♡3: Kantin ♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kepada jiwaku, tolong berhenti berharap. Aku lelah kecewa."
—Bulan Faressa

Seusai memperkenalkan diri, gadis itu kembali ke tempat duduknya. Gurunya menjelaskan jika sebagian besar siswa di kelas ini sudah saling mengenal karena mereka sudah masuk sejak sekolah dasar hingga sekarang.

Sekolah swasta yang gadis ini memang ada beberapa tingkatan. Ada  Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Atas.

Tidak lama kemudian, ada yang menyenggol lengan gadis itu, “Hei, salam kenal ya,” bisiknya pelan.

Bulan tersenyum, menambah relasi benar-benar menyenangkan. Dia memang bukan orang yang mudah terbuka dengan orang yang baru dikenalnya, itu pula yang membuatnya jarang diajak berbicara oleh teman-temannya.

Dia menatap orang yang tadi mengajaknya berkenalan, namanya Bintang Fadelisa. Nama yang selaras dengan rupa pemilik namanya, begitu cantik dengan rambut yang dikuncir kuda itu.

Gadis ini mengalihkan perhatiannya kepada guru yang membuka buku pedoman Fisika. Mata pelajaran ini bukanlah mata pelajaran favoritnya, dia lebih suka belajar Biologi dibandingkan semua mata pelajaran di jurusan IPA ini.

Terlihat seperti salah memiliki jurusan, ya? Namun, apa daya? Dibandingkan jurusan IPS, lebih baik memilih jurusan IPA. Alasannya adalah dia lebih tidak mengerti pelajaran IPS, daripada menceburkan diri ke kobaran api dan tersiksa selama tiga tahun, kan?

Bulan tidak sadar jika gurunya sudah mulai berbicara di depan.

“Bulan? Kalau ngantuk mending ke kamar mandi cuci muka dulu, ya,” tegurnya.

Tentu saja mengundang perhatian menuju pada gadis itu. Ia tersentak dan segera mengangguk. Perasaannya jadi campur aduk, malu dan kesal.

Seusai dari kamar mandi, ia malah menabrak seseorang. Ia terkejut, wajah orang yang ditabraknya tampak tidak asing.

“Kamu lagi? Hobinya nabrak orang, ya?” ujarnya kesal.

Gadis itu segera menundukkan kepala, “Maaf, tadi enggak fokus, Kak.”

“Ya udah fokus sekarang, namamu siapa?”

Ucapan cowok di depannya malah membuatnya bingung dan mempertanyakan pendengarannya.

“Kakak ngajak kenalan?” ujarnya memastikan.

Dia mendengus kasar, “Bukan, aku ngajak bolos. Ya iyalah kenalan.”

Gadis itu menggaruk kepalanya lagi, dia benar-benar tidak nyaman sekarang.

“Namaku Bulan Faressa, Kak. Salam kenal,” ujarnya sembari tersenyum.

Senyuman yang mengalihkan dunia cowok itu untuk beberapa detik, ditambah efek angin yang berhembus membuat gadis itu semakin bersinar di matanya.

Satu detik, dua detik, dia masih terdiam dan menatap gadis itu dalam kesunyian.

“Kak?” tanya Bulan lagi.

“Oh iya, namaku Joy Blessing Na—”

Tidak ada yang memotong ucapan cowok itu, tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya tadi.

“Na apa, Kak?”

Dia tersenyum canggung, “Bukan apa-apa, kok. Namaku Joy Blessing, salam kenal  Bulan cantik,” godanya sembari mengacak rambut Bulan.

Hanya sebentar, tetapi efeknya cukup kuat hingga wajah gadis itu memerah layaknya buah tomat. Bahkan cowok itu sudah pergi dari hadapan Bulan, tetapi jantung gadis itu masih berdetak tidak karuan.

Mungkin karena ini pertama kalinya dia berinteraksi cukup lama dengan cowok, biasanya dia selalu menjaga jarak, jika terpaksa mengobrol dengan mereka maka dia akan berusaha untuk berbicara seperlunya saja.

Bulan menghela napas, mencoba menetralkan perasaannya. Dia sudah terlalu lama berada di luar kelas, bisa-bisa ditanyain Pak Abi nanti. Pak Abi adalah guru Fisika yang menyuruhnya keluar kelas tadi.

Betul saja, begitu ia masuk Pak Abi langsung menanyakan kondisi Bulan. Rupanya ia tidak mencurigai Bulan pergi ke tempat lain. Ia hanya takut jika muridnya ini tiba-tiba pingsan di toilet. Bulan tersenyum setelah menjelaskan jika ia baik-baik saja.

Begitu ia sampai di tempat duduknya, Pak Abi kembali melanjutkan penjelasannya. Gadis itu menoleh ke buku pedoman yang dipegang Venus. Merasa sedang diperhatikan, Venus mendekatkan buku pedoman padanya.

“Halaman 12, lagi bahas tentang pengukuran.”

Bulan mengangguk dan membuka halaman yang dibilang temannya itu dan mengalihkan perhatiannya kepada Pak Abi.

“Satuan yang dipakai saat ini adalah satuan Sistem Internasional (SI). Ada tujuh besaran pokok dalam SI, ada yang bisa menjawab?” tanya Pak Abi spontan.

Sebagai anak yang memiliki jiwa penuh ambisi, ia segera membaca dan mencari tahu jawabannya. Sayangnya, sudah ada yang mengangkat tangan. Bulan tercengang dan menatap orang itu dengan tatapan yang tidak terbaca.

“Iya, Bintang. Jawabannya apa?” tanya Pak Abi yang entah kenapa terdengar senang.

“Tujuh besaran pokok dalam SI yaitu panjang, massa, waktu, suhu, kuat arus listrik, intensitas cahaya, dan jumlah mol.”

“Oke, benar sekali. Bintang dapat poin lima karena sudah menjawab, ya. Sekarang bapak mau bertanya, apa arti dari besaran pokok?”

Baru saja Bulan mau mengangkat tangan, dia sudah kalah cepat.

“Ya, apa jawabannya Bintang?”

“Besaran pokok adalah besaran yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besaran lainnya.”

Pak Abi tersenyum, “Benar sekali, Bintang dapat poin lima karena berhasil menjawab pertanyaan.”

Desahan kecewa terdengar pelan dari Bulan, dia kecewa dengan dirinya sendiri. Lalu, kembali menatap dengan pandangan kosong ke arah buku pelajarannya.

Pelajaran terus berlanjut, begitu juga dengan Bulan yang masih larut dalam pikirannya. Pertanyaan yang terus terngiang di pikirannya adalah ‘Jangan buat kakak malu, ya’, ucapan dari kakaknya yang sudah lama pergi dari sisi mereka. Jika sudah begini, bukankah Bulan sudah membuat kakak malu?

Gadis itu sudah lesu, dia harus banyak bersabar, seusai jam pelajaran selesai nanti dia akan pergi ke kantin bersama Venus untuk jalan-jalan di sekolah ini. Dia sudah tidak sabar menantinya.

Jam pelajaran pun berakhir, ia menoleh ke arah Venus dan mengajaknya ke kantin. Entah cuman perasaan Bulan saja, tetapi ia merasa tadi Bintang mau mengajaknya berbicara.

Namun, Bulan dan pemikirannya yang kompleks membuatnya takut bertindak. Jika kenyataanya semua hanya halusinasi Bulan semata, maka kepercayaan dirinya akan hancur seketika.

Mereka sudah sampai di kantin, begitu banyak orang yang berada di sana. Nyaris tidak ada kursi yang kosong, selain kursi di meja nomor lima.

Di meja itu masih terdapat tiga kursi kosong, hanya ada satu orang di sana. Orang yang sedang dipikirkan Bulan sedari tadi.

Venus segera mengajaknya pergi menuju tempat itu, “Hei, kami gabung bareng, ya!”

Seusai berkata demikian, Venus langsung kabur dan mengantri untuk membeli ayam krispi Mang Jali, sepertinya makanan itu adalah makanan favoritnya.

Bulan yang tidak lapar langsung duduk di salah satu kursi itu dan menatap ke arah kukunya. Tidak ada apa-apa di kukunya itu, hanya saja dia tidak tahu mau membahas apa.

“Kamu tidak terlihat menyukai pelajaran Fisika, apa benar?” tanya Bintang memecah keheningan.

Bulan menatapnya lama kemudian mengangguk, “Benar, aku kurang suka sama pelajaran ini. Kamu suka sama pelajaran Fisika, ya?”

Gadis itu tersenyum, “Suka sekali. Fisika adalah alasanku untuk mendekati kakak. Dia orangnya sibuk sekali, karena aku rindu bermain dengannya sehingga aku minta diajarin Fisika aja. Akhirnya, aku jadi suka beneran sama Fisika.”

“Wah, bagus banget. Oh iya, kamu keren bisa jawab pertanyaan Pak Abi secepat itu.”

“Oh, aku baru belajar tadi malam. Itu kenapa langsung tahu jawabannya apa. Semua orang itu keren, kok. Tidak perlu memuji seperti itu,” ujarnya sambil tersenyum. Adanya lesung pipit di wajahnya membuatnya semakin manis untuk dipandang.

Tentu saja senyuman Bintang menular padanya, “Semua orang keren, ya. Bener-bener cocok deh jadi motivator kamu, tuh. Bintang Teguh, asek.”

Saat itu, ia merasa lebih baik dibanding sebelumnya. Berbagi pendapat dengan orang lain ternyata membuatnya jauh lebih lega.

Apakah kamu percaya tentang keajaiban ini?

Note :

Hai! Terima kasih sudah mampir. Cerita ini diikutsertakan dalam Fanos Writing Marathon fanos_publisher

Mohon dukungannya, ya!

Salam hangat,
Deph

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro