Pelukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berusaha memejamkan mataku untuk membunuh waktu. Dua jam yang seharusnya bisa membuatku tidur sebelum kembali mengirimkan beberapa surat lamaran.

Aku masih merasa ini adalah akal-akalan Sky, tapi mendengar nada suara Bu Happy yang serius membuatku menepis kecurigaan. Mana mungkin Bu Happy bisa disogok oleh laki-laki sialan itu.

[Te, kamu di mana?]

Lagi-lagi pesan dari Sky muncul. Dia ini apa tidak punya rasa bosan dan kesal kepadaku yang mengabaikannya? Kenapa begitu persisten dan malah membuatku takut. Karena aku  akan merasa sangat terluka jika menerimanya dan kemudian dia berubah.

Kuacak rambutku dengan kesal, bagaimana caranya membuat laki-laki ini sadar dan mundur? Apa aku harus mengganti nomerku? Tapi aku sudah terlanjur menyebar banyak lamaran dengan nomer ini.

Apa sebenarnya yang membuat Sky begitu gigih? Aku juga bukan wanita yang bisa jadi adalah tipe yang dia sukai. Dia laki-laki dengan well groom dan selera yang tinggi.

Sementara aku hanyalah wanita yang hidup serampangan dan sesukaku. Bahkan aku tidak seperti Diana yang berdandan dan cantik, pun aku tidak seperti Frida yang selalu terlihat stylish.

Semakin aku memikirkannya aku malah semakin stress, rasanya aku tidak pantas untuk diperlakukan seperti ini. Karena dari awal aku sudah menolaknya. Walau penolakan itu sesungguhnya hanya egoku yang tidak mau terluka.

Alarmku berbunyi, aku bergegas mandi, setidaknya aku harus terlihat seperti seseorang yang bepergian jauh. Aku menyiapkan ranselku dan mengisinya dengan beberapa baju agar meyakinkan. Gara-gara Sky sekarang aku pintar berbohong dan bersandiwara. Sial.

Kupesan ojek online, sebenarnya aku pindah tidak jauh dari kantor, dan kost lamaku. Aku hanya menghilang dan mencari alasan agar aku bisa resign di saat Sky tidak ada di kantor waktu itu. Karena kesempatanku untuk kabur saat dia tidak ada sangatlah besar.

Aku kembali menyusuri jalanan yang kuhindari beberapa waktu ini. Jalan yang sebenarnya ingin kutinggalkan. Aku berhenti di depan kafe yang ada di seberang kantor. Kukirimkan pesan ke Bu Happy dan menunggu di dalam.

Kupesan latte dan croissant seperti biasanya, untung tidak ada orang lain saat ini, jadi aku tahu bahwa Sky tidak ada di kafe itu seperti kecurigaanku. Bu Happy tampak menyeberang jalan membawa filling yang sepertinya berkas yang dimaksud bermasalah.

"Sudah lama, Te?" Bu Happy duduk di depanku.

"Belum, Bu. Baru saja. Berkas mana yang miss, Bu?" Aku tidak ingin berbasa-basi.

"Ini, Te. Pak Danu bilang dia menginginkan skemanya seperti ini, kenapa di data jadinya begini?" Bu Happy melampirkan data dari klien dan data yang kubuat.

"Bentar, Bu. Saya yakin sudah mengerjakan sesuai dengan permintaan beliau," ucapku sambil menatap Bu Happy tak percaya.

"Kamu bawa laptop?"

"Tidak, Bu. Saya sudah mengirimkan barang-barang saya ke Jawa, jadi saya hanya membawa beberapa baju." Kuperlihatkan ransel yang sengaja kutaruh di dekat kakiku.

"Susah, ya, Te. Aku ambil laptop dulu kalau begitu, karena aku mendapatkan file sudah dalam bentuk ini." Bu Happy bangkit dan meninggalkanku.

Kubolak-balik berkas itu sambil mengorek ingatanku, bahwa aku sudah mengerjakan hal itu benar. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal, dan terus menatap berkas yang tidak bersalah itu.

"Sudah, Bu?" Kudongakkan kepalaku saat seseorang duduk di depanku. Seketika dadaku sesak kujatuhkan kertas yang sedari tadi kupegang.

"Harus seperti inikah caraku untuk menemuimu?" Sky menatapku tajam.

"Aku ..." Aku tak bisa mengatakan apa pun karena suaraku tercekat oleh keterkejutan akan kehadirannya. Seharusnya aku mengikuti insting yang mengatakan bahwa ini adalah akal-akalan Sky.

Kuambil ranselku dan beranjak, aku sudah terlanjur marah dengan caranya. "Aku menjauh dan berharap kamu tak pernah mencariku." Aku berlalu dan tidak memedulikannya.

"Tapi aku tidak bisa karena aku merasa bersalah untuk tindakan terakhirku padamu." Sky memegang tanganku dan berdiri dari duduknya.

"Aku memaafkanmu, dan oleh karena itu aku pergi, karena aku tidak ingin lagi terlibat hal yang aneh denganmu. Tolong lepaskan tanganmu." Aku menepis tangannya.

Dia melepaskanku tapi malah membawaku ke pelukannya. "Maafkan aku, setelah ini, silakan pergi, tapi tolong kali ini jangan menghindari pelukanku." Dia berbisik, membuat dadaku sesak. Otakku beku dan tak bisa berpikir. Badanku ikut kaku dan tak merespon apa pun.

"Biarkan untuk sejenak seperti ini, Te." Dia meminta dengan lirih. Sesak, dadaku semakin sesak, aku butuh oksigen untuk berpikir dan bergerak. "Tolong, Te. Jangan menghindar untuk beberapa menit." Sial. Suaranya kini malah seolah merasuki tubuhku, membuat ransel yang ada di tanganku jatuh terkulai di lantai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro