♡12: Jadian?♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Aku cuman hidup sekali. Jadi, sayang kalau enggak jadi anak nakal."
-Bulan Faressa-

Bulan masih terdiam, ia menyadari satu hal yaitu Papinya tidak bisa diajak bercanda untuk kisah asmaranya. Entah mengapa, ia merasakan hal itu. Tidak terasa mobil mereka sudah sampai di depan sekolah.

Gadis itu langsung mencium tangan Papi sebelum turun dari sana, lalu kabur masuk ke sekolahnya.

Pagi hari, sekolah masih sepi. Dia menikmati sekelilingnya dan mendengar ada suara yang menarik perhatiannya.

Suara bola basket. Masih membawa ransel di punggungnya, ia mendekat ke sumber suara.

Di sana sudah ada cowok dengan potongan rambut quiff, gaya rambut dengan menampilkan tonjolan rambut tepat di depan kepala yang melengkung ke belakang.

Rambutnya berwarna cokelat gelap dan terlihat helai-helai rambutnya begitu halus sehalus kain sutera. Dari tempatnya berdiri saja dia sudah ngiler ingin menyentuh rambut cowok itu.

Wajahnya yang oval dan kulitnya yang berwarna kuning langsat itu jelas membuat siapa saja yang melihatnya menjadi tergoda dan menaruh hati padanya.

Tapi, bagi Bulan, siapa saja yang bermain basket sudah mencuri perhatiannya. Apalagi melihat keringat yang bercucuran dari pelipis mereka, menambah kadar kegantengan mereka.

Tidak lama, Bulan merasa ada orang yang berdiri di sampingnya. Entahlah, dia merasakan ada aura aneh. Kulitnya sudah merinding duluan sebelum sosok itu mengumandangkan suara.

“Natapnya gitu amat, Neng. Hati-hati, ngiler nanti.”

Sontak Bulan berteriak dan menatap ke sosok itu dengan tatapan horor. Gadis itu memang punya bakat mudah kaget, jadi siap-siap saja bagi siapapun yang mengangetkannya, persiapkan telinga kalian.

Sosok itu contohnya, cowok dengan gaya rambut faux hawk ini membuatnya terpana, untuk kesekian kalinya.

Gaya rambut itu jelas membuatnya terlihat gagah dan menambah kadar kegantengannya. Bulan seperti tuan puteri yang dihadapkan dengan dua pangeran super tampan.

Jantungnya sudah lelah berdetak tidak karuan, mereka gantengnya kebangetan, di luar nalar manusia.

“Ih, Kak Joy! Kalau jantungku kenapa-kenapa, Kakak mau tanggung jawab?!”

Ucapan yang mengundang gelak tawa cowok itu, dengan wajah bahagia ia menepuk puncak kepala gadis itu. Sungguh, tindakan yang salah.

Gadis itu terlalu lemah jika ditepuk puncak kepalanya. Ia hanya menatap cowok itu dengan tatapan sinis, padahal dia mau berteriak histeris diperlakukan seperti itu.

“Masa sih? Ya udah, deh. Kakak tanggung jawab, ya?” godanya sambil menyenggol Bulan pelan.

“Mau tanggung jawab apaan emang, Kak?” tanya Bulan lagi.

Dia tersenyum, lalu memegang pergelangan Bulan erat.

“Bulan Faressa, maukah kamu jadi babu aku?” ujarnya membuat harapan gadis itu jadi retak, bahkan hancur berkeping-keping.

“IH! NGGAK LUCU!” serunya lalu memajukan bibirnya beberapa sentimeter.

Melihat ada kegaduhan di dekat lapangan menarik perhatian cowok yang tengah bermain basket tadi.

Dia melangkah mendekati dua orang yang menjadi pelaku kegaduhan di pagi hari.

“Hoi, Joy. Masih pagi udah buat kericuhan aja.”

Mereka ber-tos-ria lalu memandang ke arah Bulan, tentu saja ditatap seperti itu oleh dua orang yang kegantengannya di luar nalar kemanusiaan membuatnya semakin panas dingin. Bahkan, kakinya sudah gemetar saking gugupnya.

Lalu, ada tangan yang terulur ke hadapannya. Tangan itu miliki Reza.

“Namaku Reza, bisa dipanggil Za atau sayang juga boleh.”

Ucapan yang mengundang tatapan tajam dari Joy dan Bulan. Kalau Joy karena enggak terima ada yang menggoda Bulan selain dirinya, kalau Bulan menatap tajam karena dia kaget dan tidak percaya dengan pendengarannya.

“Ngadi-ngadi, masih pagi, Za. Ingat ada orang rumah yang menuggumu pulang. Jangan sampai kamu pulang-pulang udah memar karena dikeroyok fans-fansnya nih anak gadis.”

Reza langsung cengengesan, sementara Bulan menatap Joy sambil memanyunkan bibirnya.

“Ih, aku enggak ada fansnya tahu! Ya kali ada yang suka sama orang kayak aku, masih banyak kakak-kakak yang cantiknya kayak bidadari.”

“Idih, pinter ngeles nih anak,” goda Joy yang mengundang cubitan di pingangnya.

“Oh iya, Bulan boleh minta nomor handphone-nya? Biar kalau mau ngajak jalan bisa langsung aku chat aja.”

Wajah Bulan bisa dipastikan merah selayaknya kepiting rebus. Dengan gugup, ia merogoh handphone-nya di saku kemeja dan menyerahkan kepada Reza.

Kali ini gantian Joy yang cemberut, ia tidak rela ada yang mendekati gadis itu. Entahlah, ia juga bingung alasannya apa.

Setelah mengobrol sebentar, mereka berpisah. Sebenarnya, hal itu disebabkan karena Artha, ketua OSIS di sekolahnya memanggilnya. Akhirnya tersisa Joy dan Bulan, mereka duduk sebentar di pinggir lapangan basket.

Di sana ada tanaman Melati, melihat itu Bulan tersenyum senang dan mendekati bunga Melati. Ia mendekatkan hidungnya dan mencium aroma bunga indah itu dalam-dalam.

“Ah, aroma bunga Melati memang terbaik!” serunya senang.

“Idih, itu bunga orang mati tahu. Kamu malah suka,” ujarnya heran.

Bulan tersenyum, “Yah, ada kisahnya kenapa aku suka sama bunga ini. Kisah yang bikin aku keingat sama arti luka yang belum bisa aku tangani.”

“Yah, namanya luka itu harus dihadapin bukan kabur. Memang butuh waktu supaya menerima kenyataan dan segala kepahitannya. Tapi, kamu enggak bisa membawa beban dan rasa sakit dari luka itu.”

Gadis itu tersenyum lirih, “Aku enggak tahu sampai kapan, Kak,” Bulan memegang dadanya, “rasa itu enggak hilang, masih terasa jelas selayaknya kejadian itu baru terjadi kemarin.”

Joy mendengus kesal, ia tidak suka jika orang yang disukainya berwajah muram seperti itu. Seketika Joy termenung.

Orang yang disukainya? Apa dia menyukai Gadis tukang galau ini?

“Ceritanya gimana, sih? Soal kisah asmaramu, kah?”

Bulan tersenyum lalu tersenyum manis ke arah Joy.

“Iya, Kak. Aku malu, sih. Rasanya aku kayak gadis murahan aja.”

Joy mengusap kepala gadis itu lembut, “Katakanlah apa yang mau kamu sampaikan. Kalau itu terlalu berat untuk kamu ucapkan, simpanlah.”

Hatinya terenyuh mendengar penuturan Joy, matanya sudah berkaca-kaca dan memandang lurus ke depan. Ingatannya kembali ke masa itu, dimana ia masih mengenakan seragam putih merah, saat ia masih terlalu dini untuk mengenal arti cinta.

“Dulu, aku suka sama teman sekelasku. Dia tampan, Kak. Dia juga baik banget sama aku, aku jadi nyaman kalau berada di dekatnya. Yah, aku jatuh hati padanya. Aku menceritakan perasaanku sama temenku. Rupanya ada yang memberitahu dia kalau aku menyukainya. Aku kaget, sih. Seneng juga karena mau tahu reaksi dia seperti apa. Sayangnya, tidak semanis bayanganku.”

Bulan menjeda ceritanya dan menatap lekat manik mata Joy. Cowok itu masih setia mendengarkan kisah pilunya.

“Dia bilang, dia tidak mungkin menyukaiku yang gendut dan hitam itu. Katanya aku bukan selera dia.” Bulan tersenyum miris dan menyatukan jemari lalu meremas kuat jemarinya. Ia berusaha menenangkan perasaannya yang berubah kalut. Ia belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.

“Miris, ya? Aku terlalu murahan dan tidak ada yang menyukaiku.”

Setiap ucapan dari bibir gadis itu membuat hatinya teriris.

“Dia brengsek sudah ngucapin kalimat enggak layak kayak gitu. Gadis di hadapanku ini sepenuhnya pantas disebut sebagai bidadari. Cantiknya seorang gadis bukan dilihat dari fisiknya, tetapi dari hatinya. Dia akan menyesal sudah mengatakan hal seperti itu kelak.”

Lagi-lagi, hati gadis itu dibuat terenyuh oleh tutur kata Joy. Dia teringat ucapan Venus malam itu, ucapan untuk memulai kembali kisah asmaranya.

Dia tidak bisa mengurung diri dalam ketakutan. Apakah ini saatnya mencoba? Meskipun ia tahu, hal ini bertentangan dengan keinginan Papinya.

Dia tahu, dengan mengucapkan kalimat ini dia sudah membuat perhitungan dengan Papinya. Namun, kalau bukan sekarang, kapan lagi?

“Kak, kakak mau enggak jadi pacar Bulan?”



Note:

Haiiii! Gimana bab ini?
Terima kasih sudah mampir!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro