04.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Aku ...” Alex tampak gugup. “Aku tidak bermaksud lancang, Tante. Aku panik. Tante tak sadarkan diri dengan baju basah dan ... kedinginan. Jadi ... ya ... begitulah.” Ia tampak bingung mengatur kata-kata.

Jena terdiam. Ia menatap kembali ke arah Alex. Wajahnya pucat, ada gurat-gurat kelelahan di sana.
Membayangkan pemuda itu  mondar mandir membawanya ke penginapan, amarah Jena mereda. Masih pantaskah ia marah? Sementara pemuda itu sudah berusaha menyelamatkan dirinya.

“Apa tante akan memintaku untuk bertanggung jawab dengan menikahi tante?” ujar Alex lagi.

Jena mengernyitkan dahinya. “Eh?”

Pemuda di hadapannya mengangkat bahu. “Bukankah itu yang terjadi pada perempuan di masa lalu. Jika ada seorang lelaki dewasa melihat tubuh perempuan, bukankah pihak perempuan akan menuntut untuk dinikahi?” Alex meringis. Rupanya ia berusaha melucu, sekadar untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

Dan akhirnya hal itu sukses membuat Jena tergelak.
“Jika saja aku belum menikah, aku pasti akan memintamu untuk bertanggung jawab,” ujarnya. Dan Alex kembali menyeringai.

Keadaan yang tadinya sedikit canggung mulai berubah  biasa.

"Sepertinya Tante hanya kelelahan. Dengan istirahat yang cukup, Tante akan segera baikan. Oh iya, aku sudah membuatkan bubur." Alex beranjak menuju meja kecil di samping tempat tidur.
Ada sebuah mangkuk tertutup di atas nampan.

“Ini bagus sekali untuk memulihkan tenaga agar tante bisa segera baikan.” Alex meraihnya.

“Kau membuatnya sendiri?” tanya Jena.

Alex mengangguk.
“Aku ingin meminta pelayan penginapan untuk membuatkannya. Tapi aku takut hasilnya tidak sesuai dengan yang kuinginkan. Akhirnya aku membuatnya sendiri. Tentunya dengan meminjam dapur mereka.” Ia tertawa sambil menyodorkan sesendok bubur hangat ke depan mulut Jena.

Aneh, Jena tak menolak suapan itu. Perempuan itu membuka mulut dan menerima suapan dari Alex, tanpa canggung.

“Bagaimana?”

Jena mengangguk. “Enak. Serius kau yang memasak sendiri?”

Alex buru-buru mengangguk. "Suer," ujarnya sedikit sewot. "Aku tinggal sendiri jadi aku biasa menyiapkan kebutuhanku sendiri, terutama soal makanan,” lanjutnya.

“Kau tinggal sendirian?”

Alex mengangguk. “Aku tinggal di kost-kostan. Kalau tante mau, mampirlah. Toh kita sama-sama datang dari Jakarta.” Ia menjawab sambil terus menyuapi Jena.

Jena  tertawa. “Untuk apa aku mampir ke kost-mu?”

“Aku punya banyak koleksi buku.”

“Buku?” Kedua mata Jena melebar.

“Ada banyak novel juga. Yah, barangkali tante ingin baca. Boleh kok dipinjam.” Alex kembali tersenyum manis, berusaha meyakinkan perempuan yang tengah ia suapi.

Sambil menelan bubur di mulut, Jena terdiam sejenak. Akhirnya ia berujar, “Kalau begitu berikan alamatmu. Setelah sampai di Jakarta, aku akan mampir ke tempatmu.”

Alex tersenyum puas. “Siap,” jawabnya. “Kapan tante berencana pulang?”

“Mungkin lusa kalau keadaanku sudah membaik. Kau sendiri?”

Alex mengangkat bahu. “Entahlah. Tergantung situasi,” ucapnya, ragu.

“Kau masih ingin mencarinya?”

“Siapa?”

“Rachel.”

Akex tertegun, tak segera menjawab.
“Aku sudah hampir melupakannya. Tante ingin kuambilkan bubur lagi?” Ia seolah mengubah topik.

Jena tersentak malu menyadari bubur di mangkuk telah habis. Rupanya, Alex terus menyuapinya ketika mereka tengah asyik mengobrol.
“Tidak, terima kasih.”

Alex tersenyum dan menatap perempuan di hadapannya dengan takjub hingga membuat wanita itu jengah.
“Apakah tante memang selalu apa adanya begini?” Pemuda itu mengulum senyum.

Jena  mengernyitkan dahinya, bingung.

“Perempuan lain mungkin akan menolak kalau kusuapi, tapi Tante tidak.”

“Apa kau ingin meledekku?” Suara Jena terdengar ketus sekarang.

Alex menggeleng.
“Tidak, jangan marah. Maksudku___”

“Aku bukan a-be-ge yang harus malu-malu kucing dengan situasi seperti ini. Lagipula, kau hanya ... seorang bocah.”

Dan kali ini ganti Alex yang terlihat sewot. "Aku bukan bocah." Ia ngedumel.

Jena terkikik. “Bubur buatanmu betul-betul enak. Rasanya hampir sama dengan bubur buatan Bi Yaya. Dia juga yang selalu menyuapiku ketika aku sakit.”

Pujian itu sukses membuat Alex yang tadinya sewot berubah kepo. “Bi Yaya?”

Jena  mengangguk. “Itu, yang selalu bersamaku, menjaga Alea. Hubungan kami sangat dekat, aku sudah menganggapnya sebagai keluarga,” ujarnya.

Alex menatap Jena dalam. Entah kenapa, setiap kali menceritakan tentang kehidupannya, kedua mata bening itu nampak berbeda. Tak hidup.

“Kenapa harus Bi Yaya yang menyuapi tante?” Di antara sekian cerita yang Jena luapkan, entah kenapa Alex lebih tertarik menanyakan itu.

“Suamiku ada di luar negeri. Jadi ketika aku sakit, Bibi-lah yang selalu menjagaku,” jawab Jena  seraya merapikan rambutnya dengan jemari tangan.

“Apa harus sakit dulu kalau ingin disuapi?” tanya Alex.

“Kalau sehat tidak ada alasan untuk minta di suapi, kan?”

“Jadi, suami tante tidak pernah melakukannya?” Pemuda itu tak bisa menghentikan dirinya untuk terus bertanya.

“Aku tidak pernah sakit ___ di depannya. Jadi, buat apa dia melakukannya?”

“Wah, suami Tante tidak romantis.”

“Apakah itu menjadi hal penting untuk dibahas?” Suara  Jena terdengar meninggi.

“Ah, sudahlah, Tante. Tante istirahat saja.” Dengan mangkuk kosong di tangan, Alex beranjak keluar. Pemuda itu tampak kesal.

Jena menatapnya heran. “Bocah ini kenapa, sih?” gumamnya.

***

Alex membantu Jena turun dari taksi. “Aku akan mengantarkan tante sampai ke kamar hotel,” ujarnya, tapi Jena  menolak halus.

“Tidak perlu. Aku akan ke kamarku sendiri. Maaf telah banyak merepotkanmu. Tempat terakhir yang kita kunjungi harusnya menjadi sebuah petualangan yang sempurna. Sayangnya, aku mengacaukannya.” Perempuan itu terdengar menyesal.

“Kita bisa ke sana lagi kalau tante mau,” cetus Alex antusias.

Bibir Jena  mengerut. “Well, aku tidak yakin bisa ke sana lagi dalam waktu dekat ini. Aku harus segera pulang.”

“Ya tidak harus dalam waktu dekat ini, kan? Next time, mungkin.” Alex mengangkat bahu.

“Tentu kita akan ke sana lagi kalau ada kesempatan,” jawab Jena .

Keduanya saling melempar senyum.

“Sampai ketemu lagi.” Jena berucap.

Alex manggut-manggut. "Oke, sampai ketemu lagi."

Dan keduanya kembali tersenyum.

***

Andrew berjalan menghampiri  Jena yang berdiri di depan pintu. Ia  peluk perempuan itu sejenak sembari mendaratkan kecupan ringan di  kening.

“Di mana Alea?”

“Ada di kamar bayi dengan Bibi,” jawab Jena. 

Andrew melangkah  memasuki ruang tamu, sementara Jena mengikuti.
“Kau ingin aku menyiapkan makan malam untukmu?” tanya perempuan itu lembut.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah makan di hotel,” jawab Andrew enteng.

Jena  mengernyitkan dahinya. “Hotel?”

Andrew  mengangguk, tanpa rasa bersalah. “Ya, maaf tidak memberitahumu. Aku sudah sampai di Jakarta sejak kemarin. Tapi kuputuskan untuk tinggal di hotel karena ada beberapa klien yang harus kutemui di sana.” Ia menjawab tanpa melihat ke arah Jena  hingga membuat wanita itu termangu beberapa saat.

Rahang Jena kaku. Tangannya mengepal menahan amarah.

Suaminya sudah pulang sejak kemarin, tapi lelaki itu lebih memilih tidur di hotel daripada pulang ke rumah? Tanpa memberitahunya atau bahkan merindukan putrinya?

Air mata Jena nyaris tumpah. Tapi perempuan itu menahannya dengan sekuat tenaga.

***

“Bagaimana liburanmu kemarin?” Andrew bertanya pada Jena tanpa melepaskan pandangannya dari surat kabar yang tengah ia baca.

“Menyenangkan.” Jena menjawab singkat. Ia sibuk menata hidangan di atas meja makan.

“Kuharap itu liburanmu yang terakhir ke pantai.”

Jena mengernyitkan dahinya. “Kenapa?”

“Aku tidak suka pantai, kau tahu itu.”

“Tapi aku suka,” sergah  Jena.

“Aku yang menentukan ke mana kau boleh pergi. Jika aku bilang kau tak boleh ke sana, maka kau tak akan pergi. Lagipula, pantai itu berbahaya.” Lagi-lagi pria itu berujar tanpa menatap lawan bicara.

“Pantai tidak berbahaya. Laut, pegunungan juga tidak berbahaya.” Jena kembali menyergah.

Andrew  mendengus. Ia menatap Jena  dengan sinis. “Oh ya? Tidak berbahaya? Kau masih ingat kejadian tahun lalu? Kau nyaris saja tewas tenggelam karena terlalu asyik berenang seperti anak kecil. Dan kau nyaris saja membuatku kehilangan anakku.” Ia berucap geram.

Jena merasakan tenggorokannya tercekat. Ia masih ingat kejadian waktu itu. Andrew mengijinkannya berlibur ke pantai, tapi ia hampir saja tewas tenggelam dan nyaris keguguran.

“Peraturan tak berubah. Kau tak akan ke mana-mana tanpa seijinku.” Andrew melipat koran di tangannya dengan kasar, lalu beranjak meninggalkan Jena  tanpa mengatakan apapun lagi.

***

Jena masih duduk termenung di balkon lantai dua rumahnya ketika ponsel-nya berbunyi. Sebuah pesan bertambah di kotak masuk.

[Tante, aku sudah ada di Jakarta.]

Tanpa sadar, Jena tersenyum membaca pesan tersebut.  Dari Alex.

“Besok aku harus kembali lagi ke Pittsburgh.”

Jena menoleh. Andrew  telah berdiri tak jauh darinya.
“Secepat itu? Kau ‘kan baru datang kemarin,” protes  Jena.
“Maaf, tapi pekerjaanku sudah menunggu. Dan, aku ingin membawa Alea  ke sana. Mungkin sekitar 3 minggu.”

Jena  terhenyak.
“Membawanya ke Pittsburgh?”

Andrew  mengangguk.  “Ibu sangat rindu dan ingin bertemu dengannya. Jadi, aku ingin membawanya.”

“Dan pastinya kau tidak ingin membawaku ikut serta, kan?” Jena memotong sinis.

Andrew tak segera menjawab. Ia membuang pandangannya ke jalan raya.
“Aku minta maaf karena tidak bisa mengajakmu ke sana. Kau tahu pasti bahwa ibuku belum siap bertemu denganmu. Kesehatannya bisa saja kembali memburuk jika ia melihatmu. Kumohon mengertilah,” ucapnya.

“Bagaimana mungkin kau tega memisahkanku dengan Alea?” Jena terdengar geram.

“Ayolah, Jena. Jangan berlebihan. Hanya 3 minggu saja. Tidak lebih. Lagipula, ada 2 Babbysitter berpengalaman yang mengurusnya dengan baik. Kau tidak perlu khawatir, kau bisa menghabiskan waktumu berlibur lagi. Kemana kau ingin pergi? Eropa, Jepang, Hongkong, pergi saja. Ajak sekalian Bi Yaya,” jawab Andrew.

Rahang Jena kaku. Ia menelan ludah tanpa membuang pandangannya dari Andrew.
“Sampai kapan kau akan melakukan ini padaku? Sampai kapan ibumu akan terus menghindariku?” desisnya kemudian.

Andrew  tak segera menjawab.
“Ibuku belum siap bertemu denganmu, Jena. Tolong, bersabarlah,” jawab Andrew seraya beranjak. Meninggalkan Jena yang masih berdiri mematung di balkon.
Meninggalkan perempuan rapuh yang kini berlinang air mata.

***

Jena meringkuk di sofa ruang tengah. Setelah mengantarkan suami dan putrinya ke bandara tadi pagi, yang ia lakukan hanya  berdiam diri di sana.

“Ibu baik-baik saja?” Bi Yaya bertanya cemas.

Jena mendongak. Ia tersenyum getir.
“Tak apa-apa, Bi. Aku baik-baik saja. Toh ini bukan pertama kalinya Alea di bawa Papanya tanpa diriku,” jawabnya.

“Makanlah dulu, Bu. Ibu belum makan sejak pulang dari bandara tadi pagi.” Bibi berkata dengan lembut.

Jena  beranjak.
“Aku ingin keluar sebentar, Bi. Aku butuh udara segar,” ucapnya.

“Aku akan meminta pak sopir untuk mendampingi ibu.” Bi Yaya sigap beranjak. Namun Jena mencegah, “Tidak, aku ingin naik taksi,” ucapnya  seraya beranjak ke kamar untuk berganti baju.

***

Jena sempat mondar-mandir di Taman Semanggi selama satu jam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke Gramedia. Hal yang sama pun ia alami karena hampir satu jam berada di sana, ia belum tahu ingin membeli buku apa.

“Need some help?” Sebuah suara mengagetkan dirinya.

Perempuan itu mendongak dan pemuda jangkung itu sudah ada di sisinya. Menatapnya dengan mata berbinar.

“Alex?!” Jena nyaris berteriak.

Pemuda itu tersenyum.
“Akhirnya kita ketemu lagi, Tante,” jawabnya.

Jena tertawa girang. Keduanya berpelukan singkat.

“Sebenarnya Tante ingin mencari buku apa? Tante sudah hampir satu jam di sini dan belum mengambil keputusan ingin membeli buku apa. Perlu bantuan?”

Jena menatapnya heran.
“Hampir satu jam? Bagaimana kau bisa tahu?”

Alex tertawa.
“Kita sama-sama masuk ke toko ini dalam waktu yang hampir bersamaan,” jawabnya.

Jena membelalak. “Astaga, kenapa kau tidak menyapaku sedari tadi?” Ia meninju perut Alex sambil bercanda.

“Aku ingin mengawasi Tante secara diam-diam. Kejutan,” jawabnya.

Jena mencibir. “Dasar bocah kurang ajar, berani sekali kau memata-matai orang tua?”

Alex kembali tertawa.
“Tante ingin beli buku atau sekedar ingin menghabiskan waktu di sini?”

“Aku hanya ___”

“Ayo cari makan.”

“Hm?”

“Cari makan sambil ngobrol. Supaya tante tidak suntuk.”

“Suntuk? Siapa yang suntuk?”

“Yuk.”

Alex menarik lengan tangan Jena  sebelum wanita itu sempat berkata apa-apa.
Ia mengajaknya ke sebuah Food Court.

“Tante ingin pesan apa?”

“Lemon Tea,” jawab Jena singkat.

“Hanya itu?”

“Maaf, aku sedang tidak berselera makan. Jadi, itu saja.”
“Mau kusuapi lagi?” Alex tersenyum menggoda.

Jena terbahak. “Gombal,” teriaknya.

Keduanya kembali tertawa. Dan mereka terus mengobrol dengan akrab. Banyak hal yang mereka ceritakan.

“Apa Tante baik-baik saja?”

Pertanyaan Alex dijawab anggukan oleh Jena. “Kenapa?”

“Tante terlihat suntuk.”

Jena terkekeh lalu menggeleng. “Aku hanya merasa sedikit bosan di rumah.”

Alex menatap Jena yang tengah asyik memainkan sedotan lemon Tea-nya.

“Sudah hampir jam 11 malam. Tante tidak ingin pulang?”

Jena terhenyak. “Ya, aku akan pulang.” Ia beranjak.

“Biar aku yang bayar," ujar Alex seraya ikut bangkit.

***

Alex membantu Jena mencarikan taksi setelah tahu perempuan itu tak membawa kendaraan sendiri.
"Sebenarnya aku ingin mengantarkan Tante pulang. Sayangnya, aku masih takut dihajar orang. Tante sudah ada yang punya sih," ucap pemuda tersebut.

Jena mencibir. Sebuah toyoran ia layangkan ke lengan pemuda tersebut.
Yang ditoyor kembali tertawa.

“Apa besok kita akan bertemu lagi?” tanya Alex sebelum Jena masuk ke dalam taksi.

Perempuan cantik itu mendelik.
“Aku sudah ada yang punya. Jangan bilang kau ingin mengajakku kencan,” jawabnya asal.

Bukannya marah, Alex malah tersenyum bangga. “Berkencan dengan tante-tante akan menjadi pengalaman pertama bagiku. Well, sepertinya seru juga,” jawabnya.

“Dasar kurang ajar.” Bibir Jena berdecih. Dan keduanya kembali menertawakan obrolan mereka.

“Kalau Tante merasa suntuk, tante bisa menjadikanku sebagai teman mengobrol,” ucap Alex lagi.

Jena mengangguk.
“Okay, I will. Bye.” Ia beranjak.
“Bye.” Alex melambaikan tangan. Dan taksi yang ditumpangi Jena mulai berjalan.

Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya  Jena tersenyum-senyum sendiri. Ini untuk kesekian kalinya Alex menenangkan hatinya, entah pemuda itu menyadarinya atau tidak. Yang jelas, ia benar-benar merasa nyaman bersamanya. Ia bisa tertawa, bercanda, saling ejek, saling menggoda, bercerita banyak hal, dan ___ ia lega.

Hanya lega saja. Sudah lama ia tak mengalami hal seperti ini. Sejak ia menikah, sejak ia tak bertemu lagi dengan teman-temannya.

“Pak, berhenti di sini.” Jena meminta sopir taksi berhenti.
"Tapi, Bu___"
“Saya akan turun di sini saja,” ucap Jena lagi. Awalnya sopir taksi tersebut bingung, tapi ia mengiyakan saja permintaan penumpangnya. Setelah menerima ongkos, taksi itu mulai berjalan meninggalkan Jena.

Jena memutuskan untuk berhenti di jembatan Simpang Susun Semanggi.

Perempuan itu melangkah, berdiri di samping jalan. Kedua tangannya mencengkeram pagar pembatas. Temaram lampu membuat hatinya kembali berderak. Ia kembali merenung, bingung.

Air mata perempuan itu menitik satu persatu. Perlahan ia terisak, tanpa menyadari bahwa sebuah SUV mewah telah berhenti tak jauh darinya.

“Sebenarnya apa yang terjadi pada Tante?”

Suara itu nyaris membuat Jena tersentak. Ia menoleh dan menyaksikan Alex telah berdiri tak jauh darinya.

“Alex ...” desisnya bingung.

Alex menatapnya dengan pilu.
“Sebenarnya ada apa dengan Tante? Tante membuatku cemas,” ucapnya.

“Bagaimana kau bisa ada di sini?” Jena bertanya dengan suara parau.

“Aku mengikuti taksi yang membawa Tante.”

Jena tertegun. “Kenapa?” Ia bertanya lirih. Tanpa sibuk menghapus air matanya yang berderaian.

“Aku melihat Tante suntuk. Aku takut terjadi apa-apa. Jadi, aku mengikuti taksi yang membawa tante.” Alex melangkah mendekat.

Tangannya terulur dan jemarinya menyeka air mata di pipi Jena dengan lembut.

Jena mematung. Ia tak menghindar sentuhan lembut jemari Alex.

Ia juga tak menghindar ketika pemuda itu meremas bahunya, lalu menarik ia ke dalam pelukannya. Ia merasakan tangan Alex mengelus punggungnya dengan lembut. Ia mendengar pemuda itu membisikkan kata-kata menenangkan.

Seketika tangis Jena kembali pecah.
Perempuan itu terisak dengan hebat.

Sudah lama ia tak melakukannya.
Sudah lama tak ada yang memeluknya seerat ini.
Sudah lama tak ada yang mengelus punggungnya, membelai kepalanya, dan membisikkan kata-kata hangat seperti ini.

Sudah lama ia tak punya tempat untuk berkeluh kesah, atau sekadar menumpahkan isak tangis.

Dan sudah lama tak ada seseorang yang sekedar meminjamkan bahu untuk ia bersandar. Melepaskan rasa letih.

Dan untuk suatu alasan yang tak Alex ketahui, melihat perempuan rapuh yang tengah terisak di dekapannya, hatinya ikut terluka.

****

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro