01.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jena mengangkat kopernya dengan tergesa-gesa. Seorang Bibi yang menggendong Alea, putrinya yang baru berumur sembilan bulan, juga mengikuti langkahnya dengan tergesa-gesa.

“Kita harus cepat, Bi. Acaranya sudah mau dimulai. Aku tak mau ketinggalan,” ujarnya.
Bibi itu hanya menyahut pendek.

Ketika sampai di lobi hotel, langkah Jena terhenti ketika seorang pemuda menghampirinya.
Mengenakan kaos oblong dan celana longgar selutut, ia  tampak kalut. Rambutnya yang lebat terlihat berantakan. Sementara wajahnya yang rupawan menyiratkan rasa cemas dan kebingungan. Ia bahkan bertelanjang kaki.

Apa ia sedang mengalami hal yang buruk hari ini?

“Tante, maaf mengganggu. Tapi ini keadaan darurat. Tolong pinjami saya ponsel, oke?”

Jena mengernyitkan dahinya. Tante? Apa panggilan itu ditunjukkan padanya? Bukan pada Bibi yang tengah menggendong Alea?

“Tante, please!” Pemuda itu menatap lurus manik mata Jena.

Jena mendelik. Ia kembali dipanggi ‘Tante’? Panggilan ini terdengar begitu sensitif di telinganya.

Apakah ia sudah kelihatan tua? Oke, dia memang sudah punya anak, tapi umurnya belum genap 30 tahun. Dan ia belum siap dipanggil 'Tante'.

“Maaf, tapi saya terburu-buru.” Akhirnya Jena menjawab.

“Tante...” Pemuda itu merajuk.

Lagi, pemuda tak tahu diri ini memanggilnya 'Tante'!

Jena buru-buru menggeleng seraya kembali melangkah.

Dan tiba-tiba pemuda itu berteriak. “TANTE, INI MENYANGKUT HIDUP MATI SESEORANG!”

Jena melongo. Hah?

“Oke, oke.” Akhirnya ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya lalu menyodorkannya ke arah pemuda tersebut.
“Bi, tolong bawa Alea ke kamar. Nanti setelah dari Hall, aku akan menyusul,” ucapnya pada Sang Bibi yang tengah sibuk mengayun Alea.

Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu beranjak.

Jena melirik arlojinya. Lima menit lagi acara Diklat  Jurnalistik yang diadakan di aula hotel dimulai. Ia benar-benar tak ingin melewatkan acara itu semenit pun. Ini kesempatan emas baginya untuk menambah wawasan tentang tulis menulis.

“Maaf, aku sedang terburu-buru. Bisakah kau lebih cepat sedikit?” Perempuan cantik itu mulai tak sabar.

Pemuda di hadapannya seakan tak menggubris. Beberapa kali ia terlihat melakukan panggilan tapi sepertinya tak ada jawaban. Wajahnya tampak gusar.

Jena menarik napas panjang.
Ini tak bisa dibiarkan! Pemuda asing ini tak boleh mengacaukan segalanya! Teriaknya dalam hati.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa, langkah terakhir yang ia tempuh adalah menyambar ponsel dari tangan pemuda tersebut lalu segera melarikan diri.

“Maaf, aku sedang terburu-buru! Pinjam saja ponsel pada orang lain!” teriaknya.

Pemuda itu sempat melongo menatap kepergian Jena. “TANTE! AKU SEDANG MENUNGGU PESAN BALASAN!” teriaknya.

Jena tak menggubris. Ia terus berlari tanpa mempedulikan pemuda tersebut.

“TANTE! TUNGGU!” Celakanya, pemuda itu malah ikut berlari dan mengerja Jena. Merasa panik, perempuan itu mempercepat langkah kakinya, masuk ke dalam lift, dan tepat sebelum pemuda itu berhasil menjangkaunya,  pintu lift tertutup dan ... ia berhasil melarikan diri.

Pemuda itu hanya bisa menatap kepergiannya dengan kesal.

***

Jena berhasil mengikuti acara tepat waktu walau nyaris terlambat. Di tengah-tengah acara, tiba-tiba ponselnya berbunyi.  Ketika ia mengecek, tampak sebuah pesan bertambah di kotak masuk. Dari nomor yang tak di kenal.

:: Jangan mencariku lagi. Aku pergi. Maaf.::

Sejenak Jena tercenung bingung ketika membaca pesan itu. Tapi, kemudian ia ingat dengan pemuda yang meminjam ponselnya di lobi tadi.

Ia mengecek pesan di kotak keluar. Beberapa pesan terkirim ke nomor yang sama, nomor asing yang baru saja berkirim pesan singkat.

::Rachel, kau ada di mana?::

::Balas sms-ku.::

::Angkat telponku!::

::Jangan membuatku cemas!::

::Aku mencintaimu, jangan pergi begitu saja.::

Jena menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung.
“Ah, pasti urusan asmara." Ia terkekeh kecil. "Aku tak mau ikut campur,” desisnya lagi lalu memilih mengabaikan pesan tersebut kemudian memasukkan ponselnya kembali ke tas.

***

Jena meraih tubuh putrinya yang asyik merangkak di lantai lalu menciuminya dengan gemas.

“Sayaaang, jalan-jalan ke pantai, yuk,” ujarnya. Bocah itu tertawa riang di gendongan ibunya.

“Bibi, aku ingin mengajak Alea jalan-jalan ke pantai.”

“Perlu ditemani, Bu?”

Jena tersenyum. “Tidak, hanya sebentar saja kok.”
Ia beranjak. Jarak Pantai Kuta dengan hotel Sheraton hanya sekitar 200 meter, jadi ia merasa tak perlu ditemani oleh pengasuh bayi.

Ketika sampai di sana, ketika sedang menikmati suasana pantai bersama putri kecilnya, tanpa sengaja tatapan matanya menangkap sesosok pemuda tampan yang tengah duduk termangu menatap laut lepas.

Jena sempat ragu dengan apa yang dilihatnya. Namun akhirnya ia merasa yakin bahwa itu adalah pemuda yang sama yang pernah meminjam ponselnya di lobi hotel, beberapa hari yang lalu.

Jena sempat mematung beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk menyapanya.

“Hai, kau masih ingat padaku?” ujarnya.

Pemuda itu mendongak, matanya yang bening menyipit dengan indah.

“Beberapa hari yang lalu kau meminjam ponselku di lobi hotel.” Jena menambahkan.

Dan sekian detik kemudian, sebuah senyum menawan mulai merekah di bibir pemuda tersebut. Ia berdiri dengan segera. 

Jena terkesiap, ia tak menyangka ternyata pemuda itu begitu tinggi. Tubuhnya menjulang nyaris 180 cm. Sedikit lebih tinggi beberapa centi dari suaminya.

Oke, ini memang bukan pertemuannya yang pertama kali. Tapi, jujur ia tidak begitu memperhatikan ketika beberapa hari yang lalu ia bertemu dengannya di lobi hotel.

“Oh, Tante? Aduh, maafkan aku karena waktu itu aku mengganggu. Aku merasa panik karena ternyata ponselku ketinggalan di kamar hotel sementara aku harus cepat-cepat menemukan___” Pemuda itu menghentikan kata-katanya. “Ah, sudahlah. Tak perlu dibahas lagi,” lanjutnya kemudian.

Jena tersenyum.
“It’s ok. Tapi aku juga minta maaf karena tak bisa membantumu terlalu jauh. Aku buru-buru waktu itu. Mmm, tapi aku ingin menyampaikan pesan.”

“Pesan?” Pemuda itu mengangkat alis.

Jena mengangguk. “Dia membalas pesan singkatmu. Tapi sayangnya aku tak membawa ponsel. Ponselku tertinggal di kamar hotel.”

Pemuda itu manggut-manggut.  “Oke, apa pesannya? ”

“Dia bilang dia ingin pergi dan ... jangan mencarinya lagi. Itu pesan yang aku terima. Kau boleh tidak percaya kalau kau tidak ingin mempercayainya. Tapi, itulah yang sebenarnya. Maaf membuatmu kecewa.”

Pemuda itu tersenyum kecut. "Sudahlah," jawabnya lirih.
Sejenak perhatiannya beralih pada Alea yang ada di gendongan Jena.

“Ini anak tante?” Pemuda itu bertanya antusias, mengalihkan topik pembicaraan. Jena mengangguk.

“Hallo, Sayang. Woah, imut sekali. Cantik lagi, seperti ibunya.”

Pemuda itu tak menyadari bahwa kata-katanya sempat membuat pipi Jena merona.

Setelah sempat sedikit bebasa-basi, sosok itu pamit. "Saya harus kembali ke kamar hotel. Terima kasih karena sudah menyampaikan pesan itu," ucapnya. Namun sebelum pergi, pemuda itu memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan, aku Alex. Senang bertemu denganmu.  Tante___”

“Jena.” Jena tersenyum sambil terus mengayun Alea di gendongannya.

“Semoga kita ketemu lagi, Cantik.”
Nah, kalimat yang ini tidak membuat pipi Jena merona lagi karena pemuda bernama Alex itu mengucapkannya pada Alea.

***

Hari itu Jena mendapat tugas untuk menulis Features di Nusa Lembongan. Peserta diklat jurnalistik telah dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang peserta. Tiap kelompok diterjunkan di beberapa lokasi yang berbeda.

Dengan menggunakan speed boat, hanya perlu  waktu tak lebih dari 40 menit untuk sampai sana. Meski melelahkan, Jena betul-betul menikmati kegiatan tersebut.

Ketika waktu menunjukkan jam 3 sore, ketua kelompok menginstruksikan semua anggotanya untuk segera kembali ke speed boat.

Dan Jena baru saja akan melangkahkan kakinya ketika sepasang mata indahnya menangkap sesosok tubuh jangkung yang melangkah menuju tebing.

Alex?
Ya, tak salah lagi. Sosok itu adalah dia!

Kenapa dia ada di sini?

Jena bertanya-tanya dalam hati. Tapi, beberapa detik kemudian ia tersentak.

Astaga, jangan-jangan bocah itu ingin bunuh diri karena urusan asmara?!

Jena beranjak meninggalkan beberapa rekannya.
“Hei, mau ke mana? Kita sudah mau kembali!” Ketua kelompok berteriak.

“Kalian duluan saja, aku masih ada urusan penting.” Jena menjawab.

Dan tanpa mempedulikan teriakan rekan-rekannya, perempuan itu berlari menyusul sosok jangkung yang melangkah menuju tebing.

“Stop! Berhenti di situ!” Ia berteriak sesaat setelah ia berhasil memperpendek jarak antara mereka.

Pemuda berpakaian kasual itu menoleh dan tampak kaget melihat kedatangan Jena.

“Tante?” Ia mendesis heran.

“Kau ingin bunuh diri karena putus cinta!? Apa otakmu sudah tidak waras?!”  Jena kembali berteriak.

Alex mengernyitkan dahinya. “Hah?”

“Dasar bocah! Perempuan itu memang sudah meninggalkanmu, tapi bukan berarti kau harus bunuh diri dengan loncat dari atas tebing, kan?!” Jena kembali berteriak.

Alex melongo mendengar ocehan Jena.
“Apa? Bunuh diri? Loncat dari atas tebing? Maksud __ Tante?”

Jena menautkan alisnya.
“Kau ... tidak akan bunuh diri dengan loncat dari atas tebing, kan?” Dan akhirnya ia terlihat ragu.

Alex menyipitkan matanya yang indah lalu sejenak kemudian ia tertawa terbahak.

Jena menatapnya bingung. Mencoba mencerna sikap pemuda tersebut.

“Tante pasti salah paham. Aku tidak pernah berniat bunuh diri, apalagi terjun dari atas tebing. Aku hanya ingin memotret __ sunset.” Ia menunjukkan kamera polaroid yang ditentengnya. Sesekali ia masih tertawa kecil.

Dan akhirnya Jena mendesah, menyadari kekeliruannya.
“Astaga, kupikir kau ingin bunuh diri,” gumamnya. Alex kembali tertawa.

“Tante, please deh. Jangan paranoid. Tebing ini tak begitu tinggi. Apa tante pikir aku bisa mati hanya dengan loncat dari sini?”

Jena menatap ke arah Alex, kemudian ke bawah tebing secara bergantian. Perempuan itu kembali mendesah. Tebingnya bahkan tidak terlalu tinggi. Kenapa ia bisa berpikir kalau pemuda ini berniat bunuh diri. “Kau benar, harusnya aku juga berpikir sampai ke situ,” jawabnya.

“Ngomong-ngomong, sedang apa Tante di sini?’

Kata-kata Alex membuat Jena tersadar. “Astaga, mereka pasti benar-benar telah meninggalkan aku!” pekiknya.

Perempuan itu segera berbalik.

“Siapa__?” Alex mengikuti langkahnya.

“Aku pikir aku akan menyelamatkanmu dari usaha bunuh diri hingga tanpa sadar aku telah menyuruh rekan-rekanku untuk kembali ke hotel terlebih dahulu.” Jena menjawab seraya menuruni jalanan tak rata dengan tergesa-gesa.

“Rekan-rekan siapa?” Alex kembali bertanya seraya terus mengekori Jena.

“Ceritanya panjang.” Perempuan itu menjawab singkat, sembari menatap Alex sekilas. Tapi ternyata itu sebuah kesalahan.

Sesaat setelah ia kembali fokus pada jalanan menurun, ia kehilangan konsentrasi dan ...   
 
“Tante, awas!” Alex memekik ketika tiba-tiba Jena terpeleset dan tubuhnya meluncur beberapa meter dari atas bukit. Ia menjerit dan meringis kesakitan.

“Kau tak apa-apa?” Alex menghampirinya dengan wajah cemas.

Jena tak menjawab. Alex membantunya berdiri. Perempuan itu menjerit.
“Kakiku,” rintihnya. 

Alex berlutut dan melihat kaki perempuan tersebut. “Sepertinya kaki tante terkilir,” ujarnya.

“Tolong bantu aku __” Jena bahkan belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika tiba-tiba Alex beranjak lalu membopong tubuh perempuan itu dan membawanya menuruni bukit dengan hati-hati.

“Astaga, kau tidak perlu menggendongku. Kau hanya perlu memapahku saja. Toh aku masih bisa berjalan. Turunkan aku.” Jena protes.

“Aku akan membawa Tante ke rumah salah satu penduduk agar kaki tante bisa segera diobati, atau dipijit, atau apalah itu,” ucap Alex tetap dengan Jena dalam gendongan. Pemuda itu menolak menurunkannya.

“Tidak, aku ingin segera kembali ke hotel,” ujar Jena lagi.

“Tante lihat, kan? Tidak ada lagi perahu motor. Rekan-rekan tante pasti telah kembali terlebih dahulu.”

“Lantas?”

“Kita tunggu perahu motor berikutnya. Sekitar 3 jam lagi."

“Whattt!?” Jena berteriak nyaris di dekat telinga Alex.

***

“Merasa lebih baik?” tanya Alex.

Jena mengangguk. Setelah dipijit oleh pemuda itu, pergelangan kakinya yang terkilir terasa membaik.

“Memar di kening tante akan hilang dalam 2 atau 3 hari. Tidak usah terlalu khawatir.” Alex kembali berujar.

Jena mengangguk. “Thanks,” jawabnya.

“Jangan khawatir, sekitar 30 menit lagi akan ada perahu motor. Tidak sampai 3 jam. Tadi aku hanya bercanda.” Pemuda beralis tebal itu terkikik.

Bibir Jena mengerucut sebal. Bocah ini sepertinya memang ahli membuat sport jantung.

“Jadi ... Tante ingin menjadi wartawan?” Alex duduk di sampingnya.

Perempuan itu menggeleng. “Tidak, aku ingin jadi novelis,” jawabnya enteng.

Alex mengernyitkan dahi.
“Ingin jadi novelis kenapa tante ikut diklat jurnalistik?”

“Hanya ingin menambah pengetahuan saja,” jawab Jena sambil memijit sendiri pergelangan kakinya dengan pelan.

Alex memandangi perempuan itu dengan saksama. Andai saja ini pertemuan mereka yang pertama, ia pasti benar-benar terkecoh.

Sepatu kets, celana jeans, kaos lengan pendek, tubuh ramping, wajah cantik alami tanpa sentuhan make-up, rambut hitam panjang yang dikuncir kuda, astaga, perempuan ini benar-benar luar biasa cantik.

Beberapa helai rambut yang jatuh menimpa wajahnya sempat membuat Alex tergoda  menyentuh lalu menyelipkannya di belakang telinga.

Pemuda itu berdehem demi untuk menghalau khayalan primitif yang ada di kepalanya.
“Tante benar-benar sudah menikah?” Ia bertanya kemudian.

Jena mendelik ke arah Alex. “Aku punya anak, tentu saja sudah menikah. Apa kau pikir aku hamil di luar nikah?"

“Jadi yang tante gendong itu benar-benar anak tante?”

Jena kembali mendelik.
“Kalau dia anak tetanggaku, aku tidak akan repot-repot membawanya kemari,” jawabnya sebal.

“Ya maaf, aku hanya merasa bahwa payudara tante terlalu kecil untuk ukuran wanita yang menyusui. Setahuku, wanita yang menyusui punya ukuran payudara yang __ agak besar. Makanya aku menanyakannya.” Pemuda itu sempat melirik sesaat ke arah dada Jena yang memang tak terlihat besar. Lebih ke bentuk mungil, penuh dan ... pas.
Uhukk, Alex kembali terbatuk.

Jena segera melotot. “Dasar bocah tengil! Bicaralah lebih sopan! Bagaimanapun juga aku ini lebih tua darimu. JIKA KAU BERTANYA LAGI TENTANG PAYUDARA, AKAN KULAPORKAN KAU KE POLISI ATAS TUDUHAN PELECEHAN SEKSUAL!” Ia menjerit kesal.

ººº

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro