Bab 43 Calon Istri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau pesan berapa kamar?"

"Satu, Mbak."

Mahira langsung menyikut Andra. "Ngaco!" protesnya cepat. "Dua kamar, Mbak. Dia supir saya."

Andra mesem-mesem bahagia. "Kok calon suami dikira supir sih?" guraunya.

"Gak usah dengerin dia, Mbak. Baru putus cinta, jadi otaknya agak miring."

Wanita berambut sebahu itu senyum-senyum aja. Merasa lucu melihat interaksi tamu barunya yang akur tapi tak akur. Seperti pasangan tapi malah cekcok.

Dua kamar telah berhasil mereka pesan. Secara kebetulan kamar itu saling berseberangan. Andra menunggu sampai Mahira lenyap di kamarnya. Ia harus memastikan wanita itu benar-benar masuk ke dalam kamar hotel.

"Jangan keluyuran sendirian. Kalau butuh sesuatu, panggil aku dulu."

Mahira malah mengedikkan bahu atas peringatan yang baru saja Andra katakan. "Aku bisa urus diriku sendiri."

"Ya, aku tahu. Kamu pasti bisa urus dirimu sendiri. Maksudku, kita ada di tempat asing. Kalau kamu kenapa-kenapa tanpa sepengetahuanku, aku yang bingung nanti. Apalagi kita belum tukeran nomor selama ini. Mana sini ponselmu!"

Mahira langsung menutup pintu. Sementara Andra enggan menarik keinginannya untuk mendapatkan nomor ponsel Mahira. Ia baru sadar saat itu juga kalau selama ini ternyata mereka tak punya nomor ponsel satu sama lain.

Maklum, selama di pulau, mereka terbiasa berkomunikasi secara tatap muka. Kecepatan lari menjadi salah satu alat penghubung paling ampuh untuk berkomunikasi satu sama lain selain walkie talkie tentunya. Andra tak suka alat genggam ini. Ia jarang menggunakannya untuk menghubungi Mahira kalau butuh sesuatu. Ia lebih suka menghampiri Mahira secara langsung dan bicara saling berhadapan muka dengannya.

Terkesan merepotkan, tapi mengesankan.

Andra mengetuk pintu kamar Mahira yang baru saja tertutup terus menerus. "Mahira! Buka pintunya! Minta nomor ponselmu!"

Pintu kamar hotel terbuka, tapi bukan pintu kamar Mahira. Sadar bahwa ulahnya sudah menimbulkan keributan, Andra rupanya tak menghentikan aksinya. Ia tetap mengetuk dan memanggil Mahira dengan suara pelan.

"Mahira ... cepetan! Minta nomor ponsel kamu!"

Pintu kamar hotel Mahira terbuka. Delikan sinis wanita itu tak cukup mampu membuat Andra merasa takut, ia malah senang dibuatnya. Kalau Mahira marah, kesal, ngedumel, ngoceh, ngajakin ribut, itu lebih baik menurut Andra ketimbang Mahira diam seribu bahasa seperti di perjalanan tadi. Sampai Mahira sendiri pun kaget kalau waktu sudah berlalu cukup lama.

Mahira menarik ponsel Andra. "Jangan disebar ke siapa-siapa tanpa izinku."

"Enggak dong. Aku orangnya sangat menghargai privasi orang, terkhusus calon istriku ini," katanya lagi sampai melemparkan senyum pada Mahira.

Mahira segera menjejalkan ponsel itu ke tangan Andra sebelum kemudian menutup pintu kamar hotel. Andra tetap semringah meski mendapatkannya dari Mahira yang memasang wajah cemberut.

***

Selama itukah dia di atas motor Andra tadi?

Berulang kali Mahira mengingat-ingat perjalanan macam apa yang telah dilaluinya berjam-jam lamanya itu. Sungguh! Yang Mahira ingat hanya ketakutan akibat aksi kebut-kebutan Andra. Selebihnya, nihil! Mahira tak ingat apa pun selain itu.

Malam itu pun tidurnya tak nyenyak. Ia lekat menatap atap kamar sampai akhirnya ia sadar kalau waktu sudah menunjuk ke angka satu malam.

Mahira meraup wajahnya frustrasi. Selimut yang menutupi tubuhnya ia singkap. Ia turun dari ranjang, berjalan ke dekat jendela hotel yang sayangnya menggunakan terali di bagian luarnya. Mahira yang tadinya hendak menghirup angin segar urung melakukannya.

Mahira keluar dari kamar hotel dengan tujuan yang sama, melewati kamar Andra begitu saja. Lorong hotel dengan lampu remang seumpama lorong panjang yang tak berujung. Mahira terus berjalan sendirian tak peduli betapa sepinya suasana di tempat itu. Sampai di kolam yang berada tepat di belakang hotel, Mahira baru menghentikan langkahnya. Ia duduk di salah satu kursi lounger, jatuh telentang di atasnya menatap langit tanpa bintang di atas sana.

Sementara itu di tempat lain, Andra juga sama-sama belum terlelap. Bukan tanpa alasan sebenarnya. Ia yang tadinya iseng menelepon Mahira, mendadak gusar karena panggilannya pada nomor ponsel Mahira tak juga mendapatkan tanggapan. Padahal ini panggilan ke-sepuluh yang dilakukannya. Sangat tak wajar kalau Mahira tak terusik oleh panggilan itu, kan? Sekali pun wanita itu tertidur lelap, pasti Mahira akan terjaga oleh suara dering ponsel.

Atau ... mungkin saja ponselnya memang dalam mode silent?

Andra tak bisa duduk tenang. Apalagi mengingat kejadian tadi siang di mana Mahira tampak seperti orang linglung. Ia mengetuk pintu kamar Mahira dengan hati-hati, tak mau sampai mengganggu penyewa hotel yang lain.

Sekali dua kali, ketukan dan panggilannya tak digubris. Andra menaikkan nada bicaranya, tapi pintu kamar Mahira tak juga terbuka. Iseng Andra memutar gagang pintu dan pintu kamar hotel itu ternyata terbuka begitu saja.

Andra mengendap-endap masuk ke dalam kamar dan ia tak mendapati ada Mahira di sana. Terang saja ia kelabakan. Toilet juga kosong. Tak ada jejak perempuan itu di sana. Terlebih ponsel Mahira rupanya tergeletak di atas nakas.

Dia melihat gorden jendela sedikit terbuka. Dari sana ia dapat melihat seseorang duduk di dekat kolam renang. Dengan cepat Andra turun dari kamar hotel menghampiri sosok yang ia yakini sebagai Mahira.

"Kamu tuh yah! Udah aku bilang kan kalau mau keluyuran tuh bilang-bilang, Hira!"

Andra langsung berkaca pinggang di samping Mahira yang telentang di atas kursi lounger. Ia hendak melanjutkan dumelannya namun saat melihat Mahira terlelap di sana, Andra segera membekap mulutnya sendiri. Takut membuat Mahira terjaga dari tidurnya.

Andra membuang napas jengkel. Tentu saja rasa khawatirnya karena Mahira tiba-tiba menghilang membuat dadanya sesak. Tapi setelah menemukan Mahira dalam keadaan baik-baik saja, kini rasa jengkelnya ini berubah iba. Andra sampai terduduk dengan dua kaki ditekuk tak jauh dari wanita itu tertidur.

"Kamu tuh kayaknya demen banget bikin aku khawatir, Hira. Apa susahnya sih bilang dulu kalau kamu pengen tidur di sini? Dari pada tidur sendirian kayak gini, kan? Gimana kalau ada orang jahat yang berbuat macam-macam sama kamu pas kamu lagi tidur begini?"

Dumelan Andra tak mendapat tanggapan meski ia bicara cukup keras. Tampaknya Mahira benar-benar terlelap dalam tidurnya.

"Dasar cewek jaim! Kalau emang lagi sedih, gak usah sok pura-pura kuat nyampe kerja jauh begini segala. Harusnya kamu tuh lampiasin kekecewaan kamu tuh ke si Zahra sama si Galang, bukan malah ngejauh dari mereka. Itu sama aja kamu kalah dan mengaku kalau kamu sakit hati karena ulah mereka! Diajakin sandiwara buat jadi pacar, gak mau! Harusnya kamu tuh mau, Hira! Kita bikin si Zahra sama si Galang itu ngerasain yang namanya sakit hati, gendok, sampai pingsan kalau bisa. Emang mereka aja yang bisa bikin kita sakit hati dan kecewa? Kita juga bisa balas perlakuan mereka dengan cara yang sama!"

Andra malah jadi jengkel sendiri ngedumel seperti itu tanpa ditanggapi Mahira yang terlelap tidur. Ia tak lagi melanjutkan dumelannya. Andra merebahkan diri di kursi lounger samping Mahira. Sejenak melirik wanita itu, lalu kemudian ia juga berusaha untuk memejamkan matanya.

"Kenapa harus aku?"

Andra batal menutup matanya mendengar suara Mahira bicara.

Ia bangkit dari kursi lounger untuk memastikan kalau ia tak salah dengar. Dan benar saja, rupanya Mahira sudah membuka matanya alias tersadar dari tidurnya.

"Kamu bangun? Sejak kapan?" tanya Andra heran. Senang sekaligus terkejut.

"Kenapa harus aku? Kenapa bukan cewek lain aja yang kamu ajak buat sandiwara jadi pacar kamu? Kenapa harus aku, Dra?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro