Bab 42 Sudah Lima Jam Berlalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Itu suara Galang. Tak asing di telinga Mahira. Itu juga seperti suara pertanda bahwa sosok lelaki itu di hatinya belum sepenuhnya terlupa.

Bagaimana bisa lupa kalau tiap mencoba melupakan Galang, Mahira merasa itu tak mungkin terjadi. Sejauh apa pun Mahira lari, pergi menjauh dari Galang, akan ada satu kesempatan mereka bertemu sebagai ipar. Ya Tuhan ... ini menyesakkan sekali bagi Mahira.

Entah bagaimana caranya ia bisa melepaskan Galang dengan benar. Sampai detik ini, Mahira masih terkungkung dengan rasa sedih yang kian hari semakin menyebalkan. Seolah di depan sana hanya kegelapan yang menantinya.

"Zahra yang telepon?" Andra tak bisa pura-pura tak acuh. Raut wajah Mahira jelas begitu kusut. Itu artinya si penelepon barusan bukanlah sosok yang diharapkan Mahira. "Ngapain dia telepon kamu?"

Mahira mengangkat satu ujung bibirnya. "Langkah macam apa yang harus aku lakukan buat hapus jejak-jejak Galang dari kehidupanku? Kalau tiap inget Zahra aja, aku secara otomatis bakalan inget Galang. Coba posisikan dirimu di posisiku, Andra."

"Aku tahu itu emang gak mudah, Hira. Tapi, mau sampai kapan kamu simpen foto-foto dia? Kamu kayak gak bener-bener berusaha buat lupain semua yang udah terjadi di antara kalian! Kamu harus mulai berdamai dengan keadaan, tapi bukan larut dalam kesedihannya."

"Aku udah berusaha! Usahaku ini tentu aja gak akan kamu ketahui. Seberapa keras aku berusaha lepasin dia, jauhin dia, sampe berusaha buat gak inget dia lagi. Kamu pikir aku mau kayak gini terus? Enggak, Andra!"

Mahira tak bisa membendung kejengkelan dan kesedihan di hatinya. Air matanya perlahan tumpah yang sesegera mungkin ia seka. Andra melihatnya dengan jelas dan langsung buru-buru berpaling, pura-pura tak melihat meski itu tak mengubah kenyataan kalau suasana hati Mahira semakin kacau balau.

Tak mau sampai ada yang melihatnya menangis selain Andra, Mahira kembali keluar dari kapal. Berjalan cepat menjauh dari kapal. Saat ekor matanya menangkap para karyawan yang berkeliaran tak jauh darinya, Mahira memilih memutar arah ke jalur sebaliknya. Ia berusaha keras menghindari orang yang dikenalnya di tempat ini.

Rasanya frustrasi sekali. Meski jumlah karyawan tak terlalu banyak, ia merasa setiap kali ia melangkah, ada saja orang yang dikenalnya muncul. Dunia terasa begitu sempit ketika Mahira mencoba mencari tempat persembunyian untuk menenangkan diri. Sampai tiba-tiba sebuah motor menghadang langkahnya.

"Naik!" perintah Andra yang mengemudikan motor itu.

"Turun! Aku bisa nyetir motor itu sendiri."

Andra tentu saja tak menduga kalau dia akan diusir oleh Mahira dari kendaraan yang baru disewanya dengan cara seperti ini. "Aku yang nyetir. Kamu duduk di belakang."

"Aku bisa nyetir sendiri."

"Aku tahu. Tapi kamu gak bisa nyetir dalam kondisi mau nangis kayak gitu."

Mahira buru-buru berpaling. Andra tersenyum diam-diam ketika Mahira akhirnya mau duduk di belakangnya.

Ketika motor melesat, Yogi, Randu, dan Citra menyaksikan kepergian mereka dari atap kafe.

***

Air mata Mahira batal tumpah. Angin menerpanya cukup kencang hingga membuat Mahira tak memiliki banyak waktu untuk larut dalam kesedihan yang beberapa waktu lalu mengungkungnya.

"Kamu gila, Andra! Berhentiii!!!"

Teriakan Mahira didengar oleh Andra tentu saja yang tampak enggan memperlambat laju kendaraan. Ia malah diam-diam tersenyum. Puas diteriaki Mahira yang tampaknya ketakutan ia bawa kebut-kebutan.

Jalanan memang sepi. Nyaris tak ada kendaraan padat lalu lalang di tempat itu. Namun bukan berarti ini melegakan bagi Mahira. Tetap saja aksi Andra yang ternyata malah mengajaknya kebut-kebutan menguji rasa takutnya.

"Andraaa!!!"

Mahira pasti meneriakkan nama lelaki itu kalau sewaktu-waktu Andra mempercepat laju kendaraan setelah sebelumnya melambat. Berulang kali! Mahira sudah memukul, mencubit, bahkan sampai menggerutu kesal. Sayangnya, hal itu malah membuat Andra semakin bersemangat untuk membuat Mahira terus meneriakinya.

"Nikmatin aja, Hira! Kapan lagi coba uji nyali kayak gini?"

"Ini sih bukan uji nyali. Tapi nyari mati!"

Andra dan Mahira saling balas berteriak. Andra yang tertawa, sementara Mahira menggerutu.

"Sekali-kali! Lagian pemandangan di sini indah! Jalanan juga lengang! Polisi juga gak ada. Aman nih buat kebut-kebutan!"

"Kalau nikmatin pemandangan indah tuh harusnya gak kebut-kebutan kali! Aneh kamu, Andra!"

"Kita pake cara yang berbeda, Hira! Biar berkesan dan gak mudah dilupain!"

"Awas aja kalau sampe cela—aaa!!!"

Andra tak membiarkan Mahira menuntaskan kalimatnya. Motor sekali lagi ia lajukan dengan cepat, tepat ketika sebuah mobil dari arah berseberangan muncul. Kontan saja Mahira langsung berteriak dan menyembunyikan kepalanya di balik punggung Andra. Ia takut bukan main sampai tak berani menyaksikan bagaimana motor Andra berhasil atau tidaknya melewati mobil itu dengan selamat.

Secara spontan dua tangan Mahira menjawil dua ujung baju Andra erat. Andra sebentar kehilangan fokus melihat dua tangan Mahira yang terkepal di dua sisi pinggangnya. Ia juga dapat merasakan punggungnya menghangat akibat kepala Mahira yang menempel. Senyum di wajah Andra lagi-lagi terbit.

"Kita cari makan dulu gimana?"

"Bodo amat!"

"Mau makan apa?"

"Terserah!"

Keduanya lagi-lagi saling berteriak dengan Mahira yang sudah kelewat jengkel. Ia mendadak tak tahu bagaimana caranya menghadapi tingkah usil Andra saat ini.

"Oh? Beneran nih terserah aku aja? Awas yah kalau protes!"

Ingin sekali rasanya Mahira melayangkan pukulan sampai membuat Andra jatuh mungkin dari motor ini. Tapi ia tahu, lelaki itu sedang mengemudikan motor yang tengah dilajukan dengan kecepatan tinggi. Mahira masih punya akal sehat untuk tak melakukan tindakan ceroboh yang bisa membahayakan nyawanya juga. Ia hanya bisa meredam segala kejengkelan yang akan ia lampiaskan nanti ketika motor ini berhenti.

Mahira bersumpah! Ia akan membalas keusilan Andra yang nyaris membahayakan nyawanya ini berkali-kali dengan balasan yang setimpal! Awas saja cowok itu!

Sore sudah menjelang ketika Andra akhirnya menghentikan motornya di sebuah pom bensin. Mahira tentu saja buru-buru turun dari motor. Satu pukulan keras di bahu hanyalah awal dari pembalasannya yang malah mendapatkan reaksi tawa dari Andra.

"Sakit! Mukul gak kira-kira! Gak sekalian aja motornya juga dipukulin?" canda Andra sambil mendorong motornya mendekati si penjaga bom pensin.

Mahira hanya bisa memasang wajah kusut. Napasnya nyaris habis sekarang untuk membalas gurauan Andra. Ia kehabisan energi setelah dibawa Andra kebut-kebutan.

"Di sini ada penginapan gak yah, Mas?" tanya Andra pada lelaki berbaju merah-putih yang tengah mengisi motornya dengan bensin. Tentu saja hal itu sukses mengundang rasa penasaran Mahira.

"Ada kok, Mas. Tinggal jalan beberapa meter lagi aja. Nanti nemu Hotel kok."

"Kok malah nanyain penginapan sih? Siapa yang mau nginep?" sela Mahira.

Andra mendorong motornya yang sudah diisi bensin dengan Mahira turut mengekorinya bersama segudang rasa penasaran.

"Sekarang udah mau malem. Kita juga udah jalan hampir lima jam, Hira."

"Ah, masa?" Mata Mahira membola sempurna. Ia celingukan menengadah ke langit yang ternyata hampir menggelap. "Loh? Tadi kayaknya masih siang deh?"

Andra hanya tersenyum simpul meski dalam hatinya ia merasa prihatin. Tampaknya Mahira tak sadar kalau perjalanan yang sudah mereka lalui sudah berlangsung lama.

"Dari tadi kan kamu kebut-kebutan, Dra. Masa sih udah jam segini aja?" Mahira masih protes. Ia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah sore seperti ini.

Kening Andra saling mengerut sejenak. "Naik aja dulu. Kita cari penginapan. Besok kita minta Pak Supri anterin kita ke pulau."

Andra merasa iba melihat Mahira yang tampak masih kebingungan. Padahal ia baru melakukan aksi kebut-kebutan satu jam ke belakang, sementara sisanya Andra melajukan motor dengan kecepatan normal. Ketika itu, Mahira tak bersuara sama sekali. Ia diam seribu bahasa. Berulang kali Andra bertanya dan mengajaknya bicara pun, Mahira tak menggubris.

Dari kaca spion Andra sempat melihat kalau Mahira tengah menangis. Dalam diam. Wajahnya tercenung macam orang kerasukan dan itu berlangsung cukup lama. Mulanya Andra mendiamkan saja, karena ia merasa mungkin itu yang tengah Mahira butuhkan. Tapi lama kelamaan, Andra merasa takut sendiri menyaksikan Mahira diam dengan wajah berubah datar. Aksi kebut-kebutan pun terjadi. Barulah saat itu Mahira bereaksi dan mulai bicara. Berteriak lantang sampai memukul Andra berkali-kali.

Andra tak peduli. Justru dengan reaksi seperti itu lebih membuatnya senang ketimbang melihat Mahira yang diam saja. Dan sepertinya Mahira tak ingat waktu yang sudah ia gunakan berjam-jam lamanya untuk termenung itu tadi.

Kasihan sekali dia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro