Bab 137 Sampai Kapan Mau Dikejar Terus?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Baru menikah satu hari, pengantin pria meninggal dunia!

Pasangan ini bercerai setelah satu hari menikah!

Setengah membanting, Mahira menaruh ponselnya di atas meja dalam posisi layar berada di bawahnya. Wajahnya langsung kusut setelah membaca berita yang tiba-tiba saja muncul di beranda media sosialnya. Padahal tadinya Mahira berniat mencari hiburan mumpung sedang di Pulau Palapalove. Sejenak mengintip seperti apa dunia maya sekarang setelah ia berstatus sebagai istri Andra.

“Kenapa? Kok ponselnya malah digituin? Gimana kalau rusak?”

Andra muncul dengan wajah tak kalah kusut. Sengit ia menanyai Mahira barusan.

“Gak apa-apa. Cuma lagi kesel aja karena lihat berita-berita aneh di media sosial.” Jujur Mahira menjawab, meski selebihnya ada hal yang ia tutupi. “Jadi dijemput si Muel?”

“Lagi dijalan katanya. Malah ngamuk-ngamuk dia!”

“Loh? Kenapa?”

Andra tersenyum tipis. “Kesel karena gak diundang ke nikahan kita kemarin.”

“Kenapa juga gak diundang, Dra? Dia manager kamu loh! Tapi … kok bisa sih dia gak tahu kalau kamu mau nikah?”

“Emang harus tahu?”

“Ya … kan dia manager kamu. Biasanya kalau manager itu paling tahu banget aktivitas artisnya, kan?”

“Sayangnya aku bukan artis yang segalanya ngasih tahu ke Muel, Ra. Apalagi kita juga baru kerja bareng beberapa bulan ke belakang. Belum sedeket itu sih!”

Pembicaraan dengan Andra kali ini begitu menyenangkan yang justru sangat disayangkan oleh Mahira. Bisa-bisanya suasana hangat begini malah terjadi di detik-detik mereka akan berpisah. Memang bukan perpisahan selamanya sih, tapi karena kesibukan masing-masing yang tak bisa diabaikan. Pembahasan ini pun tak lagi disinggung oleh Andra lagi yang membuat masalah ini belum juga memiliki titik temu. Masih menggantung.

Kemunculan Muel malah seperti sebuah pertanda buruk. Mahira sulit sekali untuk tersenyum bahagia meski Muel tampak semringah melihat keduanya. Bahkan mempreteli Andra dengan omelan karena sama sekali tak memberitahunya perihal pernikahannya ini.

“Gue pikir lo beneran sakit, Mas Chef! Kenapa juga sih sampe bohong segala? Gila lo! Siap-siap diomelin Pak CEO! Kurang ajar lo, yah! Nikah gak bilang-bilang management. Mau dipecat lo?” cecar Muel sampai berkali-kali meninju lengan Andra.

“Di surat kontrak kerja gak ada larangan gue gak boleh nikah, mau itu diem-diem atau terang-terangan.” Andra membela diri.

“Tetep aja, Chef! Ini bisa ngerepotin management! Lo pokoknya jangan upload foto-foto nikahan lo sama Mahira. Mesti ngobrol dulu sama management!”

Mahira yang mendengarnya sampai tak bisa berkata-kata.

“Kenapa? Ini kan urusan pribadi gue? Kenapa kalian mesti ngatur?” tanya Andra yang langsung diangguki oleh Mahira.

“Aduh, Mas Chef … ini tuh penting banget! Gimana kalau pernikahan yang kalian lakuin diem-diem itu malah jadi masalah coba? Bisa bahaya buat karir lo, Chef!”

Mahira sudah menatap sengit Muel yang bicara seenaknya begitu di depannya. Seolah pernikahannya dengan Andra ini justru sumber masalah. Kurang ajar!

“Masalah? Nikah kok jadi masalah sih? Tuhan yang nganjurin kita nikah. Kenapa malah jadi masalah coba? Aneh!” timpal Andra yang juga tak terima dengan tuduhan Muel.

Muel berdecak sebal. “Ya udah deh terserah lo aja. Yang penting gue udah ngasih lo warning! Jangan salahin gue kalau terjadi hal yang gak kalian inginkan! Yuk cabut!”

Andra sudah bersiap menyusul Muel ketika tiba-tiba Mahira menarik tangannya. Ia menoleh sejenak dengan raut wajah dingin. “Kenapa? Aku mau pergi sekarang, Ra.” Andra menanggapi tak acuh. Seperti bisa membaca gerak-gerik Mahira.

Banyak yang ingin Mahira katakan sebenarnya, termasuk mengomentari apa yang Muel katakan barusan. Tapi melihat raut wajah tak bersahabat dari Andra, ia justru jari urung. “Kapan kita ketemu lagi? Kita belum janjian, Dra.” Mahira memperingati.

“Kata kamu dua minggu sekali, kan?” Andra malah balik bertanya.

“Kamu setuju?”

“Aku ngikut aja lah!” Andra memilih tak membuat rumit masalah. Terserah Mahira mau berbuat apapun. Sesukanya saja lah!

“Kok kamu gitu sih ngomongnya? Kayak yang kepaksa.”

Andra membuang napas jengkel sambil melepaskan genggaman tangan Mahira. “Terus aku mesti gimana? Kamu maunya ngikutin kata-kataku atau aku yang ngikutin kata-kata kamu sih?” tanya Andra serius.

“Dra ….”

“Kamu bikin aku serba salah, Hira. Aku mau pergi nih sekarang! Muel udah jemput.”

Dada Mahira terasa nyeri sekali mendapatkan tanggapan demikian dari Andra. Mana nada suara Andra terdengar seperti orang jengkel lagi. Padahal salahnya apa coba? Dia kan cuma butuh kepastikan kapan mereka bakalan ketemu lagi nanti.

Andra kan kemarin sempat protes soal dua minggu sekali ketemu itu. Sekarang tiba-tiba malah setuju. Mahira justru yang jadi serba salah. Andra sebenarnya maunya gimana?

Terlambat. 

Andra tak memberikan Mahira sebuah kepastian apapun selain jawabannya yang ambigu. Seolah setuju usulannya, tapi seperti terpaksa menyetujui. Kentara sekali dari cara dia bicara dan bersikap. Tak acuh, dingin, dan abai. Atau … ini hanya perasaan Mahira saja?

***

Lupakan soal rasa malu apalagi gengsi. Mahira benar-benar tak bisa bersikap baik-baik saja setelah kepergian Andra. Ia menangis tergugu bukan hanya di depan Citra, tapi juga dua sahabat baik Andra. Bukan tanpa disengaja.

“Kemarin Andra ada bilang atau cerita apa gitu ke kalian? Sikapnya beda tadi pas mau pergi,” sergap Mahira pada Randu dan Yogi.

Dua sahabat Andra itu saling bersitatap. Cukup terkejut juga melihat Mahira menangis sampai segitunya. Tidak dengan Citra yang beberapa kali sudah pernah menjadi saksi bisu Mahira menangis yang disebabkan oleh Andra.

“Ga–gak ada sih. Dia kemarin cuma ngajakin kita main aja.” Yogi menyikut Randu untuk membantunya menjawab pertanyaan Mahira.

“Malah ngajakin nombak segala.” Randu menambahkan jawaban singkat saja sambil melirik Citra sekilas.

“Oh! Sama pergi ke pulau terpencil tempat kamu sama dia pernah kejebak itu loh.” Yogi menimpali lagi.

“Ya! Itu sih yang dia omongin ke kita.” Randu membenarkan.

Mahira tentu tak percaya. “Masa cuma ngomongin itu? Gak ngomongin soal masalahnya dia sama aku gitu?”

Randu dan Yogi serempak menggeleng. Menyembunyikan kebenaran dari apa yang mereka ketahui. Bukan bermaksud berbohong pada Mahira. Tapi mereka tak mau terlalu ikut campur urusan Andra yang terlalu rumit ini. Apalagi mereka juga tak tahu solusi yang tepat bagi masalah Mahira dan Andra ini apa. 

Emangnya masalah malam pertama dan datang bulannya Mahira harus jadi urusan Yogi dan Randu? Enggak, kan? 

“Kalau kata aku sih yah, Mbak mending resign aja. Ngikut Mas Andra ke Jakarta. Ngikut suami itu ibadahnya seorang istri!” Citra dengan tegas memberikan usulan yang spontan membuat Randu dan Yogi mengangguk.

Terang saja itu membuat Mahira jadi heran sendiri. “Kok kalian berdua malah ngangguk sih? Kalian tahu sesuatu soal ini juga?”

Randu dan Yogi jadi salah tingkah sendiri. Mereka gagal melakukan kebohongan di depan Mahira karena terpancing oleh perkataan Citra tadi. 

“Sorry yah, Ra. Gue sebagai cowok bukan mau ngebela Andra. Tapi yang dikatakan Citra itu ada benernya. Masalah lo sama Andra itu solusinya cuma satu.” Randu memberanikan diri membuka suara meski tadi sempat tak bernyali untuk mengungkapkan pendapatnya. “Lo mesti resign! Lepas karir lo di sini dan lo cari karir baru di kota. Dengan kemampuan lo, gue yakin lo bisa dapetin pekerjaan yang lebih baik dari ini.”

“Bener, Ra! Lo kok mau-mau aja sih bertahan di sini? Mana di pulau terpencil lagi! Kalau gue jadi elo, gue juga kayaknya bakalan resign sih. Tapi … karena gue gak punya alasan buat resign, gue juga masih jomblo, di tempat ini juga gue gak kesepian, jadi … yah gue bertahan di sini. Kalau elo? Beda, Ra. Lo udah nikah. Udah punya suami pula!” Yogi menambahkan. Sepakat atas usulan Randu juga.

Mahira tentu merasa disudutkan sekarang. Rupanya tak ada yang berpihak padanya sekarang ini, termasuk Citra juga. Seolah keputusan yang diambilnya ini adalah sebuah kesalahan fatal.

“Mau sampai kapan lo bikin si Andra berkorban terus, Ra?” Yogi melipat dua tangan di dada. Menatap Mahira sengit. “Kalau dulu dia bisa ngelakuin segalanya buat dapetin lo, kenapa sekarang lo gak ngelakuin segalanya buat pertahanin hubungan lo sama dia?” serang Yogi. “Jangan egois, Ra. Cinta bukan tentang pengorbanan satu pihak aja. Dengan lo resign dari tempat ini pun, gue yakin itu gak bakalan bikin lo rugi seumur hidup. Karena apa? Kerjaan baru bisa dicari dan diganti. Tapi pasangan yang tulus cinta sama kita, belum tentu bakalan ada penggantinya. Lo pernah punya pengalaman dikhianati, kan? Kenapa gak belajar dari sana aja buat ngelakuin segalanya demi mempertahankan pernikahan lo sama Andra? Lo sama Andra tuh nikah! Bukan pacaran lagi! Nikah, Hira. Kalian itu udah nikah!”

Randu spontan bertepuk tangan setelah mendengar Yogi bicara panjang lebar sekali. Citra juga sampai terperangah.

“Sumpah! Mas Yogi kok bijak banget gini sih?” Citra sampai ikut terpukau mendengar perkataannya tadi. “Kesambet malaikat yang mana, Mas?”

Randu terkekeh. Yogi tersenyum bangga sendiri mendapatkan pujian itu. Kecuali Mahira yang sedang termenung serius, memikirkan kata-kata Yogi barusan yang ternyata cukup mengusik pikirannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro