Bab 81 Wanita Berhati Batu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Dapat!”

Andra berlonjak riang sampai membuat Pak Satya nyaris menumpahkan kopi yang baru saja ia teguk. Kakek tua itu sudah siap mengumpati Andra, tapi lelaki itu sudah lebih dulu keluar dari ruang kerjanya.

“Dasar anak tak tahu sopan santun! Sudah banyak berbuat ulah di tempat ini, tingkahnya seperti anak kecil saja. Tak punya rasa malu! Kalau bukan karena dia anak kenalan Pak Prawira, sudah aku depak dia dari tempat ini!”

Teriakan Pak Satya itu hanya ditingkahi Andra dengan tawa semringah. Ia mengintip ruang kerja Mahira sebentar, namun perempuan itu tak ditemukan ada di sana. Bukannya kecewa, Andra malah mengelus dadanya karena lega. 

Sayangnya, tepat ketika ia keluar dari Ruang Kerja Ampa, Mahira rupanya baru muncul ke tempat itu. Andra terkejut bukan main seperti baru saja kepergok melakukan suatu kesalahan. Belum lagi tatapan penuh selidik perempuan itu yang makin membuat Andra merasa bersalah.

“Ngapain kamu di sini?” selidik Mahira. Heran saja soalnya melihat Andra siang bolong begini malah keluyuran di Ruang Kerja Ampa, bukannya berada di restoran. Patut kalau Mahira curiga jika Andra melakukan hal yang aneh. 

“Itu … ketemu Pak Satya.” Andra gelagapan.

“Ini soal kita yang menghilang waktu itu bukan?” Wajah Mahira tampak begitu gugup. “Dia kok gak bilang apa-apa yah soal ini ke aku. Negur aja enggak! Gak kayak waktu kita gak pulang semalam itu loh, Dra. Apa barusan beliau baru bahas hal itu?” tanyanya takut-takut. 

Awalnya Mahira sudah menduga kalau insiden ia terjebak di pulau tak berpenghuni itu akan berujung sama seperti ketika ia tak sengaja pergi dengan Andra di Pulau Palapalove. Tapi anehnya, Pak Satya sama sekali tak menyinggung hal ini. 

“Oh … tenang aja. Masalah itu udah beres kok.” Andra menyengir kuda. Dua tangannya bertumpu di belakang. Ia tampak lebih santai sekarang. “Yah … seperti yang kamu tahu. Korban insiden itu kan bukan hanya kita berdua aja, tapi juga kapal pribadiku.”

Mahira menggigit bibir bawahnya tanpa bisa menatap Andra. Malu sekali ketika hal itu diungkit. Ia tahu Andra hendak mengarahkan pembicaraan ini ke mana.

“Jadi, setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memilih untuk tidak mengusut hal ini saja. Kamu tahu? Aku sampai memohon pada Pak Satya agar dia tak mengadukan hal ini pada kakek dan keluargaku. Aku bilang padanya kalau ini memang kesalahanku dan aku siap menebusnya dengan tak menerima gajiku selama lima bulan ke depan!”

“Apa?” Mata Mahira melotot seketika. “Dra … aku ….” Mahira mau menyangkal kalau tindakan Andra keliru. Tapi ia juga tak cukup berani mengambil risiko yang lebih besar, apalagi sampai mengganti kapal yang tenggelam itu seperti yang pernah Andra katakan dulu.

“Sudah, yah. Aku harus ke restoran dulu, Ra. Bye!”

Andra sudah siap melangkah pergi ketika tiba-tiba Mahira menghadangnya. Tentu Andra terkejut, tapi mati-matian ia menahan diri untuk tak menunjukkannya. 

“Tunggu, Dra! Soal insiden waktu itu ….”

“Salahku juga, Ra,” potong Andra cepat. “Aku tahu itu. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menganggap masalah ini selesai saja. Harusnya aku gak bawa kamu pergi dengan cara itu.” Ia tertunduk lesu untuk menunjukkan betapa menyesalnya Andra atas tindakannya waktu itu. Sambil berharap semoga dengan cara ini hati Mahira yang keras itu bisa sedikit luluh.

“Iya sih. Itu maksudku, Dra. Insiden itu juga salah kamu.”

Andra nyaris tak bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat mendengar tanggapan Mahira barusan.

“Jadi memang harusnya kamu yang bertanggung jawab penuh atas insiden ini. Kamu hampir bikin aku celaka! Tahu? Harusnya aku laporin aja kamu sekalian ke Polisi atas kasus penculikan!” sambung Mahira setengah mengancam.

“Hira! Kok kamu ngomongnya gitu sih?” Andra jelas tak terima. Harusnya kan reaksi Mahira bukan seperti ini. “Aku gak ngaduin kamu loh yang udah bikin kapal aku tenggelam!”

“Emang bukan aku yang bikin kapal kamu tenggelam kok! Itu karena kamu yang iseng mau ninggalin aku di pulau terpencil itu. Gimana aku gak panik coba? Orang lain juga pasti punya pikiran sama kayak aku. Kamu pikir itu lelucon?”

Sialan! Kenapa percakapan ini jadi menyudutkan Andra? Padahal kan ia rencananya mau membuat Mahira bertekuk lutut sampai merasa bersalah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

“Terima kasih karena kamu udah ambil tanggung jawab ini secara penuh. Aku sangat menghargainya. Permisi!”

Mahira berjalan melewati Andra setelah itu. Meninggalkan lelaki yang kini merasa kakinya seketika lumpuh hingga tak menapaki tanah lagi. 

“Waaahhh … benar-benar perempuan luar biasa! Dasar hati batu! Lihat saja nanti! Akan aku buat kamu mencintaiku sampai mau mati rasanya! Aaarrrggghhhh!!!”

***

Mahira merasa ada yang aneh dengan liburannya ke Pulau Palapalove tanpa Andra kali ini. Sejak turun dari kapal, lelaki itu sudah memilih jalan berbeda dari karyawan lain yang kebanyakan memilih masuk ke dalam pasar tak jauh dari dermaga. Tentu saja Mahira tak berniat untuk mengekori lelaki itu juga. Bisa-bisa Andra mengoloknya nanti.

Kafe menjadi tempat tujuan yang biasanya Mahira datangi. Sama seperti liburan kali ini. Untung saja suasana kafe ramai, sedikit mengobati kesendirian yang mendadak dirasakan oleh Mahira tanpa keberadaan Andra yang biasanya mengekori.

“Ngapain jadi mikirin dia sih?” gerutu Mahira. Ia sampai memukul kepalanya sendiri demi membuang pikiran tentang Andra.

Ia juga mencoba menikmati agenda liburannya dengan melakukan banyak hal, termasuk berbelanja di pasar. Dari mulai berbelanja baju, sepatu, sandal, sampai jajanan pasar. Tapi, Mahira tetap merasa ada yang aneh meski bisa dengan leluasa pergi ke sana kemari tanpa merasa terbebani oleh Andra yang biasanya mengekori. Berulang kali Mahira menoleh ke arah belakang, samping, bahkan depan seolah mencari sesuatu. Mencari sosok Andra sebenarnya dengan harapan orang itu muncul tiba-tiba. 

Hira, sadar! Kamu gak boleh mikirin dia kaya gini! Sadar, Hira! Kamu harusnya bersyukur karena gak ada yang ngintilin kamu lagi! Lupakan! Fokus! Nikmati liburanmu! Ayo, Hira! Ada apa dengan kamu? Kenapa otak kamu isinya jadi Andra lagi Andra lagi?

Berulang kali Mahira memukul-mukul kepalanya. Tanpa peduli keberadaannya di tengah keramaian yang berhasil menyita perhatian atas tindakannya. Sampai tiba-tiba sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya yang hendak memukul kepalanya lagi.

Mahira spontan menoleh. Matanya tampak berbinar lengkap dengan mulut menganga lebar mendapati orang yang baru saja mencekal tangannya itu adalah Andra.

“Andra!” seru Mahira. Senang sekali rasanya bisa melihat lelaki itu muncul seperti harapannya. Eh?

“Kamu sakit kepala?” tanya lelaki itu tampak khawatir.

Sepersekian detik lamanya Mahira tertegun. Lama menatap Andra dari jarak dekat. Ini bukan hal yang tak biasa karena keduanya sering bersitatap seperti ini. Tapi entah kenapa sekarang rasanya ada yang berbeda. Mahira merasa ada getaran aneh yang menjalar di dalam tubuhnya hingga ia tak kuasa untuk melepaskan diri dari cekalan Andra.

Mahira hanya bisa pasrah. Sama seperti pelukan hari itu.

Ya Tuhan!

“Heh! Mahira!” tegur Andra karena wanita itu malah bengong saja. 

Ini mengingatkan Andra pada kejadian waktu ia membawa Mahira kebut-kebutan. Ekspresi bengongnya nyaris sama. Terlebih perempuan itu baru saja bertindak aneh dengan memukul-mukul kepalanya di depan umum. Andra takut ada hal aneh terjadi pada Mahira lagi.

“Kita ke tempat yang tenang dulu. Ayo!”

Andra menyeret Mahira keluar dari keramaian pasar tanpa penolakan. Berhenti tepat di samping dermaga.

“Kamu sakit kepala? Bagian mana yang sakitnya? Perlu obat? Perlu ke dokter, gak? Kalau iya, aku cari motor dulu. Kita pergi sekarang juga,” cecar Andra yang sudah kepalang khawatir.

Mahira menggeleng pelan. “Aku gak sakit kepala kok,” katanya pelan. Bingung harus bicara apa. Dan entah kenapa rasanya Mahira ingin menarik kata-katanya barusan dan menggantinya dengan jawaban lain. 

Sialan! Mahira inginnya berbohong tapi mulutnya malah berkata jujur.

“Terus kenapa kamu malah mukulin kepala kamu sendiri kalau bukan karena kepala kamu sakit?” tanya Andra penuh curiga. 

“Eng—gak. Gak apa-apa kok!”

“Serius gak apa-apa?”

Mahira mengangguk macam orang bodoh. “Kamu … dari mana?”

Ya Tuhan! Mahira ingin kembali menarik kata-katanya barusan! Bisa gak yah? Atau tulikan saja telinga Andra!

“Aku?” Andra berpikir sejenak. “Cuma jalan-jalan bentar aja nyari sesuatu.”

“Nyari apa emang?”

Kening Andra bertaut keras. “Tumben nanya-nanya begini, Ra? Kenapa? Penasaran yah?”

Sialan! Kenapa mulut Mahira jadi cerewet di waktu yang tak tepat? Andra pasti akan berpikir yang macam-macam karena pertanyaannya ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro