Bab 47 Kapan Kita Pergi Ke Pulau Ampalove?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zahra akhir-akhir ini begitu rewel. Galang pikir permintaan Zahra mengenai pergi ke Pulau Ampalove hanya sekelebat keinginannya semata. Rupanya istirnya itu malah makin rajin memintanya meluangkan waktu bahkan uang agar bisa pergi berlibur ke sana.

"Kita honeymoon ke sana aja, Lang. Kita belum pernah loh jalan-jalan berdua romantis yang jauh. Kamu sibuk kerja! Kita bisa rencanain itu dari sekarang."

Galang tentu saja tak mau. Diam-diam menelepon Mahira tanpa sepengetahuan Zahra saja sudah menimbulkan getaran aneh di dalam dadanya. Galang sadar. Ia belum bisa sepenuhnya melupakan Mahira meski bisa menerima Zahra sebagai istrinya saat ini.

Galang tak mau melakukan pengkhianatan untuk ke dua kalinya. Ide Zahra sepertinya tak baik untuk kebaikan hatinya saat ini.

"Selain Pulau Ampalove saja, Ra. Gimana? Ke Bali misalnya. Atau Jogja?"

"Aku maunya ke Pulau Ampalove, Lang. Pengen ketemu Mahira sekalian!"

"Dan Andra?"

Zahra langsung diam. Kentara sekali kalau tebakan Galang tak meleset.

Galang tak mau mengusutnya atau mengintrogasi istrinya dengan kecurigaan berlebih. Jika dirinya saja saat ini masih terus diusik oleh suara Mahira di telepon waktu itu.

"Selain ke Pulau Ampalove, akan aku kabulkan keinginanmu. Aku janji! Aku gak mau kamu ketemu sama Andra di sana, Zahra. Dan aku juga belum siap ketemu sama Mahira. Kamu sadar itu, kan?"

"Itu sih kamu aja kali yang masih baper sama Mahira. Aku sih sama Andra udah gak ada perasaan apa-apa lagi kok!"

Zahra tampak begitu yakin dengan perkataannya. Sampai-sampai Galang merasa bahwa mungkin memang dirinyalah yang bermasalah. Ia jadi malu sendiri.

"Gak ada salahnya berjaga-jaga kan, Zahra. Kenapa harus Pulau Ampalove? Masih ada kok pulau lainnya yang bisa kita kunjungi kalau kamu mau."

"Aku mau ketemu Mahira, Galang. Itu aja! Masa sih kamu gak ngasih izin istrimu ini ketemu sama adiknya sendiri? Mana Mahira gak pernah pulang lagi!"

Zahra bersikeras sekali. Hampir setiap kali bertemu dengan Galang, pasti membahas hal itu. Dari mulai merengek, merajuk, sampai memaksa dengan segala cara. Tentu saja Galang tak mudah untuk mengabulkan keinginan Zahra itu. Sampai Zahra menolak pulang ke rumah mereka sendiri pun, Galang tetap berpegang teguh dengan keputusannya.

Ia tak boleh bertemu dengan Mahira dalam waktu dekat!

Imbasnya, Galang harus berjauhan dengan Zahra yang ngotot ingin tetap tinggal di rumah orang tuanya sampai Galang mau pergi ke Pulau Ampalove dengannya.

Jelas! Itu hal yang muskil Galang lakukan. Sampai waktu yang tak bisa Galang tentukan.

***

Rasanya benar-benar menjengkelkan!

Zahra merasa terkungkung, terpenjara dalam sebuah sangkar berjeruji besi. Sudah sebulan lamanya ia tinggal terpisah dari Galang. Ibu dan Bapak sampai sering mengomelinya karena tak pernah mau pulang bersama Galang.

"Buat apa nikah kalau malah tinggal terpisah kayak gini, Zahra? Kamu tuh istrinya Galang! Nurut dong sama suami!"

Bu Halimah yang paling gencar mengomelinya. Itu karena Zahra dan Bu Halimah lebih sering bertemu di dapur. Masak bersama, makan bersama, sampai menonton bersama. Segala aktivitas di dalam rumah kebanyakan dilakukan berdua.

"Kamu tuh di sini juga gak ada kerjaan, kan? Baiknya temenin suami kamu. Layani dia! Bukan malah tinggal sama orang tua! Kamu bukan lajang lagi, Zahra. Masih mending kalau kamu tuh sambil kerja apa kek gitu. Bikin kesibukan yang bermanfaat, yang produktif saat berjauhan dengan suami. Biarpun berjauhan, bukan berarti kamu cuma leha-leha aja."

"Galang gak ngizinin Zahra kerja, Bu. Dia pengennya aku jadi ibu rumah tangga aja."

"Dengan jauhan kayak gini? Peran kamu sebagai ibu rumah tangganya di mana coba? Gak ada! Kamu gak kasihan apa sama Galang yang harus bolak-balik ke sini tiap minggu? Pulang aja ke rumah kamu kalau emang Galang maunya kamu jadi ibu rumah tangga aja. Fokus urus suami!"

"Enggak ah. Gak nyaman tinggal di rumahnya Galang yang sampingan sama orang tuanya, Bu. Zahra gak betah!"

"Kamu tuh yah! Maunya apa sih? Jangan bikin Ibu malu dong udah nikahin kamu sama Galang, Zahra!"

"Ya terus Zahra harus gimana dong? Ibu ngusir Zahra dari sini?"

"Ibu bukannya ngusir, Zahra. Ibu cuma ngingetin kalau kamu itu sekarang udah jadi istri orang. Kamu harus patuh sama kata-kata suami kamu! Kalau dia minta kamu pulang, yah pulang aja."

"Zahra gak betah tinggal di rumah itu!"

"Harus betah! Itu pilihan kamu! Kamu yang memutuskan menikah dengan Galang. Hadapi konsekuensinya. Jangan mau enaknya aja! Kalau gak betah, diskusikan dengan Galang. Cari solusinya! Bukan malah tinggal jauhan begini. Ini bukan solusi namanya, tapi menghindar! Menyelesaikan masalah dalam pernikahan gak bisa hanya dengan cara menghindar terus menerus, Zahra. Dewasalah sedikit! Jangan kekanak-kanakkan!"

"Ah, Ibu nyebelin! Bilang aja kalau Ibu juga gak suka Zahra tinggal di sini."

"Zahra, Ibu cuma ...."

Zahra sudah pergi berlalu sebelum Bu Halimah menyelesaikan kalimatnya. Dengan sengaja Zahra membanting pintunya dengan keras demi menunjukkan betapa kesalnya ia karena kena omel ibunya sendiri.

"Gak orang tua sendiri, gak mertua, semuanya nyebelin!" Zahra menggerutu kesal bersama tangis yang perlahan luruh. "Suami juga sama! Sok pengatur! Egois! Cuma mikirin dirinya sendiri!"

Zahra menangis dengan raungan yang cukup keras. Kekesalan yang membuat hatinya sesak dirasa tak mampu ia pendam diam-diam lagi. Zahra tak peduli kalau Ibu atau Bapak mendengarnya menangis. Biarkan saja mereka tahu! Biar mereka tahu betapa rapuhnya Zahra saat ini.

"Semua orang cuma pengen dimengerti! Mereka cuma pengen enaknya sendiri sampe gak peduli sama orang sekitarnya. Mereka semua egois! Gak ada yang bisa ngertiin aku!"

Zahra baru berhenti menangis saat malam. Ia sampai melewatkan waktu makan malamnya dengan sengaja. Ajakan Ibu dan Bapak ia tolak dengan diam seolah Zahra ingin mereka semua tahu kalau ia sedang tak baik-baik saja.

Zahra tampak fokus menatap layar laptop di kamarnya. Di bawah cahaya temaram. Tak mau larut dalam kesedihan tak berkesudahan, Zahra memilih melakukan sesuatu yang menurutnya lebih bermanfaat.

Esok pagi tiba, Zahra akan mengutarakan keinginannya lagi pada Galang. Bukan tentang keinginannya berkunjung ke Pulau Ampalove. Bukan! Ini tentang keinginannya yang lain yang tiba-tiba terbesit dari percakapan dengan Ibunya kemarin siang.

"Aku akan pulang ke rumah kita, Galang. Tapi ada syaratnya." Zahra tampak serius dengan perkataannya. Ia bahkan belum beranjak dari tempatnya duduk semalam. Laptop di hadapannya pun masih menyala.

"Tidak dengan Pulau Ampalove, Zahra. Aku tak mau kita pergi ke sana." Galang membalas dari seberang telepon sana.

Zahra mencebik jengkel. "Iya ... Kita gak akan pergi ke sana kalau emang kamu gak mau."

"Terus syarat apa yang kamu maksudkan tadi? Kenapa pulang ke rumah sendiri saja pake syarat segala sih?"

"Itu karena tinggal di rumah kita sama dengan berperang, Galang. Aku dan orang tuamu belum bisa akur. Kamu tahu itu, kan? Kamu pasti lebih tahu betapa tak sukanya mereka ke menantu yang tak diharapkannya ini."

Galang tak bersuara di seberang sana. Zahra tahu kalau suaminya itu pasti tak bisa membantah perkataannya barusan.

"Aku mau kerja, Galang."

"Kerja?" Galang terdengar terkejut. "Enggak, Zahra. Kita udah sepakat kalau kamu gak perlu kerja. Aku bisa memenuhi kebutuhanmu! Penghasilanku cukup untuk kita berdua!"

"Aku tahu! Tapi bukan itu alasannya, Galang. Aku mau melakukan aktivitas di luar sana agar tak harus ada di rumah seharian. Kamu ngerti kan maksudku?"

Galang tak bersuara lagi. Entah mencoba mencerna kalimat Zahra atau bukan, Zahra tak tahu.

"Aku mau kerja, Galang. Biar aku tak punya banyak waktu bertemu dengan orang tuamu. Itu saja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro