♡ 4: Aneh ♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku hanya ingin dicintai. Sayangnya, aku memang tidak pantas."
—Bulan Faressa

Ucapan Bintang masih terngiang di pikiran gadis itu, bahkan hingga ia sudah berada di rumah dan menikmati semangkuk mi goreng.

Situasi di rumahnya begitu sepi, hanya ada dia dan makanannya sekarang. Kehidupannya tidak seindah kisah puteri kerajaan di dongeng.

Kisah yang ia impikan sedari kecil, ia sangat menyukai princess Aurora. Jika boleh, dia ingin memiliki kisah hidup seperti princess Aurora, bertemu dengan pangeran impiannya dan hidup bahagia selamanya.

Meskipun puteri cantik itu harus menerima kutukan dan tertidur hingga bertemu dengan orang yang tulus mencintainya, bukankah bertemu dengan orang yang tulus mencintaimu adalah hal yang paling membahagiakan?

Bulan tertawa terbahak setiap kali membayangkan dia dengan suami masa depannya. Terlebih lagi jika anaknya nanti mirip dengan suaminya, pasti hidupnya sangat bahagia.

Beberapa detik kemudian ia tersadar, semua tidaklah nyata. Nyatanya ia masih di sini, duduk sendirian. Kedua orang tuanya begitu sibuk dengan pekerjaan mereka, hingga melupakan hal terpenting.

Memang uang itu bisa membuat orang bahagia, tentu saja! Siapa yang tidak bahagia jika diberikan uang berlembar-lembar?

Jika gadis itu diberikan uang banyak, ia akan pergi ke toko buku dan membeli bermacam-macam novel serta komik yang dia sukai.

Namun, dia tidak sebodoh itu. Uang memang bisa mencukupi kebutuhan hidup, sayangnya ia lebih butuh kasih sayang.

Jika memikirkan kasus yang sudah sering terjadi di negeri ini, tentu sudah tidak asing dengan kasus korupsi, bukan?

Sudah berapa banyak orang yang menjadi budak uang? Membutakan hati nurani dan memilih bermain seni peran demi mendapatkan uang secara instan alias tanpa harus bekerja keras.

Keadilan bahkan hanya tinggal kata tanpa tindakan, dunia begitu kejam pada manusia yang menjunjung tinggi kesamarataan hak setiap manusia.

Gadis itu sering membahas hal ini dengan Papinya. Selain itu, membahas mengenai hukum dengan Maminya merupakan hal yang paling digemarinya.

Maminya paham betul dengan hukum karena ia mengambil jurusan itu sewaktu kuliah.

Pembicaraan yang menarik, tetapi jarang terjadi. Sewaktu Bulan sudah tidur, mereka baru saja kembali dari kantor.

Mereka hanya bertemu sewaktu sarapan bersama, itu juga jika tidak ada halangan di pagi hari. Biasanya Papinya sudah berangkat duluan karena ada jadwal operasi di pagi hari, berlanjut dengan kegiatan lainnya.

Di saat seperti ini, dia merindukan masa kecilnya. Kesepian sudah menjadi temannya sejak dulu, perasaan yang menyedihkan, bukan?

Dia iri dengan teman sebayanya yang bisa bermain dengan orang tuanya, sedangkan dia hanya bermain sendiri dengan boneka beruang kesayangannya. Namanya Ior, boneka yang menemaninya dan menjadi saksi bisu hidupnya.

Bulan menghela napas, ia sudah tidak bernafsu lagi untuk makan. Seperti biasa, menaruh piring kotor di wastafel dan mencucinya segera.

Maminya selalu protes jika ia meninggalkan piring kotor begitu saja. Ucapan Maminya selalu menyakitkan di hatinya, tetapi ia tidak pernah protes.

Kamu itu akan jadi istri orang nantinya. Kalau kamu males-malesan, yang urus suamimu siapa?”

“Kamu ini perempuan atau bukan? Malesnya bukan main.”

“Memangnya pembantumu ada seratus? Bisa-bisanya main handphone terus.”

“Bisa stress suamimu lihat kelakuanmu. Bisa-bisa kamu diceraikan karena sikap pemalasmu itu.”

Begitu banyak ucapan lainnya, tidak hanya dari Maminya melainkan dari Papinya juga. Ah, belum lagi penolakan yang ia terima di sekolahnya.

Penolakan yang ia terima sewaktu menempuh Sekolah Dasar.

Ia masih belia ketika mendengar hujatan itu, mendengar penolakan untuk pertama kalinya tanpa memberitahu kepada orang tuanya. Bahkan sampai sekarang ia masih mengingat perkataan mereka.

Kamu tidak sepantasnya berada di sini.”

“Mending kamu pulang, deh. Nggak selevel sama kita.”

Hujatan itu tidak pernah pergi dari pikirannya, selalu saja menemani hidupnya. Dia tidak tahu sudah berbuat dosa apa sehingga mereka begitu membenci kehadirannya.

Bahkan Bulan tidak menginginkan untuk hidup, selayaknya robot yang tidak mengerti arti nafas yang diberikan Tuhan untukknya.

Ia sudah belajar menyimpan semua perasaannya rapat-rapat sejak itu. Orang lain hanya melihatnya sebagai anak yang ceria tanpa tahu seberapa banyak luka yang ia simpan.

Tidak semudah itu untuk menerima masa lalunya yang kelam, tidak semudah itu. Terpenjara dalam perasaan yang menyakitkan bukanlah inginnya. Bulan hanya ingin menjadi gadis yang ceria seperti image-nya di mata semua orang.

Sayangnya ia tidak sanggup. Ia pernah berusaha untuk memberontak, berusaha mengeluarkan pendapatnya.

Detik itu juga ia menyesal, berbagai pandangan membuatnya semakin terpuruk. Inilah sisi lain dari Bulan Faressa, yang ia tutup rapat untuk menjaga hati orang lain tanpa memperdulikan betapa hancur hatinya.

Gadis itu terlalu lama larut dalam pemikirannya. Hari sudah hampir tengah malam, kepalanya sudah berat sekali. Mau menunggu kedatangan orang tuanya pun rasanya percuma saja.

Padahal ia ingin sekali menceritakan pengalamannya di sekolah. Mungkin ia terlalu berlebihan saja, lagian setiap hari juga sama saja, bukan?

Gadis itu tersenyum sembari membaringkan badannya di kasur. Sebagai pengantar tidur, ia mengkhayalkan dirinya sebagai puteri di kerajaan dongeng. Setidaknya ia ingin bahagia dalam bunga tidurnya itu.

Keesokan harinya, ia bangun dengan perasaan yang lebih lega. Semua kesedihan ini belum pantas untuk diceritakan, cukup disimpan rapat-rapat rasa pedih ini.

Dia cukup menampilkan jika ia bahagia. Jika ia sedih, hanya akan membuat orang tuanya sedih. Sudah cukup ia memberikan beban hidup pada mereka.

Segera saja Bulan lari ke kamar mandi, ia harus mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Hidup tidak berhenti dan memberikan akhir bahagia padamu, ia akan terus berputar.

Jika hidupnya memang sekelam ini, dia harus merangkak untuk menciptakan akhir yang bahagia. Setidaknya seperti di kisah dongeng yang disukainya, berakhir dengan bahagia.

Gadis itu menyisir rambutnya sembari bersenandung lagu kesukaannya. Setelah semua siap, ia keluar dari kamar menuju ke ruang makan. Dugaannya salah, bukan Mami yang ada di dapur, melainkan Papi.

“Pagi, Papi!” seru Bulan dengan ceria.

Ferdi terlonjak kaget, ia kira anak gadisnya itu masih setia dengan kasurnya.

“Hei, tumben udah bangun. Biasanya masih pacarana sama kasurnya,” goda Ferdi membuat anak gadisnya itu memasang wajah cemberut.

“Ih, harusnya Bulan yang nanya. Tumben Papi udah di sini. Mami ke mana?” tanya Bulan penasaran.

Wajahnya mulai terlihat gusar, tetapi ia berusaha menutupinya. Sayangnya, anaknya sudah memahami ekspresi dari orang tuanya meskipun ditutupi sedemikian rupa.

“Ada masalah, Pi?” tanya Bulan lagi.

“Nggak ada apa-apa, kok. Papi mau buatin roti bakar, kamu mau makan berapa roti hari ini?” Ferdi mengambil beberapa roti dan mengoleskan selai cokelat.

Hmtiga roti. Bulan lapar berat.”

Bulan tidak lagi membahas pertanyaan tadi, perasaannya mengatakan ada yang tidak beres. Namun, ia harus berdiam diri dulu sekarang.

Tidak butuh waktu lama, roti bakar sudah siap untuk disantap. Bulan tersenyum dan segera melahap rotinya. Ferdi juga membuatkan dirinya dan Gabriela roti bakar. Nanti dia akan membawakan roti itu ke kamar.

“Pi, aku penasaran. Perasaan Bulan udah minta pindah ke sini sejak lama, terus Bulan udah nyerah merengek ke Papi. Tiba-tiba Papi bilang mau pindah ke sini. Memangnya kenapa, sih?”

Lagi-lagi, Ferdi termenung mendengar kalimat yang keluar dari bibir anaknya itu. Terlihat beberapa kerutan dari dahinya, ciri khas orang yang sedang berpikir.

“Memangnya salah menuruti keinginan anak sendiri?” elak Ferdi.

“Enggak salah, Pi. Tapi, aneh aja,” sanggah Bulan. Seingatnya mereka memutuskan pindah dari sini untuk melupakan kakaknya yang sudah tidak lagi bersama mereka.

Sudah berulang kali Bulan mencoba meluluhkan hati Ayahnya, tetapi selalu saja ditolak dengan tegas. Lantas, mengapa bisa berubah secepat ini?

Note:

Gimana pendapat kalian tentang bab ini?

Terima kasih sudah mampir di cerita ini. Semoga hari kalian baik, ya.

Salam,
Deph

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro