16. FAKTA YANG MENYAKITKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada apa, Ma?" 

Zarra tersenyum, ditatapnya putri semata wayang yang sekarang sudah tumbuh setinggi ini. 

"Maafkan Mama ya, Zee. Mama belum pernah sungguh-sungguh bicara sama kamu soal ini. Mumpung Papa ada meeting di luar, Mama akan cerita sama kamu sekarang. Kamu … bisa?" Keraguan muncul setelah sebelumnya Zarra yakin untuk mengajak bicara Zee dari hati ke hati. 

"Sure. Kita bicara di kamar Zee aja ya, Ma." 

Zarra terpaksa menceritakan semua yang terjadi. Zee berhak tahu dan setelah ini semoga dia mengerti kalau hal terburuk akan terjadi. Hubungannya dengan Brian sudah sangat buruk sehingga jika terus bersama, dia takut Zee akan terluka lebih dalam. 

Zee nggak tahu harus menanggapi bagaimana. Zarra bercerita dari sudut pandangnya. Dan alasan mamanya bekerja sekeras itu karena Brian tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya untuk mengatur keuangan. Dia tidak bebas melakukan apa pun, termasuk ingin membelikan sesuatu yang Zee suka. Kalau sedikit-sedikit minta Brian, tidak nyaman rasanya. 

Belum harus melihat reaksi malas yang ditunjukkan Brian. Zarra seperti mengemis pada suami sendiri. Dan itu berlangsung hingga usia Zee lulus SD. Setelahnya Zarra mendapat tawaran untuk bekerja. Tanpa pikir panjang dia terima demi punya penghasilan sendiri. 

Zee mulai paham di mana dia berada sekarang. Meskipun Mama memilih tidak bekerja di luar kota lagi, sikap Brian makin tidak menunjukkan ke arah yang baik. Tetapi kenapa mengetahui kalau kata cerai adalah solusi terbaik bagi orang tuanya, dia masih tidak sepenuhnya menerima? Usaha memperbaiki keadaan hanya dilakukan sepihak. Hanya Zarra yang berusaha, sedangkan Brian hanya sekadar tidak menggugat cerai. 

"Ma, kalau memang bercerai membuat semua lebih baik, Zee terima itu. Zee nggak mau Mama dan Papa tersiksa jalani semuanya. Nggak mudah tapi Zee akan baik-baik saja." 

Zarra lega. Keputusannya mengajak Zee bicara tidak salah. Reaksi Zee sungguh sesuai harapannya. Perceraian tidak mudah bagi siapa pun yang mengalami karena sebuah hubungan harus terputus dan tidak akan sama lagi. 

***

Di rumahnya Derren dihubungi Aryo kalau ada masalah dengan proses syuting hari ini. 

"Ada kendala apa?" Derren menyesap kopi sambil membuka berkas yang dibawa dari kantor. 

"Model yang diajukan Pak Brian banyak maunya. Semua konsep yang sudah deal tidak jalan. Sekarang gue lagi nunggu dia buat meeting dadakan. Serius, gue pusing kalau ketemu klien kayak gini." 

Derren tahu Aryo masih sabar menghadapai Brian karena tahu dia tetangga bosnya. Tetapi kalau Aryo sudah nyaris menyerah, berarti ada yang tidak beres. Derren baru pertama kali kerja sama dengan perusahaannya Brian. Sebelumnya perusahaan Brian memakai jasa perusahaan lain. Entah bagaimana hasilnya, Derren kurang tahu. 

"Apa gue perlu ke sana, Yo? Sepertinya kacau banget situasinya." 

Terdengar helaan napas dari Aryo. Tandanya dia tidak baik-baik saja. 

"Ok, gue sampai sana dalam tiga puluh menit." 

Telepon ditutup dan Derren bersiap. Berhadapan dengan Brian tidak akan mudah kali ini. Apalagi ingat wajahnya tadi sore. Ada kemarahan yang dipendam melihat Zee pulang sangat terlambat. Sayup terdengar dia mengecek sekolah Zee dan tahu fakta kalau siswa dipulangkan lebih awal. 

Hal normal terjadi, mungkin dia khawatir sebagai seorang ayah. Namun pertemuan ini akankah Brian mencampuradukkan dengan hal pribadi … LAGI? 

Aryo bolak-balik melihat jam di pergelangan tangannya. Derren mengecek lagi berkas kerja sama mereka sambil menunggu kedatangan Brian. 

"Der, kita nggak bisa nunggu terus dihubungi juga gak bisa. Gue harus ngerjain DL klien lain lagi." 

Derren tidak tahu lagi harus melakukan apa. Dia sudah bertanya pada Zee dan faktanya Brian sudah berangkat. 

"Biar gue tangani yang di sini, Yo. Lo fokus sama agenda kamu malam ini." 

"Ok, gue balik duluan. Besok kita bahas di kantor, ya." 

Derren membuka lagi berkas yang ada di laptopnya. Tak lama Brian datang bersama model yang diajukannya. 

"Maaf, sudah lama nunggu? Kok, kamu yang di sini, Aryo mana?" 

Maafnya terdengar basa-basi dan membuang waktu kalau membahas Aryo. 

"Kita langsung bahas poin-poinnya, Om. Aryo harus tangani proyek lain." 

Brian menutup mulutnya. Derren tampak biasa saja, tetapi jelas sekali semua perkataannya tegas dan tidak ada keinginan membahasa hal lain. Dia memang terlambat tetapi hal biasa terjadi di kota besar. 

Derren makin kesal dengan perilaku manja dan semaunya dari kekasih Brian itu. Namanya Ine, dan Derren merasa tidak penting juga dia tahu. 

"Om Brian pasti sudah tahu apa yang terjadi. Konsep sudah kami ubah sesuai request yang Om minta. Kita sudah sepakat dan saat proses berjalan semua terhenti karena modelnya nggak profesional. Maaf, kalau saya mengatakan ini. Tapi untuk kebaikan semua saya mundur dari kerja sama ini. Om bisa mulai kerja sama dengan perusahaan iklan lain. Aryo tidak sanggup lagi, Om."

Derren menyelesaikan semuanya dengan cepat dan pas tiap poinnya. Dia sadar keputusan ini akan membuatnya rugi. Tidak masalah lebih baik uang hilang dari pada stuck di tempat. 

Derren harus pergi dan dengan penuh hormat dia berpamitan. Masalah sudah selesai. Ponselnya berdering tepat setelah dia masuk ke mobil. 

"Ya Zee. Kok, belum tidur?" 

Tak ada jawaban, hanya helaan napas dan tiba-tiba saja jendela mobilnya diketuk orang. 

"Astaga!!" Setelah melihat siapa, Derren lega sekaligus bertanya-tanya. 

"Kamu ngapain ke sini malam-malam?" 

Zee tidak menjawab pertanyaan Derren. Dia langsung menangis dengan kalimat yang membuat Derren shock

"Papa selingkuh dari Mama, Kak. Kak Derren tahu tentang ini?" 

Bersambung

Thank you for reading. See you on the next part, ya.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro