18.PERGI & BERHARAP KEMBALI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zee heran, tidak biasanya Derren mematikan ponsel sebelum tengah malam. 

"Mungkin hari ini dia terlalu sibuk. Meeting juga sampai malem, kan," batin Zee berusaha menghibur hati yang sebenarnya khawatir. 

Meskipun sulit memejamkan mata, Zee harus usaha sendiri tanpa merepotkan Derren. Sudah terlalu sering dia membantu kesulitannya. Hari ini Zee ingin menjadi dewasa. Bisa menerima semua fakta yang terjadi tanpa merengek. 

"Aku kuat, Kak. Aku nggak akan ngerepotin Kak Derren lagi." Dengan men-sugesti diri, Zee harap esok akan hadir hari yang lebih baik. 

Sekuat apa Zee menahan, perasaannya tetap hancur lebur. Perceraian adalah hal yang tidak pernah dia inginkan terjadi pada orang tuanya. Tetapi hati ternyata lebih sakit melihat keduanya saling menyakiti karena cinta mereka mungkin sudah hilang. 

Malam yang menyesakkan, Zee akhirnya tertidur dengan bekas air mata di pipi. Bahkan posisinya pun tidak pada tempatnya. Di alam bawah sadarnya, Zee menyebut nama Derren. Begitu lirih dan memilukan. 

Di rest area menuju kota kelahiran, Derren menghidupkan ponselnya lagi. Dia yakin akan dihubungi terus oleh keluarganya. Karena itu dia sengaja mematikan ponsel sepanjang perjalanan. 

Satu hal yang membuatnya cemas adalah kondisi Zee. Gadis kecil dan manja itu pasti sedang sedih sekarang. Tapi kalau Derren bilang soal kepergiannya, Zee pasti makin sedih. Semoga besok perasaannya bisa lebih baik. 

Kelegaan muncul setelah Meta membalas pesan dan bersedia akan menemani Zee dan memastikan semua baik. Sebelum keberangkatan, Derren sengaja menghubungi sahabat Zee itu. Dengan menceritakan semua yang terjadi, Derren yakin sementara waktu situasi Zee akan aman terkendali. 

***

Keesokan harinya Zee mendapati Brian masih ada di rumah. Tetapi Zarra dilihatnya baru saja keluar dari kamar tamu. Selama ini kamar tamu cuma dibersihkan dan dipakai kalau ada tamu. Kali ini akan terus ditiduri Zarra hingga proses cerai selesai. 

"Ra, nanti aku akan pindah ke apartemen. Kamu bisa pindah ke kamar kita lagi. Ruangan di kamar tamu terlalu sempit, kan." 

Brian tidak bisa tak peduli begitu saja. Dia menyelesaikan kewajiban hingga putusan pengadilan. Zarra mengangguk sambil tetap menyiapkan sarapan pagi. Keadaan pagi itu masih sama, mereka sarapan bersama. 

Ada perbedaan yang begitu terasa oleh Zee. Zarra dan Brian, saling memanggil nama masing-masing, dan itu bukan kebiasaan mereka. Semua menghilang perlahan dan akan berubah. Zee harus menyadari kalau hal itu pasti akan terjadi. 

"Zee, Papa antar sekolah, ya?" tanya Brian begitu sarapan selesai. 

"Permisi, Mbak Zee!" 

Perhatian semua orang teralih ke Mbok Nah yang datang. Zee langsung keluar menghampiri. 

"Mbok, mau ketemu saya atau …." 

"Iya, sama Mbak Zee. Ini ada  titipan dari Mas Derren." Mbok Nah langsung menyela supaya pesannya cepat dibaca Zee.

"Kenapa nggak Kak Derren sendiri yang kasih ke saya?" Zee mulai khawatir, apalagi ekspresi Mbok Nah juga murung. 

"Duduk dulu, Mbok. Saya baca pesannya sebentar." Zee mengajak Mbok Nah duduk di teras depan. 

Surat dari Derren singkat dan hanya poin pentingnya saja. Bahwa dia harus pergi untuk menjenguk ayahnya yang sakit, dan akan cepat kembali dan menemaninya. Derren memohon untuk Zee mau menunggunya balik lagi. 

"Kapan Kak Derren berangkat, Mbok?" 

"Berangkat tadi malam, Mbak. Nggak lama kok, habis nganterin Mbak Zee."

Itu artinya saat dia telepon semalam Derren sudah dalam perjalanan. 

"Mbok cuma mau bilang, Mas Derren cinta banget sama Mbak Zee. Malah sejak lama dia mulai suka. Jadi, tolong Mbak Zee tungguin Mas balik, ya." 

Melihat Mbok Nah sampai mengatakan hal itu membuat Zee tidak bisa memungkiri perasaannya. Dia makin yakin dan mempercayai Derren. 

"Saya kan, memang cuma bisa nunggu, Mbok." Memangnya dia bisa apa lagi. 

Hari itu Zee kembali berangkat naik motor sendiri. Sudah lama tidak melakukan kebiasaan ini, membuat Zee bersemangat. Beruntung Teh Lilis selalu merawat motornya. Tidak jarang Zee menyuruh ART-nya itu untuk pakai motor kalau ada keperluan. Lebih cepat daripada nunggu ojek online. 

"Mbak Zee, ati-ati di jalan. Helem sudah rapi? Nggak ada yang ketinggalan, kan? Punten, nggak pamit Bapak sama Ibu dulu?" 

"Pertanyaan diborong semua sih, Teh. Udah beres semua, termasuk soal pamitan. Berangkat, ya!" 

Zee melajukan motor dengan santai. Masih terlalu pagi untuk ngebut dan berebut kecepatan. Otaknya memang susah diajak beralih dari Derren. Ingin sekali dia menelepon, tapi pasti suasana di sana pasti lagi repot-repotnya. 

[Zee harap semua baik-baik saja ya, Kak. Jaga kesehatan dan jangan khawatirin aku. Aku baik-baik, aja.] 

Sepenggal kalimat dikirim Zee melalui pesan chat. Berat memang kalau jauh-jauhan, apalagi dia baru kali ini pacaran. Tetapi Zee terus  menyemangati diri untuk fokus saja sekolah. Itu sudah cukup untuk sekarang. 

Pesannya tak lama dibaca Derren di seberang. Lalu menampakkan kalau di sana sedang mengetik. 

[Derren sedang banyak hal yang harus dikerjakan. Jangan ganggu dia lagi.]

Balasan yang tak pernah diinginkan Zee, untuk seperti itu isinya. Kentara sekalli kalau yang mengetik bukanlah Derren. Lagian di mana sih, kekasihnya itu. Zee terkejut dan seketika berpikir buruk. Ada masalah apa di kampung, sampai ada yang mengetik kalimat seperti itu. 

Masih pagi dan bahkan motornya belum sapai didepan gerbang. Ok, Zee, baiklah, lebih baik lupakan sejenak tentang Derren dan orang tua. Kembali fokus pada sekolah dan belajar dulu. Kejar harapan yang paling dekat. Harapannya untuk bisa kuliah di PTN dengan beasiswa yang sudah dia ajukan.

"Semangat, Zee! Simpan airmata kamu buat nangis pas kelulusan nanti." 

Kejadian itu tak luput dari perhatian seseorang. Jovan, kebetulan lewat dan melihat Zee berhenti tak jauh dari gerbanng sekolah. Tak mampu dia ingkari, ternyata perasaannya pada  Zee, masih tumbuh subur di ruang hatinya. 

Bersambung

Jovan masih ada rasa, ya. Tapi udah tobat belum, kamu.

Thank you for reading. Ketemu lagi di part berikutnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro