akan beliin apa aja yang kamu mau besok ya.’

‘Besok hari pertama aku kerja, doain aku ya semoga lancar… kamu udah bobo ma?’

“Aaaaaaa, akhirnya.” Alma menjerit, berjingkrak-jingkrak bahagia.

Faris tak sengaja melihatnya, ia menghentikan langkahnya di depan pintu. Entah apa yang membuat istrinya begitu bahagia, Faris tak ingin mengganggunya. Perlahan ia menutup pintu kamar istrinya dengan hati-hati. Dalam hatinya berkata; “Sejujurnya, melihatmu bahagia hatiku ikut bahagia juga, istriku.”

***

Alarm handphone berdering, tidurnya jadi terusik. Alma masih mengantuk, dengan kesal ia mematikan alarm handphone. Padahal dia sendiri yang mengaktifkan alarm semalam, karena ingin bangun pagi-pagi untuk mengirim chat pada pacarnya. Perlahan ia membuka mata, menatap layar handphone dan mulai mengirim chat pada Kevin.

‘Selamat pagi sayang, semangat kerja hari ini. I miss u so much mau pelukkkk gak sabar ketemu.’

Centang dua, Alma menunggu balasan darinya beberapa menit. Namun, belum juga dibalas. Mungkin Kevin dalam perjalanan menuju ke tempat kerja, pikirnya. Sambil menunggu balasan darinya, Alma bergegas turun ke lantai bawah mengambil makanan ringan yang dibeli semalam. Ia tercengang, melihat meja makan dipenuhi masakan berupa nasi goreng, roti bakar, macam-macam lauk dan makanan lainnya.

“Waw.”

“Surga dunia.”

Alma meraih roti bakar, baru saja ingin melahapnya suatu pertanyaan melintas di kepalanya.

“Tapi siapa yang masak?”

“Hantu?”

Alma tertawa singkat. “Enggaklah goblok!”

“Apa dia hari ini ada di rumah?” pikirannya tertuju pada suaminya.

“Ah, bodoh amat.”

Alma memakan roti bakar, sorot matanya tertuju pada pintu belakang ini yang terbuka lebar. “Tumben,” ucapnya.

Mendengar suara air di belakang sana membuatnya mendekat pada pintu. Alma baru tahu ternyata di belakang rumah ini ada kolam, seorang laki-laki bertelanjang dada sedang berenang di sana. Tanpa sengaja memamerkan tubuh atletisnya yang basah serta rambut acakan. Kulit putihnya memerah, cukup lama berjemur dibawah matahari pagi. 

Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Alma tampak terpesona dengan pemandangan indah di depan matanya. “Ganteng banget,” ucapnya tanpa sadar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro