Bagian Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo pulang aja, gue bisa sendiri."

Byal menerima uluran helm saat Hula berkata demikian. Namun, bukannya menaiki Kawasaki dan menyalakan mesinnya, dia membuka helm full face dan meletakkan di sana.

"Gue nemenin lo aja. Takutnya ada apa-apa."

Hula cengo di tempat saat Byal mendahului langkahnya. Sadar tak sedang diikuti, Byal menengok ke belakang menyadarkan Hula dari kebingungan. "Ayo."

Hukama sedang diperiksa dokter saat Hula dan Byal sampai di ruang tunggu. Menduduki kursi panjang di sana, Hula memeluk diaper bag yang semula diserahkan oleh Herma.

Byal ikut duduk di samping Hula, lalu menyandarkan tubuh seraya menatap televisi yang menempel di dinding setinggi 170 cm dari lantai. Tak sampai sepuluh menit, Herma membawa Hukama yang menangis keras keluar dari ruang pemeriksaan.

"Udah beres, Ma?" Hula dan Byal bangkit.

"Belum." Herma menimang Hukama dalam pangkuan. "Hukama keburu nangis. Kamu masuk, gih. Mama belum sempet ngobrol sama dokternya. Mama mau tenangin Hukama dulu."

Hula memandang nanar sebuah pintu tertutup bertuliskan dr. Pipi Wirahayu Sp. A. Dirinya merasa sedikit malu, karena pernah memasang raut judes kepada beliau gara-gara menggoda Hula sebab memiliki adik baru.

Tapi, tak apa. Hula hanya perlu mendengarkan, lalu menyampaikannya lagi pada Herma. Sepertinya tak akan sulit, bukan?

"Byal, tolong temani Hula, ya."

Di parkiran, saat Herma dan Hukama sudah pulang. Hula ingin pulang bersama Herma, tetapi beliau menyuruh Byal mengantar putrinya. Dengan alasan, Hula belum makan.

"Lo mau makan apa?"

Bukannya menjawab, Hula mempertahankan keinginannya. "Gue pengin langsung pulang."

"Tapi, mama lo bilang, lo harus makan dulu."

Hula siap dengan helm yang sudah melekat pada kepalanya, tapi tak lantas naik kendaraan karena pemiliknya pun demikian. "Gue gerah, pengin mandi."

"Nanti kalo mama lo marah dan nggak percaya sama gue lagi, gimana? Gue nggak bisa deketin lo lagi, nantinya."

Untuk alasan yang tidak Hula ketahui, jantungnya berdegup sekali lebih cepat. Hula berdeham, memalingkan wajah karena merasa diperhatikan Byal.

"Kita makan sate yang ada di depan aja, yuk. Katanya enak." Byal mengenakan helm full face-nya.

"Gue nggak laper." Belum sedetik, Hula merasa harga dirinya jatuh ke dengkul saat suara cacing sialan saling bersahutan di perutnya.

***

"Bikin dua porsi, ya, Mang. Yang satu campur, satu lagi tanpa cakwe sama daun bawang. Yang campur, kerupuknya agak banyakan, Mang."

"Oke!" seru seorang pria baya di balik gerobak alumuniumnya. Membelakangi sepasang sahabat yang duduk di kursi plastik dengan segelas air teh hangat di masing-masing genggaman.

"Ati ampelanya jangan lupa, Mang. Telur puyuhnya dua tusuk."

Aileen tertawa ringan. Seperti biasa, Prana selalu banyak maunya jika mereka-ditambah Hula-makan bubur di tenda ini. Kendati demikian, Mang Iwa menuruti semua kemauan Prana walau menurut Hula, sahabatnya merupakan tipe pelanggan yang menyebalkan.

"Ah, gue laper." Adalah kalimat sambutan untuk dua mangkuk bubur yang dibawa mang Iwa. Prana langsung menerima dan menuangkan sesendok sambal sebelum mengaduknya rata.

"Ya ampun, Leen. Sesendok aja cukup kali ...." Prana menatap ngeri tiga sendok sambal yang terkumpul di atas suwiran ayam dan kacang tanah.

Aileen terkekeh. "Bubur kalo nggak pedes, nggak enak, Na. Kayak makan makanannya orang yang lagi sakit."

Prana mulai membawa sesendok bubur pada mulutnya. "Sama aja lo kayak si Hula. Makan bubur aja kudu pedes. Dasar cewek."

Lagi, Aileen terkekeh. Namun ada nada pedih di sana. Bahkan saat sedang berdua saja, Prana selalu membawa-bawa nama Hula. Sedetik kemudian, Aileen menggeleng pelan. Sepertinya PMS membuatnya menjadi lebih perasa. Tetapi, dirinya sadar. Ia tak boleh seperti ini. Sedari awal, mereka ini bersahabat. Tidak seharusnya Aileen membiarkan perasaan ini tumbuh. Namun, memangnya, siapa yang bisa mencegah tumbuhnya sebuah perasaan?

"Leen? Ileen?"

"Eh, kenapa, Na?" Aileen tersadar dari lamunan.

"Ya elah, jangan-jangan gue cerita dari tadi nggak lo dengerin. Buburnya seenak itu sampe lo lupain gue?"

Hula tertawa ringan seraya menggaruk belakang tengkuknya. Merasa bersalah karena terlarut dalam pikirannya. "Kenapa, Na? Lo cerita apa tadi?"

"Bukan apa-apa," katanya. "Lo mau ke mana abis ini?"

"Gue?"

Prana mengangguk. Menyuap sesendok bubur untuk ke sekian kali.

"Nggak ke mana-mana. Kenapa emangnya?" Aileen meraih segelas air teh hangat lalu meneguknya hingga tandas.

"Gue kangen sama bokap. Temenin gue ziarah, mau?"

***

"Anjir!"

Umpatan keputusasaan diudarakan oleh seorang cewek yang berbaring menyamping dan menutup sebagian tubuhnya dengan badcover. Nyaris tiga puluh menit sejak dia membaringkan tubuh di kasur king size-nya, tapi lelap tak jua menghampirinya.

Berguling ke kanan, berguling ke kiri, baring terlentang, baring tengkurap. Semua posisi tidur sudah dicobanya. Namun, bayangan seorang cowok berambut hitam legam masih saja menari di pikirannya. Bagaimana cowok itu membawanya bernostalgia ....

"Anyway, lo inget, nggak, sih. Gue pernah nembak lo pas kelas enam SD?"

Cewek dengan rambut dicepol asal itu tersedak di tengah kegiatan makannya. Beberapa anak rambut yang menjuntai, juga leher jenjang yang terekspos membuat Byal tak ingin mengalihkan atensi dari cewek di hadapannya.

Meraih segelas air yang disodorkan cowok di hadapan, Hula mengalihkan perhatian pada hilir mudik kendaraan yang terlihat oleh netranya.

Byal terkekeh, lantas kembali mengenang masa lalu mereka. "Gue inget betul, alasan lo terima dan putusin gue nggak lama kemudian."

Hula berdeham. Di antara semua masa lalu yang dianggapnya aib, menjadi mantan Byal adalah hal paling memalukan untuknya.

"Katanya, lo nggak mau diledek temen-temen lo karena jadi satu-satunya orang jomlo. Gue denger dari si Parna, dulu."

Prana anjing, Hula mengumpat.

"Terus, belum dua puluh empat jam kita pacaran, lo mutusin gue. Alasannya, bokap lo curiga dan nyuruh lo nggak pacaran-kalo nggak mau uang jajan lo dipotong. Gue sampe mohon-mohon sama lo. Tapi, langsung mundur pas liat pelototan bokap lo di belakang lo."

Tawa renyah mengisi sudut ruangan berukuran 3 x 3 m dengan dua meja panjang beserta lima kursi single saling berhadapan di masing-masing mejanya.

Hula meraih sate dan memakannya ganas. Mengenyahkan rasa panas pada kedua pipinya, dia berujar ketus, "Ya udah, sih. Namanya zaman jahiliyah. Lupain aja."

Untuk suatu alasan, Byal kembali melontarkan tawa. "Tapi lucu nggak, sih," ungkapnya. "Lo mutusin gue cuma karena 'nggak mau uang jajan lo dipotong'. Gue emang nggak sepenting uang jajan buat dipertahanin sama lo, ya?"

Cukup, sudah. Hula muak mendengar gelak tawa dari cowok menyebalkan yang kini mengelap sudut mata yang sedikit berair. "Receh banget, sih, lo."

"Lo lucu," ujar Byal tiba-tiba.

Hula sedang menatap tepat di netranya saat Byal berkata, "Gue suka."

Begitu saja, Hula sudah bisa mengumpat, "Byal anjing ... gue jadi kepikiran, sialan."

Hula tengkurap. Menyembunyikan rona merah pada bantal empuknya. Meredam suara tertahan dan pekikan samar yang meluncur dari bibirnya. Mengenyahkan debaran aneh dengan sensasi yang diam-diam Hula rasa ... sedikit menyenangkan.

Bukan sekali seorang cowok mengatakan 'suka' atau bahkan memintanya menjadi pacar. Tapi, saat yang mengungkapkannya adalah Byal, kenapa ... kenapa Hula merasa banyak kupu-kupu yang beterbangan di perutnya?

***

Tasikmalaya, 10 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro