17. KEPUTUSAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derren keluar dari mobil dan langsung memeluk Zee yang menangis terisak. Sungguh dia tidak tahu sejauh mana gadis kecilnya tahu fakta menyakitkan itu. Dan apa yang dia lihat tadi? Derren bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa sakitnya Zee. 

"Kita pergi dari sini dulu, ya. Saya akan cerita nanti." 

Zee mengangguk lemah. Sampai di mobil dia baru ingat kalau Zarra pasti sedang menunggu. Diambilnya ponsel dan segera menelepon. 

"Ma, Zee pulang bareng Kak Derren, ya. Mama nggak apa-apa pulang sendiri, kan?” 

" .... "

"Ok, Ma." 

Zee takut kalau mamanya sampai tahu soal ini. Tetapi cepat atau lambat, Zarra pasti tahu. 

"Kak, Mama perlu dikasih tahu soal ini. Dia berhak tahu, kan?" Zee rasa pendapat Derren akan berguna saat ini. Dia tidak mau salah langkah dan membuat situasi jadi berantakan. 

"Tante Zarra memang berhak tahu, tapi bukan dari kamu. Saya nggak mau kamu jadi ikut masuk ke dalam pusaran keributan mereka." 

"Terus gimana? Aku nggak bisa  berpura-pura senyum dengan Papa di rumah. Tadinya aku mau terima Papa, apalagi sudah ngajak baikan Mama. Tetapi setelah kejadian tempo hari lagi, mereka nggak sepenuhnya baikan. Mama bahkan aku pergokin nangis di dapur."

Tangan kiri Derren terulur menggenggam jemari Zee. Usia remaja seperti Zee seharusnya bisa fokus belajar dan mengejar impiannya. Sayangnya, persoalan seperti ini banyak terjadi di luaran sana. Mungkin ada yang lebih parah kondisinya. Derren tidak akan membiarkan Zee menanggung semuanya sendiri. 

"Kamu tenang dulu, ya. Sekarang yang penting Tante Zarra sudah perjalanan pulang. Kamu mau kita bicara di mana?" Derren melajukan mobil dan meninggalkan pelataran parkir restoran. 

Mereka tidak tahu, Zarra kembali lagi ke restoran untuk memastikan sesuatu. Dia sebenarnya melihat seseorang yang mirip suaminya. Entah, karena naluri perempuan atau apa, Zarra nekat balik ke restoran. Diam-diam dia mengamati orang yang mirip suaminya. Makin dekat dan posisinya pas, Zarra tercekat. Di sana suaminya begitu akrab, oh bukan, lebih tepat dikatakan mesra bersama perempuan muda dan cantik. 

Kaki Zarra lemas. Ada sesuatu dalam dadanya yang diremas begitu kuat. Menyesakkan tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Rupanya ini alasan Brian ingin bercerai dengannya. Atau memang dirinya yang salah karena kekurangannya. 

"Permisi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" sapa salah seorang pelayan resto yang sedari tadi mengawasinya. 

"Oh, enggak, Mas. Makasih, saya cuma salah mengenali orang. Permisi." Zarra segera beranjak sebelum Brian menyadari keberadaannya. 

***

Derren mengajak Zee ke sebuah kafe outdoor daerah pinggiran kota. Dari situ terlihat pusat kota yang hanya tampak kerlip lampu. Indah dan menenangkan. Suasana tenang, santai dan menu dengan harga bersahabat membuat kafe banyak pengunjung. 

Setiap meja hampir semua sudah di-reservasi. Beruntung Derren masih dapat tempat. Malam itu roti bakar dan cokelat panas jadi santapan malam mereka. Zee sangat menikmati menu pilihannya. Derren tersenyum melihat pemandangan di depannya. 

"Kak Derren, keburu dingin tuh, rotinya." Zee mengambil garpu milik Derren dan menyuapinya. 

"Ok, sudah cukup, biar saya makan sendiri. Malu juga jadi bahan tontonan." 

Zee menoleh ke sekitar, memang benar ada beberapa yang melihat. 

"Makasih, Kak. Selama ini selalu nemenin dan membuatku merasa lebih baik." 

"Apa pun, Zee, akan saya lakuin buat kamu. Saya hanya berharap bisa selalu ada terutama saat kamu dalam keadaan tidak baik-baik saja." 

Tidak tahu harus berkata apa, Zee cuma bisa tersenyum dan membiarkan Derren menggenggam jemarinya. 

Live music mulai beraksi. Lagu cinta dengan tempo pelan mengawali pertunjukan. Di saat yang sama, ponsel keduanya bergetar. 

Derren mendapat kabar buruk tentang kondisi kesehatan ayahnya. Sedangkan Zee diminta pulang secepatnya oleh Zarra. Situasi membuat keduanya panik. Belum sempat cerita banyak, Derren mengantar Zee pulang. Mau cerita soal ayahnya, taoi Derren tidak tega melihat Zee sudah khawatir karena mamanya. 

"Zee." Derren perlu bicara malam itu juga sebelum dia pulang menemui ayahnya. Tapi Zee menolak. 

"Kak, maaf. Zee masuk dulu, ya. Tadi Mama sudah nangis-nangis, soalnya." 

"Ok, kabari kalau ada apa-apa, ya?" Derren urung mengatakan masalahnya. 

Baiklah, dia akan menulis surat saja sebekum berangkat. Dia akan minta Mbok Nah untuk memberikan pada Zee esok hari. 

***

Suasana rumah Zee kembali tegang. Baru saja Zee tahu kalau Zarra melihat Brian malam itu. Dia menyesal tidak memastikan mamanya benar-benar pulang atau tidak. Tetapi memang harus begini kejadiannya. Bahkan Zee tidak menolak saat Zarra minta cerai. Dia sendiri pura-pura tidak tahu soal Brian selingkuh. Dia hanya mengangguk tanpa protes. 

Brian terkejut, semudah itu Zee menyetujui permintaan Zarra. 

"Kamu setuju kami bercerai, Zee? Aneh, kenapa dulu saat Papa yang minta, kamu protes?" 

"Zee tidak ingin banyak komentar, Pa. Seharusnya Zee lakukan ini dari dulu. Saat Papa akan menceraikan Mama. Zee masuk dulu." 

Sebenarnya Zee ingin menemani Zarra, tapi hatinya sendiri sedang butuh dihibur. Dia mengerti bagaimana sakitnya hati Zarra. Setelah sekian lama mengabdi dan tidak menuntut macam-macam, ternyata dibalas dengan perselingkuhan. Gosip tentang dirinya bukan anak kandung ternyata hanya jadi alibi Brian untuk berpisah. Faktanya terbukti Zee anak biologis mereka. 

Ok, baiklah. Zee harus terima kenyataan. Dia tidak sendirian, ada Derren yang pasti mau menemaninya. 

"Aneh, kenapa ponselnya gak aktif?" 

Bersambung

Nah lo, pasti panik, kan. Nggak mau deger dulu, sih. Tenang tenang, ntar juga dapet info, kok!

Thank you for reading. See you on the next part, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro