03.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Astaga, kaki Ibu kenapa?” Bibi Yaya tergopoh mendekati Jena yang berjalan tertatih. Perempuan itu tersenyum hangat ke arahnya, berharap agar kekhawatiran di wajah Bibi Yaya sirna. 
“Hanya terkilir, Bi,” jawabnya.

Bibi Yaya membantu perempuan itu duduk.
“Perlu saya panggilkan dokter?”

Jena menggeleng. “Tidak perlu. Besok pasti juga sudah membaik. Alea sudah tidur?”

Bibi Yaya mengangguk.
“Ibu yakin tidak perlu saya panggilkan dokter?” Perempuan setengah baya itu kembali menyarankan.

Jena kembali menggeleng. “Aku akan segera baikan setelah mandi lalu menikmati teh hangat buatan Bibi,” jawabnya.

“Baik, Bu. Akan saya buatkan.” Bibi Yaya lekas beranjak membuatkan teh hangat untuk perempuan itu.

Jena tertatih mendekati tempat tidur Alea, mengecup keningnya yang tertidur pulas sebelum melangkah ke kamar mandi.

Setelah minum teh hangat dan istirahat, tubuhnya terasa lebih segar dan rasa sakit di pergelangan kakinya sudah jauh berkurang.

***

Alex mematung di depan kamar hotel tempat Jena menginap.
Keraguan muncul di benaknya antara mengetuk pintu, ataukah berbalik arah dan mengurungkan niatnya menemui perempuan itu.

Ia memaki dalam hati.
Ia pasti sudah gila.
Menemui seorang wanita yang sudah menikah di kamar hotelnya? Otaknya pasti sudah tidak waras.

Tapi, bukankah mereka hanya teman? Dan, bukankah ia hanya datang untuk berkunjung? Setidaknya, ia benar-benar ingin memastikan bahwa luka di pergelangan kaki Jena sudah jauh membaik. Apakah ada peraturan yang melarang ia melakukan itu?

Hati kecil Alex mulai berdebat. Dan berkali-kali ia mendesah. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk melangkah menjauhi kamar hotel tersebut.

Ia menghabiskan seharian waktunya dengan berjalan-jalan di pantai dengan perasaan campur aduk. Berkali-kali ia mengecek ponselnya dengan harapan ada sebuah keajaiban yang membuat Jena menghubunginya.

Pemuda itu kembali menggerutu.
Astaga, ada apa dengannya?
Ia baru saja mengharapkan wanita yang baru ia kenal beberapa hari – menghubunginya? Wanita itu bahkan sudah menikah.

Setelah patah hati karena Rachel, sekarang Jena membuat jantungnya berlompatan. Ini bukan pertama kalinya Alex merasakan desiran pada lawan jenis. Tapi dengan Jena, perasaan ini terasa jauh lebih dahsyat.
Apakah perasaan ini masuk akal?
Ia pikir cinta yang terlalu menggebu-gebu hanya ada di film Titanic!

“Tante, apakah kau telah benar-benar memantrai aku?” Alex mendesah pelan.
Pemuda itu baru saja hendak kembali ke kamar hotel ketika ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak ia kenal. Dengan sedikit malas ia menjawab, “Halo.”

“Halo, uhm, Alex?”

Alex terkesiap. Suara itu!
“Tante?” Ia nyaris berteriak kegirangan ketika indra pendengarannya langsung bisa menerka siapa gerangan yang tengah menelpon. Suara dari seberang sana tertawa.

“Aku baru bilang ‘halo’ dan kau sudah bisa mengenali suaraku?”

Alex tertawa. Karena aku baru saja memikirkanmu, Tante. Desisnya dalam hati.

“Bagaimana kaki tante? Sudah baikan?” Alex berusaha mengatur suaranya agar terdengar senormal mungkin.

“Kakiku sudah jauh lebih baik. Terima kasih karena kemarin kau sudah membantuku.” Jena menjawab sopan.

“Kembali kasih, Tante.” Alex terkekeh.

Jena tertawa.
“Besok aku harus kembali ke Jakarta. Semoga kita bisa ketemu lagi disana,” ucap perempuan itu lagi.

Alex terkesiap. “Kembali ke Jakarta? Secepat itu?”

“Diklat jurnalistikku sudah selesai. Jadi aku berencana pulang besok.”

“Tante tak ingin menikmati liburan di sini dulu?”

“Aku sudah terlalu lama di sini. Dan sudah waktunya untuk pulang,” ucap Jena.

“Bukankah suami Tante masih di luar negeri?” Alex kembali bertanya, kali ini suaranya terdengar hati-hati.

“Yup, kenapa?”

“Lalu, Tante pulang untuk siapa?”

Tak ada jawaban.

“Kupikir Tante akan lebih lama di sini. Karena jika begitu, aku berencana mengajak Tante mengunjungi beberapa tempat yang menakjubkan di sini. Ada banyak pulau dan pantai tersembunyi yang sayang sekali untuk dilewatkan.” Ide itu muncul secara spontan di benak Alex.

“Apa kau sedang menawariku sesuatu?”

Pertanyaan Jena yang to the point membuat Alex sedikit sulit mencari jawaban.
“Ayo berpetualang, Tante,” jawabnya kemudian. “Aku suka sekali dengan alam. Aku suka Swimming, Diving, Surfing, Snorkling, dan ... banyak lagi. Jadi jangan salah paham. Aku tidak bermaksud kurang ajar dengan mengajak Tante pergi bersama. Aku hanya merasa bahwa sekarang kita adalah teman yang punya hobi yang sama. Jadi kupikir ... kita bisa ...”

Jena terbahak. “Apa kau pikir aku akan salah paham hanya karena seorang bocah ingusan mengajakku pergi bersama?” jawabnya. “Sejujurnya aku benar-benar berniat pulang besok pagi. Tapi, kupikir ini bukan ide yang buruk. Nanti akan kukabari lagi.” Ia melanjutkan.

Alex tersenyum dan manggut-manggut. “Oke, kabari aku kalau tante berniat pergi bersamaku,” ucapnya lagi mantap.

Dan pembicaraan mereka terhenti.

***

Jena termenung di ranjangnya. Pikirannya menerawang pada tawaran Alex barusan.

Pergi ke pulau-pulau eksotis dan tempat-tempat yang  belum pernah ia kunjungi sebelumnya?
Wow, sungguh tawaran yang menggiurkan. Sudah lama ia tak melakukannya. Menaiki bukit karang dan menyaksikan matahari terbenam. Menyeberangi lautan, menjelajah pulau, dan berenang sepuasnya. Jiwa petualangnya seakan bangkit. Ia ingin pergi!

“Sudah malam, Bu. Kenapa belum tidur?” Suara Bi Yaya membuyarkan lamunan Jena.
“Aku belum bisa tidur, Bi.” Jena beranjak ke sisi tempat tidur Alea lalu membelai rambut putrinya dengan lembut.
“Bi, seandainya kita menunda kepulangan kita ke Jakarta, apakah Bibi keberatan?”

Bi Yaya mengernyitkan dahi. “Ada apa, Bu? Apakah ada masalah? Bukankah pelatihannya sudah selesai?”

Jena mengangkat bahu.
“Entahlah, Bi. Tiba-tiba saja aku ingin menghabiskan liburan di sini lebih lama sebelum ayah Alea pulang. Apakah Bibi keberatan kalau tinggal di sini lebih lama? Mungkin ... sekitar 2 minggu lagi.” Kalimatnya ragu.

Bi Yaya menggeleng. “Tidak, Bu. Saya ikut saja, yang penting Ibu merasa gembira. Lagipula, sepertinya Alea juga betah sekali di sini karena dia bisa main-main di pantai,” jawabnya.
Jena tersenyum.
“Ya, aku juga berpikir begitu,” ujarnya lirih.

***

Alex sedang menikmati secangkir kopi ketika ponsel-nya berbunyi dan sebuah pesan baru bertambah di kotak masuk.

::Kapan kita bisa mulai?::

Sebuah pesan singkat dari Jena.
Kedua mata Alex berbinar membaca tulisan tersebut. Ia nyaris saja bersorak kegirangan.

::Tante ingin mulai dari mana?:: Ia membalas.

:Now, you’re my Guide. I’ll follow you.::

Alex tertawa membaca tulisan tersebut.

:: Oke, I’ll show you.::

***

Dan ... mulailah Jena memulai petualangannya. Mengunjungi tempat-tempat eksotis yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, bersama Alex.
Sungguh pengalaman yang luar biasa menyenangkan. Kaki Jena  terasa sakit karena terlalu banyak menaiki dan menuruni bukit. Kulitnya pun mulai sedikit menghitam karena terlalu banyak bermain-main dan berenang di pantai. Tapi, ia tak peduli.

“Wah, pantai di sini ternyata lebih indah dari pantai yang kita kunjungi kemarin. Aku ingin berenang!” Jena berteriak girang. Sebuah pantai tersembunyi yang berada sekitar 30 kilometer dari pantai Perasi.

Alex belum sempat mengatakan sesuatu ketika perempuan itu sudah melompat dari perahu, berlari menjauhi bibir pantai, meletakkan tas ranselnya di atas pasir putih kemudian melepaskan bajunya hingga tinggal celana pendek dan tank top berwarna putih.

“Kedalaman pantai di sini berbeda dari pantai yang kemarin kita datangi. Jadi, berhati-hatilah, Tante!” Alex berteriak.

Jena hanya tersenyum sembari mengacungkan ibu jarinya. Sekian detik kemudian ia sudah berada di dalam air dengan penuh tawa.
“Kau tidak ingin ikut berenang di cuaca secerah ini?” teriak perempuan tersebut.
“Tidak, terima kasih,” jawab Alex.
Ia lebih suka berdiri di bibir pantai sambil memainkan kamera polaroidnya. Dan sesekali menatap Jena yang tengah asyik bermain air seperti layaknya anak kecil.
Beberapa kali pemuda itu tersenyum sendiri. Tante Jena yang teramat cantik, pujinya dalam hati.

Ketakutan mulai menghinggapi diri Alex ketika Jena semakin menjauhi bibir pantai. Dan sekian detik kemudian, tubuhnya tak muncul ke permukaan.
Alex tersentak. “Ya Tuhan!” Ia melemparkan tas ransel dan kamera di tangannya, lalu berlari sekuat tenaga dan menceburkan dirinya ke air.

***

Alex menatap Jena dengan kesal.
Perempuan itu tergelak. Ia menepuk-nepuk pundak pemuda tersebut. “Maaf, itu tadi hanya bercanda. Aku hanya pura-pura tenggelam. Jangan marah, okay,” ucapnya. Ia kembali tertawa.

Alex melotot.
“Ini tidak lucu, Tante. Tante nyaris saja membuatku terkena serangan jantung! Aku kira Tante benar-benar tenggelam!” Ia berteriak. Pemuda itu beranjak dengan kesal. Jena mengekor.
“Iya, iya, aku minta maaf. Kalau aku tidak pura-pura tenggelam, kau tidak akan mau kuajak berenang,” ujarnya.

Alex tak menggubris hingga membuat Jena menghadang langkahnya.
“Alex, please. Aku minta maaf. Aku janji, ini akan jadi yang pertama dan yang terakhir kalinya,” rajuknya.
“Bodo amat.” Alex mengerucutkan bibirnya jengkel.

“Aku janji takkan mengulanginya. Percayalah, aku ini perenang yang handal.” Jena memastikan.

Alex mendesah. “Kalau Tante melakukannya lagi, akan kubiarkan Tante tenggelam,” peringatnya.

Jena terbahak. “Iya, iya, maaf.”
Dan belum sempat Alex mengatakan sesuatu, Jena sudah kembali berlari, menceburkan dirinya ke air.
Perempuan itu tak berhenti tertawa riang.

Alex menggaruk-garuk tengkuknya bingung.
“Astaga, perempuan ini,” gerutunya.

***

Jena mengibaskan rambutnya yang panjang sambil melangkahkan kakinya mendekati Alex yang tengah duduk di bawah pohon dengan hanya mengenakan celana pendek. Bajunya yang basah ia jemur di dahan pohon.

Sesaat, Alex sempat merasakan dadanya kembali bergemuruh hebat ketika menyaksikan pemandangan yang ada di depannya. Hatinya merutuk. Astaga, mantra apa yang digunakan perempuan ini? Kenapa ia selau terlihat luar biasa cantik?

Pemuda itu butuh oksigen. Atau ia akan sesak napas!

“Bajumu sudah kering?” Pertanyaan Jena membuyarkan lamunannya. Ia menengadah, menatap baju-bajunya yang ada di dahan pohon.
“Lumayan. Apa tante juga ingin melepaskan baju tante lalu ikut menjemurnya di dahan pohon?” Alex balas menggoda Jena.

Perempuan itu tertawa. “Rayuanmu takkan mempan, dasar bocah ingusan.” Bibirnya berdecih.

“Tante bisa masuk angin kalau pulang dengan baju basah seperti itu.” Alex menatap khawatir
“Kemarin-kemarin aku juga begini, kan? Dan aku baik-baik saja.” Perempuan itu duduk di dekat Alex.
“Woa, pantai ini benar-benar luar biasa mengagumkan,” gumamnya. Matanya yang bening menatap laut lepas dengan tatapan berbinar. Sebuah senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang mungil. Alex menatap perempuan di sampingnya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan saksama. Dan ia baru menyadari bahwa tungkai kaki perempuan  itu dipenuhi luka lecet.

“Kaki Tante terluka?” Tanpa sadar Ia menyentuh luka-luka tersebut dengan lembut. Jena menatap sekilas, membiarkan Alex menyentuh luka-luka di kakinya.
“Hanya luka kecil, tak masalah,” jawabnya.
“Ini pasti terasa sakit ketika digunakan berenang. Kita harus segera kembali ke hotel untuk mengobatinya.”
Jena mencegah Alex berdiri.
“Tidak usah terburu. Aku baik-baik saja. Percayalah,” ujarnya yakin.
“Tante__”
“Please. Aku belum ingin kembali ke hotel. Biarkan aku di sini sebentar lagi, oke?”

Rengekan Jena membuat Alex tak punya pilihan. Ia kembali duduk dan membiarkan perempuan itu kembali menikmati pemandangan laut lepas.

“Apakah tante begitu menyukai laut dan pantai?” Pemuda itu membuka suara.

“Sangat.” Jena menyahut pendek. Kedua bola matanya yang berbinar membuat Alex takjub dan terpesona. “Sudah lama aku tak melakukan ini. Maksudnya, pergi berpetualang ke tempat-tempat seperti ini dan berenang sepuasnya. Kalau tak salah ingat, itu sudah beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih muda,” lanjut Jena lagi. Ia terkikik.

“Apa suami tante terlalu sibuk untuk mengajak tante pergi ke tempat-tempat seperti ini?”

Jena tak segera menjawab pertanyaan Alex.
“Suamiku tidak mengijinkanku pergi ke tempat-tempat seperti ini. Dia tidak menyukainya.”

“Kenapa?”

“Karena dia tak suka dan ... well, yeah, sepertinya ia terlalu sibuk.”

Alex melirik sekilas ke sosok di sampingnya sebelum membuang pandangannya ke laut lepas.
“Sudah berapa lama Tante menikah?” Alex memberanikan diri untuk menanyakan kembali tentang kehidupan pribadi Jena.

“Uhm, sekitar 9 tahun.”

“9 tahun? Woa.” Alex menggumam takjub. “Dan Alea?”

“Dia putri pertamaku. Dulu kami sepakat untuk menunda punya momongan karena kami sama-sama belum siap,” jawab Jena.

“Dia masih bekerja di Amerika?”

Jena mengangguk.
“Suamiku punya sebuah perusahaan di sana. Semua keluarganya juga ada di sana.”

“Kenapa Tante tidak ikut ke sana?”

Lagi-lagi Jena tak segera menjawab.
“Aku lebih suka tinggal di sini,” jawabnya kemudian.

“Dan tante pasti jarang bertemu dengan suami tante, kan?”

Perempuan itu mengangguk.
“Kadang dia kesini 2 atau 3 minggu sekali. Tergantung kesibukan. Sepertinya aku menjalani kehidupan rumah tangga yang rumit, ya?” Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Alex menggeleng. “Rumit? Karena jarak? Tidak juga. Banyak juga orang yang menjalani kehidupan seperti Tante. Aku juga punya saudara yang seperti itu. Dan nyatanya, mereka baik-baik saja sampai sekarang.”

Jena tak merespon. Tatapannya tetap singgah pada laut lepas yang membentang di hadapannya.

“Lantas, selama ini tante melakukan apa?”

Perempuan itu mengernyitkan dahinya. “Maksudmu?” Ia menatap Alex keheranan.

“Well, suami Tante melarang bekerja. Dia juga melarang Tante pergi ke tempat seperti ini. Lantas, apa saja yang Tante lakukan selama ini?”

“Banyak. Mengurus rumah, bersih-bersih, berkebun, menanam bunga, Shopping ke Mall, pergi ke salon, ya, begitulah. Oh, aku juga suka membaca. Kau tahu, aku punya ratusan atau mungkin ribuan novel di rumahku. Aku juga menulis beberapa cerita.” Ia tersenyum antusias.

“Tante juga sudah mulai menulis novel?”

Jena mengangguk.
“Tentunya tanpa sepengetahuan suamiku. Karena itu, aku tidak pernah mengirimkannya ke penerbit ataupun ke media. Suamiku pasti akan marah besar kalau ia mengetahuinya.”
Kali ini Jena tertawa. Kedua mata beningnya kembali berbinar.

Dan, Alex merasa begitu lega setelah beberapa saat yang lalu ia sempat merasa kehilangan binar tersebut.

“Ah, tiba-tiba aku ingin berenang.” Tiba-tiba Alex bangkit.

“Serius?” Jena ikut berdiri. Alex mengangguk.

“Oke, ayo kita berenang lagi.”

Belum sempat Alex berkata-kata, Jena sudah berlari dan menceburkan dirinya ke air.

***

Jena meraih Alea ke dalam pelukannya dan menciuminya dengan lembut.
Perempuan itu bermain-main dengan mesra bersama putri semata wayangnya. Beberapa saat kemudian Bibi Yaya datang sambil membawa obat luka.
“Sini, Bu, kakinya saya obati,” ujar perempuan itu dengan lembut.
“Tidak usah, Bi. Ini hanya luka lecet biasa. Tidak parah kok.”
“Jangan begitu, Bu. Harus diobati biar cepat sembuh. Nanti kalau ayah Alea pulang dan melihatnya, kita pasti repot.” Perempuan itu menatap Jena dengan tatapan memohon.
Ingat akan suaminya, nyali Jena ciut.
Akhirnya, ia membiarkan Bibi Yaya mengolesi luka di tungkai kakinya dengan obat.

“Beberapa hari ini saya bisa melihat kalau Ibu begitu bahagia.” Perempuan itu membuka suara.

Jena  tersenyum. Ia menatap Bibi Yaya, orang yang telah bekerja padanya sejak ia menikah, dengan mata berbinar.

“Bibi benar. Ah, sepertinya aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Bibi. Bibi tahu? Kemarin aku mengunjungi tempat yang begitu menakjubkan. Aku berenang sepuasnya di pantai, menjelajah hutan, mendaki bukit lagi, ah, benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Alex membawaku ke tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Dan  ... ini sangat luar biasa.”

Bibi Yaya ikut tersenyum mendengar nada suara Jena yang menggebu-gebu.
“Sepertinya Mas Alex  itu orang yang baik ya, Bu,” ujarnya. Dan Jena  mengangguk tanpa ragu.
“Bibi betul. Selain itu, ternyata kami punya banyak kesamaan. Menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersamanya. Kami benar-benar menjadi teman baik sekarang.”

Bibi Yaya mengangguk-angguk. Ia menatap Jena  dengan lembut.
“Saya senang Ibu bisa bergembira seperti ini,” ucapnya.

Jena kembali tersenyum.
“Besok kami akan menjelajah suatu tempat lagi. Alex bilang, ia ingin menunjukkan sebuah pantai yang menakjubkan padaku. Maaf ya, Bi, keadaan tidak memungkinkan untuk membawa Bibi dan juga Alea. Tapi aku janji, besok kita akan mendapatkan waktu bertiga saja di tempat lain.”

“Tidak apa-apa, Bu. Bersenang-bersenanglah dan nikmati hari-hari Ibu selama di sini.”

Jena beranjak dan memeluk Bibi Yaya dengan erat, perempuan yang umurnya hampir sama dengan almarhumah Ibu dan telah ia anggap sebagai keluarga sendiri.

“Terima kasih ya, Bi. Aku benar-benar beruntung ada Bibi di sampingku,” ucapnya.

*** 

Jena  menghentikan langkah sejenak lalu menata napasnya yang tak beraturan.

“Masih jauhkah? Perlu berjalan berapa lagi?” Ia mendesis lelah. 

“Sebentar lagi, Tante.” Alex menggandeng tangan Jena dan mengajaknya berjalan lagi.
“Akan kutunjukkan sebuah tempat yang luar biasa indah pada Tante,” lanjutnya.

“Kuharap kau tidak membohongiku. Kalau kau berbohong, tamat riwayatmu,” bibir Jena mengerut.

Alex tergelak mendengar ancaman perempuan itu.

Dan 15 menit kemudian, setelah tertatih menuruni bukit, mereka sampai di tempat yang dimaksud.

Jena  sempat melongo beberapa saat menyaksikan pemandangan luar biasa indah yang terhampar di depannya.

Hamparan pasir putih di bibir pantai, ombak yang tenang, air laut yang jernih, dan bukit-bukit kecil di sisi pantai, benar-benar luar biasa cantik.

“Well, inilah surga kecil yang ingin kutunjukkan pada Tante,” ujar Alex dengan bangga.

“Apakah ini tempat untuk syuting film?”  Jena mendesis tanpa sadar.

Alex tersenyum.
“Pertama kali datang ke sini aku juga sempat berpikir bahwa tempat ini pastilah pernah digunakan syuting film. Tapi, entahlah. Anggap saja begitu. Yang jelas, tempat ini terlalu indah untuk dinikmati segelintir orang,” ujarnya.

Jena  mengangguk tanda setuju.
Dan sekian menit kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi, perempuan itu sudah menceburkan dirinya ke dalam air.

“Kau tak ikut berenang?” teriaknya pada Alex.

Pemuda itu menggeleng.
“Tidak, aku melihat-lihat saja. Bersenang-senanglah!” jawabnya.

Ia bergerak menjauhi bibir pantai dan mulai asyik memotret dengan kamera. Beberapa kali ia memotret Jena yang tengah asyik berenang, tentunya tanpa sepengetahuan perempuan tersebut.

Beberapa menit kemudian, ia menyaksikan Jena melambai-lambaikan tangan dan tubuhnya timbul tenggelam di dalam air.

Alex tertawa. “Pura-pura tenggelam lagi? Tante pikir bisa mengecohku dua kali? Hah, tidak akan,” gumamnya tanpa menggubris perempuan tersebut dan kembali asyik dengan kameranya.

Ketika ia kembali menoleh, tubuh Jena sudah lenyap dari permukaan air.

Oke, sampai kapan Tante bisa bertahan di dalam sana? Sindirnya dalam hati.

Setelah dua menit, tubuhnya tetap tak muncul ke permukaan. Alex tetap menunggu.
Ketakutan mulai ia rasakan ketika beberapa menit selanjutnya, tubuh Jena tetap tak terlihat.

“Astaga,” dan ia menyerah.

Setelah menjatuhkan kamera dan melemparkan tas ranselnya, pemuda itu segera berlari dan menceburkan dirinya ke dalam air.

***

Memberikan Cardiopulmonory Resuscitation adalah hal pertama yang dapat Alex lakukan setelah membawa tubuh Jena yang terkulai lemas ke daratan. Ia nyaris putus asa ketika perempuan itu tak menunjukkan reaksi sadarkan diri.

“Bernapaslah, Tante, kumohon!” teriaknya panik. Lalu kembali memberikan CPR, berkali-kali.

Dan, ia segera mengucap syukur ketika beberapa saat kemudian Jena terbatuk dan menyemburkan banyak air dari dalam mulutnya.

“Terima kasih, Tuhan.” Tanpa sadar ia memeluk Jena dengan erat lalu kembali menggendong tubuh perempuan itu dan membawanya ke tempat yang lebih teduh.

“Tante baik-baik saja?” Ia menelungkupkan kedua tangannya di kedua pipi Jena. Perempuan itu mengangguk pelan.
“Astaga, apa yang terjadi pada Tante? Tante perenang handal, kan? Bagaimana mungkin Tante bisa tenggelam?” Nada suara Alex terdengar marah. Tapi marah pada dirinya sendiri karena terlalu bodoh. Telat sedikit lagi, Jena pasti tak bernyawa.

“Kakiku kram,” jawab perempuan pelan.

“Aku minta maaf, Tante. Aku pikir tadi tante bercanda. Aku hampir saja membiarkan tante tewas di sana.” Alex menggosok-gosok telapak kaki Jena dengan telapak tangannya.

Perempuan itu menggeleng pelan, ia mencoba bangkit dan Alex membantunya duduk.
“Bisakah kita segera kembali ke hotel. Maaf, tapi aku merasa ___ kurang sehat.” Suara Jena bergetar.

Tubuhnya menggigil dan bibirnya mulai membiru. Secara reflek, Alex memeluk tubuh perempuan itu dengan erat dan dengan harapan bisa membuatnya lebih hangat.

“Aku akan menghubungi orang untuk menjemput kita. Tapi, mungkin butuh waktu beberapa jam untuk sampai ke sana.”

Jena  mengangguk lemah dalam dekapan Alex. Lalu kembali tak sadarkan diri.

***

Ketika Jena membuka mata, ia menyadari bahwa dirinya telah berada di sebuah kamar sederhana yang tidak ia kenali.

Terlihat Alex tertidur di kursi yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.

Perempuan itu bangkit. Ia memegangi  kepalanya yang kembali berdenyut-denyut sakit. Ia mulai ingat kejadian sebelumnya. Ia nyaris saja tewas tenggelam, dan ia tak sadarkan diri kembali ketika ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan.

Perempuan itu kembali menatap sekelilingnya dengan saksama. Dan ia terkesiap. Ia mengenakan kaos lengan panjang dan ___ ini bukan bajunya!

“Tante sudah sadar?”

Jena tersentak. Alex ternyata telah terbangun dan kini berdiri di sampingnya.

“Kita ada di mana?” Jena bertanya lirih.

“Maaf, terlalu jauh untuk membawa tante ke hotel ataupun ke Rumah Sakit. Jadi aku terpaksa membawa tante ke penginapan kecil seperti ini, karena ini tempat paling dekat dengan pulau yang kita kunjungi kemarin. Sepertinya tante kelelahan dan harus banyak istirahat.” Alex memberikan sedikit penjelasan.
Wajah tampannya tampak kusut, pucat dan kelelahan. Ia terlihat kurang tidur.

“Dan ... maaf, baju tante yang kemarin basah dan kotor. Aku meminta pelayan penginapan mencarikan baju kering. Karena itu ukurannya tidak pas.”

“Dan ___”

“Dan ___ aku yang memakaikannya sendiri,” lanjut Alex kemudian, ragu.

“What!?” Jena nyaris berteriak.

“Tak ada pelayan perempuan yang bisa kumintai bantuan. Ada beberapa sebenarnya, tapi mereka tidak masuk. Dan kalau harus menunggu mereka, terlalu lama. Jadi ___” Alex menelan ludah. “Aku ... aku sendiri yang memakaikannya.”

Jena  melongo, menatap pemuda di hadapannya dengan kaget.

Alex membantunya berganti baju?

Perempuan itu menelan ludah.

Oh tidak ....

***

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro