22. TOGETHERNESS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada orang yang sengaja mengetuk jendela pagi-pagi buta selain orang iseng. Zee masih mengantuk setelah begadang semalaman. Dengan mata setengah terbuka, Zee menyeret kakinya turun dari tempat tidur. 

"Kalau sampai gue dikerjain, jangan salahin kalo gue murka," geram Zee sambil terus mendekati lokasi. 

Begitu tirai dibuka, seseorang yang tak diduga akan datang, muncul di depan mata. Sejenak Zee terpaku antara mimpi dan realita. Ini benar nyata atau dirinya belum terbangun dan sekarang sedang bermimpi? Belum sempat terjawab, ponsel di atas  meja belajarnya bergetar. 

Sosok di jendela meminta Zee untuk mengangkat teleponnya. Tak lama terdengar suara yang tak asing lagi di telinga. Barulah Zee sadar, semuanya nyata dan bukan mimpi. 

"Zee, kenapa lama sekali?" Derren menatap Zee dengan penuh kerinduan. 

"Kak Derren? Ini beneran Kak Derren? Bukan hasil kloningan, kan?" 

Derren tertawa. Dia tak percaya pikiran Zee sejauh itu. 

"Kamu pikir negara kita semaju itu sampe bisa buat kloningan? Ayolah, bukain saya pintu."

Zee sekilas bisa melihat wajah lelah dari pria tercintanya. "Kak Derren kapan sampai? Kok, tahu alamat rumah sini?" 

"Saya baru sampai dini hari tadi, dan menunggu subuh demi bisa ketemu kamu. Saya ingin ketemu sebelum kamu berangkat ke Inggris." 

"Zee buka pintu depan, ya?" 

"Nggak bisa pintu balkon ini, aja? Atau buka jendelanya, biar saya bisa pegang tangan kamu. Please?" 

Serindu itukah, Kak? Pantaskah aku merasa bahagia karena dirindukan seseorang yang kucinta? 

Tanpa banyak bicara Zee membuka pintu dan tanpa basa-basi pula Derren langsung memeluk kekasihnya. Zee merasa segala lelah, sakit dan amarah lebur bersamaan. Begitu lama nyaman ini hilang begitu saja. Kini kembali tanpa pernah Zee sangka secepat ini. 

"Zee, bangun!" Teriakan Zarra dari depan pintu membuat Zee tersadar. Kalau mamanya tahu dan lihat ini, gimana? 

"Nak Derren suruh turun sekalian. Mama udah masak sarapan. Mama tunggu lima belas menit. Kalo belum keluar juga, Mama panggil petugas KUA buat nikahin kalian sekarang." 

Setelah Zarra selesai mengatakan semuanya, dia segera turun. Dia tahu Derren datang, tentu saja mobil sebesar itu tidak mungkin bisa disembunyikan. 

Di dalam kamar Derren tergelak, membuat Zee tersadar dia bahkan belum cuci muka. Sontak dia mundur dan menjauhi Derren. 

"Ada apa? Kamu masih marah?" 

Zee menggeleng sambil menutupi mukanya. 

"Terus kenapa kamu tiba-tiba jauhin saya?" 

Argh, Kak Derren emang nggak peka sama perempuan. Dengan mengintip sedikit dari sela tangan, Zee melangkah pelan menuju kamar mandi. 

Derren tersenyum. Dia tahu sekarang alasan Zee menjauhinya. Sebelum gadisnya berhasil masuk ke kamar mandi, Derren menarik lengan Zee dan memeluknya erat. 

"Kak, lepasin! Zee mau mandi dulu." 

"Kelamaan. Tante cuma kasih waktu lima belas menit. Ya, kalo kamu mau nikah sekarang, silakan mandi." 

"Ok. Zee gosok gigi, aja! Please, Kak Derren." Suara Zee sudah mendekati merengek. Dia sendiri sudah risih dengan badan lengketnya. Padahal pendingin ruangan masih menyala. 

Akhirnya Derren merelakan Zee untuk mandi. Dia turun lebih dulu untuk menyapa sekaligus minta maaf pada Zarra. Tak lama Zee turun dengan penampilan lebih segar. 

"Karena Derren turun lebih dulu, Mama nggak jadi panggil KUA. Kamu nggak kecewa kan, Zee?" 

"Maksudnya kecewa apa, Ma?" Zee kelaparan, otaknya belum bisa nyambung ke sindiran Zarra. 

"Oh, Mama kira kalian malah senang kalo nikah cepet." 

"Mama, apaan, sih? Kan Zee mau kuliah dulu." 

Obrolan terhenti sejenak. Semua menikmati sarapan yang terasa lebih nikmat. 

"Maaf, ya, Nak Derren, Tante nggak bisa nemenin. Ada gaun yang harus diberesin hari ini." Zarra mengambil tas dan laptop di kamar berikut kunci mobil. 

"Zee, kamu hari ini free, kan? Ajak Nak Derren ke mana gitu." 

"Harusnya Zee yang diajak, Ma." 

"Ok, good idea. Kamu mau ke mana hari ini? Anggap aja, hadiah kelulusan kamu." Derren langsung gerak cepat begitu Zee meminta. Ya, meski terhitung cuma kasih kode, Derren tahu Zee akan senang kalau mereka beneran pergi. . 

Zarra tersenyum melihat kelakuan anaknya. Jauh di dalam hati Zarra lega bisa melihat Zee seceria hari ini. Tawa bahagia yang lama hilang kini muncul lagi. Tujuan hidupnya sekarang hanya kebahagiaan Zee. Meskipun nanti dia akan berjauhan saat putrinya kuliah, tidak akan jadi masalah. 

"Kak, kita pergi nanti aja, ya?" 

"Kenapa?" 

Zee menarik lengan Derren untuk ke kamarnya. Derren menolak dengan menahan langkahnya. 

"Jangan mikir macam-macam, deh!" semprot Zee seolah tahu apa yang dipikirkan Derren. 

"Zee, kita pergi aja, jalan-jalan. Mumpung masih pagi." 

"Ssst! Nurut aja, dulu!" 

Derren mengikuti Zee, dan dia menurut saja saat disuruh berbaring di atas ranjang Zee, yang sudah diganti sprei, sekaligus bed cover-nya. 

"Kak Derren udah semalaman nyetir.  Yah, aku tahu pasti Kak Derren akan bilang AKU NGGAK CAPEK, ZEE. No, aku nggak percaya." 

Dengan penuh perhatian dan kasih yang selama ini tersimpan, Zee membenahi bantal dan selimut, sehingga Derren merasa nyaman. 

"Jadi, sekarang Kak Derren tidur dulu."

Derren tersenyum diperlakukan semanis ini. Dulu dia yang berlaku seperti itu. Sekarang semua berbalik, setelah keadaan mencoba merusak hubungan keduanya, sekarang mulai berbuah manis. 

"Kamu di sini, kan? Atau kamu mau ninggalin saya pergi?" Derren menggenggam jemari Zee erat. 

Bersambung

Beberapa bab menuju ending, nih. Kita kawal sampe akhir, yook.

Thank you for reading this story. I hope you like, Guys.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro