8. Berpura-pura

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca, silahkan vote dulu ya. Dan jangan lupa komentar juga ❤😍


~~~

Malam yang sunyi, duduk berdiam diri. Menanti kabar sang kekasih. Derai air mata kerinduan meniti pipi chubby. Menenangkan jiwa, memeluk hangat diri sendiri. Sudah dua malam tak ada tanda-tanda kontaknya akan aktif, Alma jadi khawatir. Setiap waktu ia selalu memikirkan Kevin, apalagi dikala sendirian. 

“Capek gue,” jeritnya. Melempar bantal ke lantai.

“Kalau gini terus gue bisa gila!” Ia mengusap kasar wajahnya, frustasi.

“Uang, gue butuh uang supaya bisa keluar dari neraka ini!”

“Gak mungkin gue harus mohon ngemis-ngemis minta duit sama dia?!”

Setelah insiden masakannya tak enak, Alma tak tahu harus bagaimana lagi mengambil hati Faris supaya diberi uang. Dari malam kemarin dia ikut sholat bersama Faris, bahkan menawarkan diri untuk sholat berjamaah dan selalu memakai mukenah sebelum azan. Yang paling berat ketika subuh karena mengorbankan waktu tidurnya, tapi laki-laki itu tetap tak peka. Sedikit saja tak pernah bertanya apakah Alma membutuhkan uang atau tidak?

“Kamu lapar?”

“Kamu lapar?”

“Kamu lapar?”

Hanya kalimat itu yang selalu diucapkan, Alma sampai kesal mendengarnya. 

“Umi gimana ya cara ambil hati abi? Gue gak pernah lihat sih. Eh, iya. Kevin selalu bisa ambil hati gue apalagi kalau gue lagi ngambek, dia beliin es tebu kesukaan gue. Aha, gue tahu, gue tahu. Kalau gak salah di atas meja ada kopi, deh.”

Alma keluar dari kamar turun ke lantai bawah menuju dapur, sorot matanya tertuju pada kopi robusta di atas meja. Ia langsung menghangatkan air panas dan membuat kopi untuk suaminya. Tak ingin kesalahan terulang lagi, Alma mencicipi kopi kental tersebut.

“Huwek, ih pahit.”

Ternyata dia terlalu banyak menumpahkan kopi. Alma membuang kopi tersebut, membuat kopi yang baru. Kali ini rasanya pas. Alma membawa kopi mencari Faris di setiap ruang, tapi tidak ada batang hidungnya. Alma naik ke lantai atas. Mendengar suara seseorang sedang mengaji, itu pasti Faris. Ia pun melanjutkan langkahnya mengikuti suara merdu itu dan berhenti di depan ruangan yang letaknya tak jauh dari kamarnya.

Alma membuka pintu, ia baru tahu di lantai atas ini ada dua kamar. Merasa ada seseorang masuk, Faris mengakhiri bacaan Al-Qur’an. Menatap Alma yang menghampirinya.

“Aku buatin kamu kopi, di minum ya,” ucapnya tersenyum lebar. Meletakkan kopi di atas meja, lalu duduk di samping Faris.

Sebenarnya Faris tak suka kopi. Namun, ia menghargainya. Perlahan ia menyeruput kopi buatan istrinya.

“Enak?” tanya Alma, matanya berbinar-binar seakan meminta di puji.

Faris mengangguk. “Rasa kopi,” jawabnya.

Alma bernapas legah. “Syukurlah,” batinnya. Lalu dia mendekatkan posisi duduknya dengan Faris.

Ia memberanikan diri mengatakan apa yang ia mau pada suaminya, diawali dengan berdeham singkat. Faris merasa ada sesuatu yang hendak disampaikan Alma.

“Ada apa?” tanya Faris tanpa ekspresi.

“Aku… butuh uang,” lirihnya.

Faris baru paham, ternyata inilah sebabnya Alma tiba-tiba bersikap baik padanya. Namun, ia tak ingin suudzon dulu.

“Untuk apa?”

“Ketemu teman, boleh ya? Aku bosen banget di rumah, please.” Alma memasang wajah sedih, tangannya memohon.

“Gak,” tolak Faris.

“Kenapa? ‘Kan cuma ketemu doang,” bantahnya.

“Ketemu buat apa? Kalau mau mabuk-mabukan mending di rumah saja baca Al-Qur’an.”

“Jangan paksa gue terus!” Alma terlihat kesal, wajahnya sinis.

“Alma, saya tidak memaksa kamu, tapi itu kewajiban suami adalah membimbing istrinya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”

“STOP!” jeritnya sambil menutup telinga.

“Gue udah sholat taubat, sholat sunnah, sholat lima waktu, terus apa lagi? Tolong berikan gue uang atau pinjamkan aja. Gue janji akan kembalikan nanti, please.”

“Jadi kamu sholat itu bukan karena Allah? Karena uang, ya?”

Faris berdiri, kepalanya menggeleng-geleng. “Alma, Alma. Benar-benar keterlaluan kamu,” katanya. Lalu melangkahkan kaki ke arah pintu ruangan di dalam kamar ini. Alma mengikutinya.

“Ustadz tolonglah, 50 ribu aja.”

“Enggak.”

“Ustadz.” 

“Apa? Kamu mau ikut aku ke toilet, mau lihat saya buang air kecil?”

Langkah Alma terhenti, spontan ia membalikkan badannya. “Dasar mesum!” ketusnya.

Faris terkekeh tanpa suara. “Lagian kamu, sih,” balasnya dan masuk ke dalam toilet. 

“Ih, jijik gue,” batin Alma. Mondar-mandir di depan pintu toilet menunggu suaminya. Tak lama, laki-laki itu keluar dari toilet.

“Kenapa masih di sini?” tanya Faris.

“Aku butuh uang,” suaranya bergetar menahan tangis. Matanya berkaca-kaca. Alma mulai drama, ia sangat pandai berpura-pura. Sengaja menangis agar Faris memberikan uang padanya.

“Kamu butuh apa? Nanti saya belikan, tapi kalau uang, maaf. Saya gak akan memberikan uang pada kamu.”

“Dasar pelit, lo Ustadz terjahat di dunia!” teriaknya.

Alma menghapus air matanya, pecuma saja menangis. Bukannya pelit, ini semua demi kebaikannya sendiri. Faris tak ingin melihat istrinya mabuk-mabukan lagi, untuk itu lebih baik mencegahnya. 

Faris menghela napas. “Baiklah, sekarang kamu mau apa? Biar saya temani keluar,” ucapnya.

Alma tak menginginkan apa-apa, dia hanya ingin bertemu dan kumpul dengan sahabatnya. Namun, percuma juga kekasihnya tak ada di sini. Seharian di dalam rumah bagai burung yang terkurung dalam sangkar, setidaknya malam ini ia bisa menghilangkan rasa bosan.

“Aku mau ke indomaret atau alfamart saja.” 

“Baiklah.”

“Yaudah, ayo!” ajak Alma dengan tidak santai.

Faris menatap istrinya dari ujung kepala sampai ujung kaki, celana pendek sepaha dan baju kaos oversize berlengan pendek juga ia tak akan membiarkan istrinya berpakaian terbuka seperti itu.

“Ada apa?” Alma jadi risih ditatapnya begitu.

“Tolong ganti pakaianmu,” pintanya.

“Memangnya kenapa? Suka-suka gue!” 

Faris menahan istrinya yang hendak keluar dari kamar ini. “Mau ganti sendiri atau minta digantiin sama saya?”

Alma terdiam, matanya membulat dan bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Ia lupa jika Ustadz adalah seorang manusia dan laki-laki yang juga punya nafsu seperti manusia lainnya. Dengan cepat Alma menarik tangannya dan keluar dari kamar meninggalkan Faris.

“Jangan lama-lama,” pekik Faris. Kemudian terkekeh singkat sambil menggeleng-gelengkan kepala, berhasil membuat istrinya bergidik takut.

“Ih, ngeri banget gue,ih.” Alma mengusap-usap kedua lengannya, jijik sendiri. Masuk ke dalam kamarnya, ingin mengganti pakaian.

“Dasar Ustadz mesum!” jeritnya.

“Mau keluar aja repot banget gue!”

“Mangkanya kalau mau istri tutup aurat jangan nikahin gue dong, nikahin tuh ukhti-ukhti di luar sana banyak,” rutunya. Mengambil pakaian yang lebih sopan di dalam lemari, lalu melepaskan bajunya.

Faris yang sudah siap, mau turun ke lantai bawah tak sengaja mendengar ocehan istrinya di dalam kamar. Melihat pintu kamar tak tertutup sempurna, ia sengaja mendorong pintu tersebut hingga terbuka lebar lalu pergi turun ke lantai.

Alma terkejut, matanya terbelalak. Ia pun menjerit, menutupi setengah badannya yang tanpa baju. “DASAR GILAAA!”

“USTADZ MESUUUM!”

Ia berlari menutup pintu dan menguncinya. Sedangkan Faris, tidak bisa menahan tawa setelah menjahili istrinya. Ini pertama kalinya ia tertawa lepas di usianya yang dewasa. Entah mengapa ia merasa berada di samping Alma membuatnya selalu bahagia, meski dirinya tak pernah dianggap sebagai suami.


***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro