Bagian Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Leen, kamu mau ke mana?"

Seorang cewek tersentak kaget di balik sebuah pintu yang sedang ia kunci. Membalikkan badan menghadap wanita paruh baya yang menatap diriya, Aileen bertanya, "Ibu udah pulang?"

Aileen memutar kunci pintu ke arah yang berlawanan. Membuka pintu, dia membawa segelas air dengan cekatan. Menyerahkannya pada sosok yang dipanggil Ibu yang telah duduk pada satu-satunya sofa yang berada di ruangan 3 x 3 m.

"Ibu abis nganterin cucian ke bu Cheris. Tadi pas berangkat, Ibu sempet liat kamu baru pulang. Ibu balik ke sini, kok kamu udah mau berangkat lagi? Kamu udah makan?"

Sejenak, Aileen memperhatikan raut letih Cahya. Dia ingin sekali membantu beliau untuk mencari uang, tapi sang ibu selalu menyuruhnya fokus belajar. Agar kelak bisa dapat beasiswa untuk memasuki perguruan tinggi dan menyandang gelar sarjana.

Sebuah harapan seorang ibu pada satu-satunya anak yang dimilikinya.

"Ileen mau nginep di rumah Hula, Bu. Nggak papa?"

Jika boleh jujur, Aileen tak benar-benar ingin mengikuti perkataan sahabatnya. Menemani sang ibu yang sendirian di rumah tentu akan lebih menyenangkan untuknya. Namun, sekeras apa pun Aileen mencoba, dia tak pernah bisa menolak permintaan Hula.

Satu yang Aileen sadari, ia sangat membenci sifat tak enakannya.

Cahya menghela napas samar. Meninggalkan Aileen yang menduduki kursi panjang berbahan dasar kayu ke arah dapur, dia berujar, "Makan dulu, ya. Baru Ibu bolehin."

***

"Ayok, Leen. Jangan malu-malu. Kamu nggak alergi seafood, 'kan? Mama nggak mau tau, pokoknya semua makanan yang ada di meja harus abis."

Aileen tersenyum rikuh. Dia menelan salivanya sendiri saat lagi-lagi Herma menambahkan menu ke atas piringnya. Aileen tak biasa makan banyak-banyak. Namun, tak berlaku jika ia berada di rumah Hula. Herma selalu memastikan Aileen akan kenyang setiap saat.

Hula hanya mengangguk setuju saat Herma berkata, "Kamu harus banyak makan, Leen. Biar sehat."

Aileen memang sedikit kurus. Tak heran jika orang lain menduga dia jarang makan. Terlebih, saat mereka mengetahui Aileen bukan dari keluarga berada, dugaan mereka semakin kuat. Sesekali, Aileen merasa tersinggung. Karena yang sebenarnya, sesusah apa pun kondisi ekonomi keluarga, Cahya tak pernah membiarkan putri tunggalnya tidur dalam keadaan perut kosong.

"Kamu mau beli roti kukus keju sama susu murni juga, nggak?"

Aileen tersadar dari lamunan. Dia menerka ibu dan anak di meja makan ini tengah berdiskusi untuk menitip makanan pada Hilmi yang sedang di perjalanan.

"Nggak usah, Ma. Ileen masih kenyang, hehe."

Aileen merasa deja vu. Di masa kecil, ia sering mendapati Hula yang memelotot ke arahnya saat Herma menawari sesuatu kepadanya. Di belakang layar, Hula selalu memperingati agar Aileen menolak tawaran Herma dalam bentuk apa pun.

Aileen yang merasa takut, hanya bisa menurut. Dirinya menjadi saksi bagaimana Hula tak ingin perhatian dan kasih sayang orangtua terbagi kepada siapa pun selain dirinya. Terlebih saat Herma menyuruh Aileen memanggilnya dengan sebutan 'Mama', Hula mendiami Aileen hingga beberapa hari lamanya.

"Pesenin buat Ileen juga, La. Jadi, roti kukusnya tiga, susu murninya tiga."

Namun, sekeras apa pun Aileen menolak, Herma tetap bersikeras dengan kebaikannya.

***

"Tugas Sejarah Indonesia punya lo udah dikerjain, Leen?"

Cewek bermata sipit itu berdeham. Mulutnya masih bergumam kecil dengan jemari kanan yang mencoret lembar kosong dengan angka-angka.

"Tugas Sejarah Indonesia yang di LKS udah lo kerjain?" ulang seorang cewek yang tengah menyalin rangkuman materi dari buku Aileen.

Aileen melirik sekilas, melanjutkan aktivitasnya seraya berujar, "Oh ... udah."

Hula meraih roti kukus di atas meja lalu menggigitnya besar-besar. "Mana, Leen? Gue mau liat."

Aileen berdeham singkat, lalu berkata, "Tunggu, La." Sungguh, Aileen tak suka jika diganggu saat sedang fokus dengan angka-angka. Untungnya, Hula memahaminya.

Sementara Aileen berusaha fokus menyelesaikan satu buah soal, Hula memperhatikan bagaimana Aileen bergelut dengan tugas Matematika lalu dia menggeleng pelan. Benar-benar tak mengerti apa yang sedang Aileen kerjakan.

"Nanti gue liat yang ini juga, ya," mintanya. Hening beberapa saat, Hula memberi pengingat, "Jangan lupa makan rotinya, Leen. Susunya abisin juga."

Jika dijabarkan oleh pikiran negatif Aileen, arti dari dua kalimat yang Hula lontarkan adalah; Hula telah memberinya makanan, sebagai gantinya, Aileen harus bersedia menyontekkan semua tugas padanya.

Aileen menggeleng pelan, di saat seperti ini, pikiran kotor masih sempat menyisip di kepalanya. Menghentikan kegiatannya sejenak, Aileen berucap, "Tugas sejarah gue ada di tas. Lo ambil aja."

Setelah mengerjakan semua tugas, mereka sudah bersiap mengistirahatkan jiwa di kasur king size milik Hula. Namun, baru sedetik Hula merebahkan diri, gawai yang berdenting nyaring membuatnya urung memejamkan mata.

Mengernyit melihat pengirim dan isi pesan, Hula bangkit seraya membuang napasnya kasar. Kali ini apa? batinnya kesal. Melihat Aileen yang baru keluar dari toilet, Hula berucap, "Leen, bentar, ya. Gue mau ke bawah dulu."

"Ma, Papa mau keluar. Katanya, Mama mau titip apa?" Hula menyandarkan tubuh pada kusen pintu yang terbuka. Memperhatikan Herma yang tengah merapikan pakaian Hukama di lemari.

"Nggak ada," ketus Herma

Hula melipat kedua tangan di dada. Menyandarkan tubuh semakin dalam, masih dari tempatnya dia menengok seorang pria paruh baya yang menduduki sofa panjang di ruang tamu dengan sebatang rokok yang diapit oleh telunjuk dan jari tengah di tangan kanannya. Cahaya yang tersorot dari lampu dapur menjadi satu-satunya penerangan untuknya. Tak lupa, kecerahan dari gawai yang dimainkan oleh tangan yang bebas senantiasa menerangi wajah garangnya.

Masih di rumah yang sama, kenapa nggak tanya langsung aja?

Hula memajukan bibir bawah lantaran kelakuan mereka yang menurut Hula seperti sepasang ABG yang baru pacaran.

"Maaa," rengeknya sedikit keras. Tak lain agar papanya bisa mendengar suaranya juga. "Kali ini kenapa? Alih-alih chat Hula padahal udah mau tidur, si Papa nggak bisa tanya Mama langsung? Kalian deketan, loh, nggak sejauh Sabang ke Merauke jugaaa."

Herma masih setia dengan pakaian Hukama. Sedang Hilmi tengah meneguk segelas kopi yang diseduhnya. "Udah punya dua anak, marah-marahannya masiiih aja ... kayak anak kecil. Nggak malu sama Hukama?" tanya Hula seraya melirik Hukama yang tertidur tak jauh dari Herma.

Tumben nggak bangun, batinnya.

Jika sudah seperti ini, Herma dan Hilmi hanya akan terdiam mendengarkan petuah seorang anak yang seolah sudah berpengalaman. Sesekali, semburat merah menghiasi pipi Herma kala Hula menggoda mereka. Padahal, Hula bersumpah, dirinya tak berpikiran demikian.

"Udah, ah. Hula mau tidur." Hula berbalik, masih menghadap Hilmi, dia mengetikan balasan pada pria yang disebutnya papa.

Papa

mama nggak nitip apa-apa 20.50
aku cuma nitip, kalian baikan aja 20.50

Lihatlah, berani sekali Hula mengirim pesan seperti itu pada papanya. Namun, Hula tak peduli. Bukannya marah, Hilmi hanya akan mesem di tempatnya.

Hula mengentakkan kaki menaiki anak tangga. Bukan tak biasa dirinya diperalat orangtua sebagai media berkomunikasi jika mereka sedang perang dingin. Kali ini, entah apa yang menjadi sebab muasalnya. Bukan tak ambil peduli, hanya saja, sudah menjadi ending klise, besok pagi keduanya akan kembali seperti semula. Seolah malam ini tak pernah terjadi di antara mereka. Jadi Hula berpikir, dia tak usah kepo dengan masalah orangtuanya.

Hula mendesah kecewa saat didapatinya Aileen sudah memejamkan mata. Padahal, kantuk belum menyergap dan dia ingin bercerita sampai larut malam. Seperti kebiasaanya jika Aileen menginap di rumah.

Namun, Hula tak tahu saja. Aileen masih berada dalam kesadaran bahkan saat Hula membaringkan diri di samping kirinya. Aileen bosan mendengar cerita silsilah keluarga Hula dengan kehidupan glamornya. Terlebih, cerita yang didongengkan adalah kisah lawas yang sudah beberapa kali sampai di telinga Aileen.

Aileen menyebut dirinya beruntung saat menyaksikan Hula keluar dari kamarnya. Tanpa berpikir panjang, Aileen berbaring membelakangi posisi Hula lalu berpura-pura terlelap dalam tidurnya.

Yang sering terjadi, sebelum Hula mendapatkan kantuk, dia terus menarik Aileen agar mendengarkan ocehannya. Baru setelah Aileen menguap lebar-lebar dengan suara yang sengaja ia keraskan, Hula akan pura-pura baru tersadar lalu mempersilakan Aileen tidur walau sedikit enggan.

Aileen hanya muak dengan sifat Hula yang satu ini. Sangat muak. Layaknya manusia biasa yang tak selalu memiliki hati suci, Aileen pun sama. Terkadang pikiran negatif mencari celah untuk menguasainya.

Maka tak salah, bukan, jika malam ini ... Aileen mengikuti keinginan hati kotornya?

***

Tasikmalaya, 11 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro