♡13: Pingsan♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukan aku yang memilih, tetapi hatiku memilih untuk jatuh padamu."

-Bulan Faressa-

Joy terdiam mendengarnya. Sejujurnya dia masih bingung dengan perasaannya sendiri.

Apakah dia menyukai gadis ini? Melihat raut wajah Joy yang berubah membuat gadis ini terdiam juga. Ia menanyakan apakah tindakannya ini terlalu nekat?

Ia meremas ujung roknya kuat, lalu berdiri.

“K-kak, aku duluan, ya!”

Seusai berkata demikian, ia berlari menuju ke kelasnya. Ia meninggalkan cowok itu sendirian dengan tatapan sendu. Penuturan Bulan membuatnya berpikir keras, seperti apa perasaanya kepada gadis itu?

Menatap punggung mungil itu menjauh darinya membuatnya membayangkan seandainya dia menjauh dan tidak dapat dijangkaunya lagi?

Apakah dia sanggup tidak menatap senyum manisnya? Padahal mereka belum lama bertemu, kenapa ia sudah bergantung pada sosok mungil itu?

Di lain tempat, gadis itu melangkah dengan tergesa-gesa. Hingga ia tidak sadar jika di depannya sudah ada beberapa orang. Mereka sengaja menunggu kedatangan Bulan.

Dengan tangan dilipat dan senyuman angkuh mereka sudah menyiapkan rencana untuk gadis ini.

Jarak mereka sudah begitu dekat, langsung saja ia mendorong Bulan ke ruang gudang penyimpanan barang.

Ia menarik rambut Bulan hingga gadis itu berteriak kesakitan. Rasanya seperti déjà vu. Ia mengingat perih di kulit kepalanya sama seperti di mimpinya.

Lalu, cewek itu melepaskan pegangannya pada rambut Bulan, membuat gadis itu terjatuh ke lantai.

Bulan masih menunduk dan bersedekap dengan lututnya. Ia memegang kepalanya yang begitu nyeri, bahkan air matanya keluar dari sudut matanya. Ia tidak suka, mengapa ia harus mengalami hal ini? Apa kesalahan yang sudah diperbuatnya?

Ia terus merutuki dirinya dan berkeluh kesah dalam hatinya.

“Aduh, gadis cengeng! Lo harusnya enggak usah dilahirkan, ya? Pasti lo jadi beban doang di keluarga lo, kan? Dasar gadis sialan!” teriaknya dan menendang gadis itu begitu keras.

Bulan memegang kedua telinganya erat sembari meringkuk. Ia terus berharap ini semua hanya mimpi.

Merasa diabaikan membuat mereka semakin geram.Semakin kesal mereka, maka semakin keras pula perbuatan mereka pada gadis itu.

Mereka adalah gadis berandalan yang bermodal tampang saja. Salah satu dari mereka adalah Rida. Masih mengingat siapa Rida?

Dia yang menaruh hati pada Riza. Ia sudah lama menyukai cowok itu, bahkan ia berjanji akan merubah sikapnya jika semesta berbaik hati padanya.

Ia bukan hanya bermodalkan doa saja, tetapi ia berusaha mendekati cowok itu. Sayangnya, cowok itu selalu punya seribu satu alasan untuk mengelaknya.

Ia sudah hampir menyerah untuk memperjuangkan cintanya pada cowok itu, tetapi melihat betapa mudahnya gadis sialan itu menarik hati Riza membuat darahnya mendidih.

Ia membenci kehadiran gadis buruk rupa tidak tahu diuntung itu. Jadi, ia sudah memperhatikan gadis sialan itu akhir-akhir ini.

Selanjutnya, ia merencanakan beberapa aksi untuk menyadarkan gadis jelek itu tentang kedudukannya di sekolah ini. Sebagai anak baru, tidak seharusnya dia bertingkah sebebas itu!

Mereka terus saja menyiksa gadis itu, padahal dia sudah lemas. Kepalanya begitu pening, ia berusaha tetap tersadar. Sayangnya, semua tampak berputar.

Ia tidak bisa menatap mereka dengan jelas. Terlebih lagi ruangan ini tidak banyak jendela sehingga cahayanya hanya sedikit yang masuk.

Ventilasi yang sedikit membuat ruangan ini begitu pengap. Ia sudah kesulitan bernapas, ditambah lagi nyeri yang tidak kunjung reda membuatnya ingin menangis saja. Ah, dia memang sudah menangis, bukan?

Mereka baru berhenti ketika bel pertanda jam pelajaran akan segera dimulai. Rida menatap ke Bulan dengan bengis lalu menarik rambutnya dengan keras.

“Ini belum seberapa, lagian sudah diberi pelajaran masih aja bandel deketin gebetan gue! Gue enggak perlu sok manis ke lo. Lo tahu kenapa? Karena lo itu—” ia mendekatkan wajahnya ke Bulan—“MU-NA-FIK!” serunya lalu melepaskan tangannya.

“Duh, kotor banget tangan gue megang rambut lo itu! Udah gitu lo dekil banget lagi! Lo apain, sih gebetan gue? Bisa-bisanya dia terpesona sama lo yang dekil ini. Udah ah, sebelum kita dimarahin Pak Abi yang super killer itu. Males gue dengerin bacotannya.”

Rida pergi bersama teman-temannya meninggalkan Bulan yang masih meringkuk dan memegang kepalanya. Ia menangis pelan, rasa nyeri di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia tidak berani membuka matanya, sebab ia akan semakin merasa pusing.

“Tuhan, apa salah Bulan? Bulan udah jadi orang yang jahat, ya? Bulan minta maaf. Bulan enggak kuat kayak gini terus.”

Ia merintih kesakitan dan terus menangis. Ia ingin berteriak, tetapi tenggorokannya seperti tercekat. Ia sudah tidak kuat lagi, jika memang kisah hidupnya berakhir seperti ini ia sudah rela.

Meskipun ia masih ingin memeluk kedua orang tuanya sebelum menghembuskan napas terakhir. Hanya saja, ia tahu itu mustahil. Ia hanya membayangkan wajah orang tuanya dan tersenyum lega.

Setidaknya mengingat wajah mereka meredakan nyeri yang ia rasakan sebelum gelap menguasainya.

Di lain tempat, Sky baru saja keluar dari ruang kerjanya. Namun, ada barang yang tertinggal sehingga ia mampir ke parkiran motor sebentar. Parkiran motor itu dekat dengan lapangan basket.

Menurutnya sekalian saja memastikan tidak ada siswa yang nekat bolos dan bermain basket di tengah jam pelajaran.

Hari ini jamnya untuk mengajar pelajaran Kimia. Sejujurnya ia merasa semangat karena kelas yang akan diajarnya adalah kelas Bulan. Ia tersenyum sembari mengambil barang yang tertinggal dan melangkah menuju ruang kelas.

Ia melewati ruang penyimpanan, tetapi ia merinding. Langkahnya terhenti, tadi ia mendengar suara rintihan dari balik ruangan itu. Tapi, siapa yang merintih di dalam gudang?

Meskipun tampangnya gagah seperti ini, ia adalah penakut kelas kakap. Tentu saja ia tidak pernah memberitahu siapapun soal kelemahannya ini. Ia bisa digoda habis-habisan jika ada teman atau anak didiknya yang tahu.

Ia menghela napas panjang dan lanjut melangkah menuju ruang kelas.

“Kayaknya aku cuman halusinasi. Dasar bego,” ujarnya sembari menggelengkan kepala.

Sesampainya di kelas, ia langsung memulai kegiatan belajar mengajar.

“Selamat pagi anak-anak. Kita mulai pelajaran hari ini, ya. Hari ini kita belajar soal ‘Hukum Dasar Kimia’. Hukum Dasar Kimia dibagi menjadi Hukum Kekekalan Massa (Hukum Lavoisier), Hukum Perbandingan (Hukum Proust), Hukum Perbandingan Berganda (Hukum Dalton), dan Hukum Perbandingan Volume (Hukum Gas Lussac)."

Ia memandang wajah memelas anak didiknya sebelum melanjutkan penjelasannya.

" Sekarang, ada yang udah belajar sebelumnya soal materi hari ini? Bagi yang sudah, ada yang bisa menjelaskan sedikit tentang hukum kekekalan massa?”

Mereka masih asyik mendengarkan penuturan Sky hingga tidak sadar ia sedang mengajukan pertanyaan dadakan. Mereka mendengus kesal, cara mengajarnya seperti Pak Abi saja. Selalu ada pertanyaan dadakan ketika mereka menjelaskan.

Bintang mengangkat tangan, “Pada hukum kekekalan massa menjelaskan jika di dalam suatu reaksi kimia,massa zat-zat sebelum reaksi sama dengan massa zat sesudah reaksi.”

Sky tersenyum lalu melanjutkan penjelasannya.

“Nah, bagus. Kalian tiru itu teman kalian. Dia terlihat sudah menyiapkan materi hari ini, setidaknya belajarlah sekilas. Jadi, kalian tidak bermodalkan badan saja ke sekolah.”

Ucapan yang sederhana, tetapi menohok hati setiap penghuni kelas.

“Lalu, bagaimana dengan hukum perbandingan tetap?”

Suasana kelas masih hening, hingga Bintang mengajukan dirinya kembali untuk menjawab.

“Oke, silahkan Bintang.”

“Hukum perbandingan tetap adalah perbandingan massa unsur-unsur penyusun suatu senyawa adalah tidak tergantung pada asal-usul senyawa tersebut.”

Semuanya masih terdiam dan memandang Sky dan Bintang bergantian.

“Bisa jelaskan lebih detail mengenai senyawa ini?” tanya Sky lagi.

Bintang menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Ada berbagai senyawa yang dibentuk oleh dua unsur atau lebih, sebagai contoh air (H2O). Air dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur hydrogen dan oksigen. Materi mempunyai massa, termasuk hydrogen dan oksigen.”

Sky tersenyum dan mengangguk. Ia puas mendengar penuturan anak didiknya ini.

“Oke, bagus, Lalu, hukum Dalton, ada yang bisa menjelaskan?”

Lagi-lagi, situasi hening. Lalu, dia mengerutkan keningnya. Tadi dia ingin melimpahkan pertanyaan ini kepada Bulan. Tapi, ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.

“Kemana Bulan? Bulan Faressa?” tanya Sky sembari menaruh bukunya ke meja.

Bintang dan Venus saling bertatap muka dan mengerutkan kening juga.

“Tadi saya lihat Bulan sudah datang ke sekolah dan dia juga sudah menuju ke kelas. Tapi, dia enggak kelihatan lagi,” ujar Venus kepada Sky.

Tadinya dia tidak mau berbicara, tetapi dia tidak enak juga. Bulan ini temannya juga, jadi enggak ada masalah kalau dia mengutarakan pendapatnya.

Sky tercengang mendengar penuturan Venus, seketika pikirannya melayang ke gudang tempat ia lewat tadi. Berbagai spekulasi mulai muncul dan ia berlari sekuat tenaga menuju ke sana.

Hatinya berdegup begitu kencang tatkala melihat badan mungil itu sudah terkulai lemas dan tidak berdaya.

“BULAN!!”



Note:

HAIII! TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

GIMANA BAB INI?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro