♡I: Putih Abu-Abu♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis yang masih mengenakan piyama itu baru saja lompat dari tempat tidur dengan posisi tangan yang memegang jam bermotif beruang kesukaannya.

Sudah banyak dering alarm yang berdendang dari handphone­-nya, sayangnya tidak ada satu dari mereka yang dapat membangunkan gadis itu.

Dia tidak memiliki gangguan pendengaran, hanya saja dia kalau sedang tidur sudah seperti latihan menjadi orang mati.

Wajahnya sudah memucat melihat arah jarum jam, jantungnya berdegub semakin kencang sehingga darahnya mengalir semakin deras saja.

Padahal untuk sadar setelah bangun tidur, gadis itu butuh berdiam sejenak. Nyawanya belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, kali ini dia tidak bisa melakukan ritualnya karena dia sudah kesiangan.

Segera saja dia berlari menuju kamar mandi, tidak butuh waktu lama untuk bersiap dengan seragam yang dia idam-idamkan selama ini.

Seragam putih abu-abu yang membuat senyum lebarnya mengembang dengan indahnya.

Gadis itu bernama Bulan Faressa. Gadis dengan postur tubuh tinggi, berkulit kuning langsat, berwajah bulat, berambut panjang sepinggang, dan warna bola mata hitam legam. Dia adalah anak tunggal dari pasangan suami istri bernama Ferdi Natama dan Gabriela Clairin.

Sebagai anak satu-satunya, ia cenderung manja terhadap orang tuanya. Gadis itu tidak hanya manja, melainkan memiliki modal nekat yang besar.

Jika dia menginginkan sesuatu, maka dia akan berusaha semaksimal mungkin. Sayangnya, jika dia tidak berhasil mendapatkannya maka dia akan terpuruk dengan pemikirannya yang menjatuhkan dirinya sendiri.

Seusai memastikan tampilannya sudah sempurna, ia segera mengambil tas ransel bermotif beruang cokelat dan memasukkan beberapa buku serta alat tulis ke dalamnya.

Tidak lupa memasukkan cas handphone dan powerbankCiri khas anak millennial masa kini, hidup akan semakin sulit jika tidak memegang handphone. Makan pun rasanya hambar jika tidak melihat sosial media.

Ia langsung keluar dari kamar, melangkah menuju meja makan. Bulan tersenyum sumringah, sudah ada Mami dan Papinya.

Ferdi tengah membaca berita di koran, sedangkan Gabriela sedang membuatkan roti bakar untuk suami dan anak gadisnya.

“Selamat pagi, Mami dan Papi!” seru Bulan dan langsung duduk di kursi yang kosong.

Pagi hari ini tampak sempurna, meskipun jantungnya masih belum berdetak normal karena gelisah dengan waktu yang mepet.

Namun, prinsipnya dia tidak akan pergi jika belum makan. Bulan sadar diri akan kondisi tubuhnya yang bermasalah jika tidak menyempatkan waktu untuk makan.

Mungkin masih ada penyakit lainnya yang tidak diketahui gadis itu, tetapi tidak apa-apa. Dia masih bisa bernafas dan menikmati waktunya dengan orang tuanya saja sudah lebih dari cukup.

Gabriela tersenyum menatap anak gadisnya itu, “Tumben rambutmu rapi, biasanya rambutmu enggak keurus.”

Kekehan terdengar dari Ferdi, ia tahu persis seperti apa tampang anak gadisnya ketika bangun tidur dan tidak merapikan rambutnya. Rambutnya acak-acakan, bahkan ada yang berdiri karena tidak disisir terlebih dahulu. Tidak lupa dengan iler yang setia di sudut bibirnya, membuatnya persis seperti pembantu bukan sebagai anak.

Bulan tersenyum masam mendengar ejekan yang keluar dari bibir Maminya, terlebih lagi kekehan dari Papinya. Dia sudah tahu apa yang dibayangkan Papinya itu.

“Ketawain aja terus. Jahat amat sama anak sendiri, atau jangan-jangan Bulan bukan anak Papi sama Mami lagi?!” gurau Bulan mengada-ngada.

Jelas wajah Gabriela berubah mendengar hal itu, perjuangan untuk memiliki Bulan bukan perkara yang mudah.

Ia harus menerima kenyataan pahit atas keguguran yang dialaminya beberapa kali. Bahkan ia sudah tidak memikirkan akan memiliki keturunan, hingga hari itu tiba. Hadirnya Bulan di hidup Ferdi dan Gabriela membawa suka cita melimpah dan membuat mereka terus sadar jika ada akhir bahagia dalam panggung sandiwara ini.

Melihat wajah istrinya yang muram membuatnya memukul pelan punggung anaknya itu.

“Bercandaannya yang kreatif dikit, dong. Lihat tuh ada yang udah manyun. Udah cepetan ke mobil. Masih ingat hari ini sekolah, kan?”

Bulan tersenyum lalu beranjak mendekati kedua orang tuanya. Rutinitas lainnya adalah memeluk mereka sebelum memulai aktivitas di luar rumah.

Bagi Bulan, dengan memeluk orang tuanya atau siapapun bisa membuat perasaannya menjadi lebih lega. Seperti ada energi bahagia yang ditransfer ke dalam tubuhnya.

Menikmati aroma khas sehabis hujan membuatnya semakin bersemangat. Aroma favoritnya yang membuat imajinasinya berkeliaran dengan bebasnya.

Meskipun hujan membawa kenangan pilu, tetapi dia tetap bersyukur setiap mengingat hal itu. Masa lalu bukan untuk disesali, tetapi dijadikan pelajaran untuk menjadikan masa depan menjadi lebih baik.

Bulan sudah berada di dalam mobil, ia sengaja duduk di kursi depan untuk menemani Papinya. Ia suka mengajak Papinya mengobrol sembari membunuh waktu menuju ke sekolahnya.

Membahas tentang apa saja, bisa tentang pengalaman Ferdi sewaktu menempuh kuliah di fakultas Kedokteran, pengalaman sewaktu menjalankan Koas, serta perjuangan Ferdi untuk meluluhkan hati Gabriela.

Ia selalu suka mengingat perjalanan kisah orang tuanya. Mendapatkan hati Gabriela bukan perkara mudah, Papinya harus menerima kenyataan pahit jika dia ditolak berkali-kali oleh Maminya itu. Cerita yang berharga untuk diingat, dan berharap kisah cintanya akan seindah kisah mereka.

Mereka terus bercerita hingga tiba di sekolah Bulan.

“Bulan sekolah, ya. Papi hati-hati,” ucap Bulan sembari mencium tangan Papinya itu.

Ferdi tersenyum sembari mengelus puncak kepala anak gadisnya.

“Selamat belajar, sayang. Jangan culik anak orang, ya,” gurau Papinya ketika Bulan baru saja turun dari mobil.

“Ih, Papi!” seru Bulan lalu menutup pintu mobil dengan keras. Lalu, berjalan menuju ke dalam sekolah. Hatinya masih kesal karena gurauan tadi.

Biarin saja Papinya kaget, siapa suruh godain anaknya terus!

Saking kesalnya, ia sampai tidak menyadari jika ada orang di depannya. Bulan yang menabrak, tetapi dia yang terpelanting ke lantai. Teriakan kecilnya menghiasi tempat itu, membuat semua pandangan tertuju padanya.

Ia menatap ke orang yang ditrabraknya itu, “Ma-maaf, Kak. Saya enggak hati-hati tadi.”

Baru hari pertama dan sudah menimbulkan permasalahan merupakan mimpi buruknya yang menjadi kenyataan. Siapa yang mau membuat masalah di hari pertamanya?

Dari wajahnya, ia terlihat masih muda. Wajahnya yang menawan membuat kadar gantengnya meningkat berkali-kali lipat. Tentu saja membuat jantung Bulan semakin berdisko.

Dia tersenyum setelah diam beberapa saat.

“Lain kali mata itu dipake, jangan disimpan aja. Mubazir,” ucapnya sambil berlalu dari hadapan gadis itu.

Kalimat yang cukup menohok, tetapi tidak masalah karena yang bersalah memang gadis itu sendiri. Ia tersenyum dan menepuk pelan dadanya, berusaha menerima perkataan sarkastik tadi.

Ia melihat ke arah jam di layar handphone-nya dan segera berlari menuju kelasnya. Setelah menaruh tas di kelas, ia segera pergi menuju Auditorium.

Begitu ia duduk di kursi yang paling dekat yang pintu masuk Auditorium, acara pun dimulai. Ia menghela napas lega tanpa mengetahui jika ia baru saja melakukan kesalahan.

Note :

Hai! Terima kasih sudah mampir. Cerita ini diikutsertakan dalam Fanos Writing Marathon. fanos_publisher

Mohon dukungannya, ya!

#fwmbatch1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro