02.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alex  mendesah santai.

“Tante, aku sedang membicarakan sesuatu hal yang ilmiah, kurang sopan bagaimana? Faktanya payudara tante memang masih kencang, mirip abegeh, dan___"

"JIKA KAU KEMBALI MEMBICARAKAN PAYUDARA, MAKA SEPATU INI AKAN MELAYANG KE KEPALAMU!" Jena menjerit frustrasi.

Demi Tuhan, sebenarnya makhluk ini sedang memuji atau menghinanya, sih?

Bibir Alex mencebik cuek. "Marah terus." Ia ngedumel.

"Shut up! Dasar, bocah tengik!" Jena kembali membentak.

Kali ini ganti Alex yang terlihat kesal. "Jangan panggil aku bocah. Aku bukan anak sekolah lagi,” gerutunya.

“Lantas, kenapa kau terus memanggilku tante? Aku bukan tantemu!” Jena bersungut-sungut.

“Tapi Tante lebih lebih tua dariku, kan?”

“Memang, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya memanggilku Tante. Toh aku tak kenal om-mu. Lagipula, aku belum terlalu tua untuk dipanggil Tante!" Perempuan itu berjengit.

"Kalau begitu kenapa kau terus memanggilku Bocah?"  Alex ikut sewot.

“Karena lebih muda maka kau kupanggil bocah. Dan faktanya kau memang pasti bocah. Lancang sekali bicara soal payudara! Umurmu pasti belum genap 20 tahun, kan?"

“Dua bulan lagi umurku genap 24 tahun. Usiaku sudah legal untuk membicarakan tentang perempuan dan payudara.” Alex juga kesal.

“Mahasiswa?”

“Pengangguran. Puas?”

“Oke, semoga cepat dapat pekerjaan.”

“Thanks.” Dan pemuda itu nyengir.

Obrolan keduanya terhenti ketika tiba-tiba ponsel Jena  berbunyi.  Meraih benda tipis di tas dan menatap layar, wajahnya berubah tegang.

Alex melirik kepo ke layar ponsel yang dipegang Jena. Di sana tertulis: Suamiku.

"Halo?" Jena menyapa. Nada suaranya sedikit berbeda. Tak renyah, tak ceria layaknya perempuan yang ditelpon sang belahan jiwa.

"Hm? Ya, Alea baik. Kami sangat menikmati liburan ini. Sekarang? Mm ___ aku sedang jalan-jalan di pantai bersama Alea sambil menikmati sunset. Dia sedang bermain-main dengan Bibi."

Alex mencondongan tubuhnya ke arah perempuan itu dengan wajah melongo. Mulutnya komat-kamit: Menikmati sunset? You're liar.

Jena menggigit bibirnya jengkel. Reflek ia mengulurkan tangan dan mendorong bahu Alex agar pemuda itu menjauh.

"Hm? Kau akan kembali ke Indonesia dalam 3 minggu lagi? Oke, oke, bye.” Dan pembicaraan terhenti.

Alex menatap perempuan itu dengan penuh selidik.

“Tante ... apakah sekarang kita sedang berjalan-jalan di pantai sambil menikmati sunset?” sindirnya.

Jena memasukkan ponselnya ke tas tanpa menjawab.

"Itu suami Tante, kan?" Alex kembali bertanya tanpa sungkan.
Jena hanya menyahut pendek.

"Ditelpon suami kenapa mukanya begitu?"

"Begitu bagaimana?" Kali ini Jena menjawab datar.

"Nah, Itu. Lempeng, datar. Tak ada kata cinta, sekedar bilang I Love You, Honey, Beibeh, atau apalah..." Lagi-lagi Alex bertanya tanpa sungkan.

Bibir Jena berdecih. "Sok tahu," jawabnya. Perempuan itu membuang pandangannnya ke tempat lain.

“Tante berbohong pada suami tante?”

Jena menoleh cepat. “Tidak. Aku hanya___”

Alex melotot. “Astaga! Jangan-jangan Tante berselingkuh? Apakah tante ke sini untuk menemui selingkuhan tante?”

Jena tersentak. Ia kembali berteriak kesal. Sungguh, berhadapan dengan bocah tengil di sampingnya ini sepertinya bisa membuatnya darah tinggi.

"Bocah macam apa sebenarnya kau ini? Sejak tadi kau bicara ceplas-ceplos seenak perutmu! kenapa kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Tidak! Aku tidak berselingkuh. Aku hanya melakukan sedikit kebohongan pada suamiku. Catat itu.” Ia nyaris menjerit lagi.

“Sedikit? Tante melakukan sedikit kebohongan?” Alex kembali bertanya dengan tingkat ke-kepo-an di atas rata-rata.

Jena menepuk keningnya lirih.
Astaga, berbicara dengannya sama saja seperti bunuh diri!

Perempuan itu menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. 
“Well, aku memang melakukan  sedikit kebohongan pada suamiku___”

“Kebohongan macam apa?” Alex kembali bertanya antusias, persis seperti  anak kecil yang tengah mendengarkan cerita dongeng dari ibunya. Jena bahkan belum selesai bicara.

Sebenarnya bocah ini makannya apa sih?!  Jena menggerutu. Tapi toh akhirnya ia tetap menjawab pertanyaan tersebut.

“Aku meminta ijin pada suamiku untuk berlibur ke sini. Padahal tujuanku yang sebenarnya adalah aku ingin mengikuti Diklat Jurnalistik yang diselenggarakan salah satu media cetak terbesar di negara ini,” jawabnya.

Alex mengernyitkan dahinya.
“Itu bukan hal yang buruk, kan? Kenapa harus berbohong?”

“Karena ... Karena dia tidak mau aku jadi penulis,” ucap  Jena sebelum akhirnya terdiam sesaat.

“Suamiku bukan tipe orang yang suka bila istrinya bekerja,” lanjutnya. “Ia menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga biasa. Mengurus rumah, mengurus anak-anak, dan juga mengurus suami. Ia tak mau aku menjalani karir, apapun bentuknya. Ia takut jika aku berkarir, maka konsentrasiku pada keluarga akan berkurang."

“Apa Tante orang yang kurang bisa membagi waktu?” cetus Alex.

Jena mendesis. “Tentu saja tidak. Aku yakin bahwa aku bisa membagi waktuku antara keluarga dan pekerjaan. Hanya saja, suamiku tidak menghendakinya."
Dan perempuan itu kembali terdiam.

Astaga, ia menceritakan kehidupan keluarganya pada orang ini? Pemuda cerewet nan tengil yang baru  ia kenal beberapa saat yang lalu?
Ada apa dengannya?

“Sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya lagi,” ucapnya kemudian.

Alex manggut-manggut. “Oke,” jawabnya. Semudah itu.

“Bagaimana denganmu? Apa kau berhasil menemuinya?” Kali ini Jena yang ganti bertanya.

“Siapa?” Alex balik bertanya dengan bingung.

“Pacarmu. Itu, perempuan yang kau kejar di lobi hotel ketika kita pertama kali bertemu,” dan Jena seolah membantu mengingatkan Alex akan sosok perempuan yang nyaris saja Ia kejar.

Pemuda itu tak menjawab.  Jena menyadari kebodohannya karena menanyakan sesuatu hal yang bersifat pribadi pada orang yang baru ia kenal.

“Maaf kalau aku menanyakan sesuatu yang pribadi.” Ia meringis, merasa menyesal dengan kelancangannya.

“Aku tidak berhasil bertemu dengannya.” Akhirnya Alex menjawab.
“Selama di sini aku merenung. Dan sepertinya, berpisah dengannya adalah jalan yang terbaik. Aku mencintainya, Tante. Tapi aku terlalu capek untuk diinterogasi.”

“Diinterogasi?” Jena bertanya tak mengerti.

Alex mengangkat bahu.
“Begitulah. Aku capek diinterogasi, dan aku capek bertengkar dengannya. Dia tak pernah percaya padaku secara tulus. Apapun yang kulakukan, ia selalu memata-mataiku. Di mana? Dengan siapa? Sedang apa? Melelahkan sekali menjalani hubungan seperti ini.” Ia mengeluh.

“Woa, apa kau punya kredibilitas yang buruk hingga ia tak pernah percaya padamu?” Jena  menatap langsung ke manik mata Alex. Bibir pemuda itu berdecih.

“Tidak. Asal tante tahu aku adalah pria yang setia. Hanya saja, ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia memergoki aku makan malam dengan salah satu teman wanitaku, jadi dia pikir___”

“Kau mengkhianatinya!?” Kali ini Jena yang menyimpulkan sesuatu sekehendak hatinya.

“Berkhianat? Oh God, never! Aku tak pernah berkhianat. Aku selalu setia menjaga komitmen yang telah kubuat bersama pasanganku, meskipun aku punya banyak penggemar wanita. Itu adalah makan malam biasa, tidak lebih. Dan dia teman masa kecilku. Kami hanya sekedar melepas kangen karena lama tak bertemu. Lagipula, sebetulnya kami makan malam beramai-ramai. Ada beberapa teman lain yang bersama kami. Aku berusaha menjelaskan itu. Tapi Rachel tak pernah mempercayainya___”

“Rachel?”

“Itu, pacarku. Yang kucoba telpon lewat ponsel Tante. Ah, tidak, mungkin sekarang akan lebih tepat menyebutnya mantan pacar. Kami sudah putus.” Alex mengoreksi.

Jena manggut-manggut.

“Rachel bilang, dia pergi berlibur ke pulau ini untuk menenangkan diri. Aku menyusulnya jauh-jauh dari Jakarta untuk menjernihkan masalah kami. Tapi seperti yang Tante tahu, ia bahkan tak mau menemuiku.”

“Apa dia perempuan yang terlalu posesif?” Jena kembali bertanya.

Alex mengangkat bahu.
“Entahlah. Yang jelas, aku lelah dengan hubungan kami,” desisnya.

“Sepertinya kau teramat mencintainya?” Jena kembali berujar seraya mengingat pertemuan mereka yang pertama. Ketika Alex berlarian panik di lobi dengan bertelanjang kaki.

Alex membuang tatapannya ke bibir pantai. “Well, waktu pasti akan membuatku melupakannya,” ucapnya, tak yakin.

“Sudah berapa lama kalian berhubungan?”

“Sekitar 2 tahun.” Alex menjawab tanpa perlu berpikir dua kali.

“Wah, itu termasuk lama. Sepertinya hubungan kalian tidak main-main.” Jena terkekeh.

Alex melirik perempuan cantik di sampingnya.
“Tante, aku tak pernah bermain-main dengan hati seseorang,” jawabannya terdengar kesal.

Jena meringis.
“Oke, oke, sorry. Dia teman semasa kuliah?”

Alex mengangguk.

“Pastinya dia orang yang cantik.” Pujian Jena terdengar tulus.

“Tentu, aku punya selera yang tinggi soal wanita,” kilah Alex, bangga.

“Bangga sekali. Kalau begitu kenapa kau tetap ingin berpisah dengannya?” Dan  Jena tetap tak bisa mengontrol dirinya untuk terus bertanya.

Alex menoleh dan menatap perempuan itu dengan lekat.
“Apakah Tante sadar bahwa tante baru saja menanyakan tentang kehidupan pribadiku?”

Jena membalas tatapan itu tak kalah tegas.
“Dan apakah kau sadar bahwa aku juga telah menceritakan sedikit kehidupan pribadiku padamu?”

Keduanya beradu pandang.

“Sepertinya kita cocok jadi teman?” cetus Alex tiba-tiba.

“Menurutmu?” Dan Jena balik bertanya.

“Well, sepertinya kita akan jadi teman baik.” Alex tersenyum lebar.

“Oke,” jawab Jena spontan.
“Oke.” Dan Alex pun melakukan hal yang sama.

Keduanya tertawa.

Sesaat Alex sempat merasakan keanehan pada dirinya. Ada apa dengannya?
Ada apa dengan perempuan di hadapannya?
Ia baru saja menceritakan sedikit kehidupan pribadinya pada dia, seseorang yang baru ia kenal. Padahal ia bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadinya pada orang lain. Bahkan pada keluarganya sekalipun. Astaga, ada apa dengannya?

“Tante__”

“Kenapa kau suka memanggilku tante?” Jena memotong.

“Maaf, ini kebiasaan. Karena tanteku juga seumuran dengan tante. Jadi, ketika kita pertama kali bertemu, reflek saja aku memanggil begitu.”

“Aku __?”

“Ngomong-ngomong, tante mirip dengan tanteku. Cantik, tinggi, ramping, senyumnya menawan, matanya bening... ”

Desiran angin menerpa wajah keduanya yang tanpa sadar sudah saling tatap.
Uhuk, Alex kembali terbatuk.
Ia menelan ludah.
"Maksudku..."

Obrolan mereka terhenti ketika sebuah perahu motor datang.
"Syukurlah!" Alex berseru lega seraya meloncat dari duduknya.

Jena yang masih bengong dengan 'rayuan' yang barusan ia alami, tergagap. Perempuan itu berdehem.

"Ayo kubantu ke sana," tawar Alex. Dan belum sempat Jena menjawab, pemuda itu sudah kembali menggendongnya dengan ringan lalu membawanya ke perahu.

Dan dalam perjalanan ke Sheraton, mereka berdiam diri.

°°°

"Apa kita menginap di lantai yang sama?" tanya Alex ketika mereka sampai di lobi. Ia menunjukkan nomor kamar tempat ia tinggal.

Jena tersenyum lalu menggeleng. "Sepertinya tidak," jawabnya.

“Perlu kubantu ke kamar?” Alex menawarkan.

Jena menggeleng.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa ke kamar sendiri. Percayalah, kakiku sudah jauh lebih baik.” Ia  menolak dengan halus.

“Tante yakin?”

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk.

“Kalau begitu, bisa pinjam ponselnya?” Alex kembali berujar.

Kening Jena mengernyit.
“Lagi?” tanyanya.

Alex mengangguk.

“Kau tak membawa ponsel sendiri?” Jena  protes.

“Mati. Baterainya habis,” jawab pemuda itu, singkat.

Jena tak kuasa menolak. Ia meraih ponsel di tasnya dan mengulurkannya pada Alex.
Sesaat kemudian pemuda itu tampak mengetikkan sesuatu.

“Sudah.” Ia mengulurkan kembali ponsel tersebut ke arah Jena.

“Hanya begitu?” Perempuan itu tak habis pikir.

Alex mengangguk.
“Ya, aku sudah menyimpan nomorku di ponsel tante. Kalau tante butuh apa-apa, atau mungkin butuh teman mengobrol, tante bisa telpon aku. Oke?”

Jena tertawa. Pintar sekali bocah ini. Ia tatap layar ponselnya sendiri dan tampak nama kontak baru di sana.
Alex.

“Oke, thanks ya. Bye.” Perempuan itu beranjak dengan tertatih, menuju lift.

"Tante?" panggil Alex ragu.

Jena berhenti dan menoleh. "Hm?" sahutnya.

Alex mengulum senyum sejenak sebelum akhirnya ia menyeringai lebar. "Aku tak tahan untuk mengatakan ini, jadi aku akan tetap bicara," ujarnya.

"Yang tadi itu serius. Intinya aku cuma mau bilang, Tante cantik. Hehe."

Dan sebelum Jena bereaksi, Alex sudah ngacir pergi sembari terbahak.

Jena tercengang.

Apa ia sedang berhadapan dengan anak Es-De?

°°°

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro