06.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Alex asyik mengawasi Jena yang tengah sibuk melihat-lihat novel di rak. Menyaksikan bagaimana perempuan itu berpindah tempat dari lorong yang satu ke lorong yang lain dengan antusias, menyaksikan bagaimana bibir mungilnya bergerak-gerak membaca tiap judul buku, menyaksikan jemari lentiknya menyusuri benda tersebut, dan bagaimana mata beningnya berbinar ceria, hati Alex ikut bahagia.

Pemuda itu tertegun. Apakah definisi bahagia bisa sesederhana ini?

"Boleh kupinjam yang ini?" Jena bertanya antusias seraya menunjukkan novel Arthur Conan Doyle.

"Boleh. Tapi untuk dibaca di sini. Tidak untuk dibawa pulang." Alex menjawab tegas.

"Kenapa?"

"Aku takut buku itu hilang."

"Aku bisa merawat barang pinjaman dengan baik. Kau pikir aku anak kecil?" Jena sewot.

"Pokoknya tidak, Tante. Membawa buku itu keluar ruangan adalah larangan. Buku-buku ini hanya untuk dibaca di sini," jelas Alex lagi.

Bibir Jena berdecih. "Ini bukan modus, kan?" ucapnya.

"Modus apa?"

"Modus agar aku bisa sering datang kemari?" Jena menerka.

Alex terbahak. "Akan sangat menyenangkan sekali kalau tante bisa sering datang ke sini," jawabnya kemudian.

"Pasti modus ini juga kau gunakan pada Rachel agar ia bisa sering kemari, kan?" Jena berujar lagi, ketus. Antara sikap yang sedikit kurang ajar dan kesal karena keinginannya meminjam buku tak terkabul.

"Rachel tak suka membaca." Alex menjawab cepat.

Jemari Jena yang tadinya sibuk mengembalikan buku-buku yang ia pegang ke rak, terhenti sejenak. "Kok bisa?"

"Ya bisa lah," sahut Alex. "Memang ia tak terlalu suka membaca," lanjutnya.

Faktanya, Rachel memang tak suka membaca. Ia bahkan tak suka memakan masakan Alex, walau Alex gemar memasak dan hasilnya selalu lezat. Dan sebetulnya, banyak juga hobi mereka yang tak seide.

Kenyataan ini sempat membuat Alex tersenyum getir. Jadi apa sebenarnya yang membuat ia jatuh hati pada sosok Rachel? Jatuh bangun mengejar cintanya bahkan menoleransi setiap perbedaan di antara mereka yang ujung-ujungnya selalu saja menyebabkan pertengkaran.

Karena Rachel ... cantik?
Karena Rachel populer di kampus?
Atau mungkin karena Alex belum menemukan perempuan yang benar-benar membuat dunianya jungkir balik?
Atau ... entah.

"Al, yang ini saja ya?"

Panggilan itu laksana semilir angin yang menerpa wajah Alex. Lembut, menggoda.

Al ...

Tante tadi memanggilnya ... Al?

Jujur, ini untuk pertama kalinya seseorang memanggilnya 'Al'. Dan kenapa tiba-tiba perempuan ini memanggilnya begitu?
Ini terdengar sok akrab, dan ... intim.

"Oke, yang itu saja." Alex menyahut.

"Kau yakin? Maksudmu yang ini boleh kubawa pulang?" Jena menunjukkan sebuah buku di tangannya. Kali ini kumpulan puisi dari Edgar Allan Poe.

"Bukan." Alex berdehem. "Maksudku, panggilan yang itu tadi. Aku suka."

Jena menatap pemuda di hadapannya, bengong.

"Al. Tadi tante memanggilku begitu, kan? Panggil aku dengan itu saja. Aku suka." Alex menyeringai lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Dan ketika pemuda itu berbalik meninggalkan ruang perpustakaan dengan wajah merona, Jena tetap bengong di tempatnya.

°°°

Jena menolak tawaran Alex untuk mengantarkannya pulang dan memilih untuk kembali ke rumahnya dengan naik taksi. Walau ia tetap tak berhasil membawa pulang satu pun buku dari apartemennya, tetap saja ia senang. Alex sudah banyak membantunya kemarin malam dan ia tidak ingin merepotkannya lagi.

"Apakah Ibu baik-baik saja?" Bibi Yaya menyambut Jena dengan wajah khawatir ketika perempuan itu telah sampai ke rumah.

"Kemarin saya menelpon Ibu ternyata Ibu ada di rumah Mas Alex," ujar perempuan setengah baya tersebut.

Jena tersenyum.
"Aku tidak apa-apa, Bi. Aku berkunjung ke rumahnya dan menginap di sana. Aku tahu ini terdengar tidak pantas karena seorang wanita yang telah menikah menginap di rumah seorang pria yang bukan suaminya. Tapi percayalah, kami hanya teman, dan aku mengunjunginya sebagai teman. Tidak terjadi ada-apa di antara kami. Kuharap Bibi tidak berpikir yang macam-macam," jawab Jena.

"Saya percaya dengan Ibu dan juga Mas Alex. Hanya saja, saya harap ibu tidak terlalu sering datang ke sana karena jika sampai ada orang lain yang tahu, saya takut orang lain akan salah paham. Dan ibu akan ada dalam masalah," ucap Bi Yaya lagi.

Jena tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Bi. Bibi tidak perlu khawatir," jawabnya.

Kenyataannya, sejak saat itu, Jena sering datang menemui Alex di apartemennya.

Entah hanya sekadar berkunjung, mengobrol, mencoba menu baru yang dibuatkan Alex, membaca buku, atau menonton DVD film.

Mereka juga sering bertemu di luar. Hunting buku, makan atau nongkrong di warung pinggir jalan, atau sekadar melepas lelah dan mengobrol di taman kota.

Yang jelas, Jena merasa nyaman bersama Alex. Lambat laun, mereka benar-benar menjadi sahabat baik.

***

Alex baru saja kembali dari rumah ayahnya dan hendak mengambil air minum ketika ponselnya berbunyi dan sebuah pesan bertambah di kotak masuk.

[Kita harus bicara.]
Dari Rachel.

Alex tercenung sesaat sebelum akhirnya membalas pesan tersebut.

[Datanglah ke apartemenku.] Balasnya.

Sekitar 20 menit kemudian, seorang perempuan cantik datang ke apartemennya.

"Masuklah." Alex menyilakan Rachel masuk. Keduanya duduk di kursi yang berseberangan. Suasana canggung.

"Aku tidak mengganggu, kan?" Rachel membuka suara.

Alex menggeleng. "Apa yang ingin kau bicarakan?"

Rachel tak segera menjawab. "Aku ..." Ia urung melanjutkan kalimatnya.

"Sebentar, akan kubuatkan minum dulu." Alex beranjak ke dapur dan membuatkan secangkir lemon tea hangat. "Minumlah." Ia meletakkan secangkir lemon tea hangat tersebut di depan Rachel.

Perempuan itu menatap cangkir teh tersebut dengan keheranan.

"Kau membuatkanku ... lemon tea?" Ia mengernyitkan dahinya.

Sekian detik kemudian, Alex tersentak. Ia seakan baru tersadar bahwa Rachel tidak minum teh, kopi atau bahkan lemon tea! Perempuan itu selalu lebih suka minum air putih.

Dan ... lemon tea adalah minuman kesukaan Jena!

"Kita tidak berkomunikasi selama beberapa bulan dan kau telah melupakan kebiasaanku?" Rachel terkekeh.

"Sorry." Alex hanya menjawab singkat seraya berbalik dan mengambilkan perempuan itu segelas air putih.

"Kenapa kita berubah formal seperti ini?" Pertanyaan Rachel seakan mengingatkan Alex tentang hubungan mereka. Lelaki jangkung itu mendesah dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Well, apa yang harus kita bicarakan lagi?" ujarnya. Terdengar letih.

Rachel menggigit bibir sejenak sebelum menjawab, "Aku ingin minta maaf atas kesalahanpahaman yang telah kubuat, Lex."

"Maaf?" Alex menumpukan kedua lengannya di lutut.

"Waktu itu aku benar-benar dibakar cemburu. Aku tidak pernah memberimu kesempatan untuk menjelaskan. Tapi aku sudah mencari tahu bahwa perempuan itu memang benar-benar teman masa kuliahmu." Rachel berujar panjang lebar.

Alex menyipitkan matanya.
"Mencari tahu? Kau memata-mataiku?" Ia berujar tak percaya.

Rachel tergagap.
"Tidak, bukan itu maksudku. Hanya saja, aku harus mencari tahu kebenarannya."

"Tanpa mempercayai kata-kata yang keluar dari mulutku?" Dan Alex terlihat makin kesal.

"Bukan begitu, Lex. Tapi ..."

"Rachel, sampai kapan kau bisa mempercayaiku?"

"Aku selalu berusaha mempercayaimu."

"Tapi kau tidak pernah betul-betul melakukannya. Kau lebih percaya mata-matamu daripada aku."

"Tidak, aku tidak pernah seperti itu." Rachel nyaris berteriak.

"Lantas?"

Keduanya bersitegang.

Alex lagi-lagi mengembuskan napasnya dengan lelah.
"Sudahlan, Rachel. Cukup. Sebaiknya kita hentikan saja semuanya. Jangan saling menyakiti lagi."

"Maksudmu?"

"Aku menerima keputusanmu untuk berpisah denganmu."

"Aku tidak pernah memintamu untuk berpisah denganku! Aku hanya butuh waktu sejenak untuk menenangkan diri!" Dan Kali ini perempuan itu benar-benar berteriak.

Keduanya berpandangan. Air mata Rachel menitik. Sebenarnya Alex tak tega, tapi ia tak ingin semuanya berlarut-larut tanpa kepastian.

"Rachel ..." Ia memanggil lembut. "Kau selalu sulit mempercayaiku sebagai laki-laki dan juga kekasihmu. Dan kau akan semakin sakit hati bila melihatku punya begitu banyak teman wanita. Jadi, aku tak mau menyakitimu lagi. Kuharap kita bisa kembali menjadi teman, seperti dulu. Itu adalah jalan terbaik buat kita," ucapnya pasrah.

"Apakah kita tidak bisa memulainya dari awal lagi?" Suara Rachel serak.

Alex menggeleng. Ketika perempuan di hadapannya terisak, Alex tak beringsut dari kursinya, tak pula berusaha memeluk atau sekadar menenangkannya.
Tidak.
Baginya sudah cukup.

"Maafkan aku, Rachel. Kita takkan bisa bersama lagi," ujarnya pelan.

***

Jena menatap Andrew dengan nanar.
Tiba-tiba saja lelaki itu pulang, tanpa pemberitahuan, tanpa Alea.

"Malam nanti, salah satu rekan bisnisku mengadakan sebuah pesta dan kita diminta untuk datang ke sana. Selain itu, ada beberapa hal yang harus kami bicarakan berkaitan dengan kerja sama di perusahaan kami," ucap Andrew santai. Tanpa memahami kemarahan pada diri istrinya.

"Itukah sebabnya kau jauh-jauh datang dari Pittsburgh ke sini? Untuk mengurusi bisnismu?" Jena menatap suaminya dengan tajam. Andrew mengangguk santai.

"Dan tanpa Alea?"

"Ibuku masih sangat merindukannya. Jadi aku batal membawanya pulang." Pria itu meletakkan tas sembari melonggarkan dasi.

"Kau mengatakan hanya sekitar tiga minggu. Tapi ini sudah lebih dari satu bulan?! " Jena berteriak.

Andrew berbalik. "Well, itu di luar kuasaku. Pekerjaan menumpuk dan aku belum sempat melakukan perjalanan pulang ke Jakarta. Kau tak perlu secemas itu. Alea aman bersama neneknya. Banyak babysitter berpengalaman yang mengurusinya. Lagipula besok pagi aku juga sudah balik lagi ke Pittsburgh." Andrew kembali menjawab enteng.

Jena nyaris saja menghambur ke arah pria itu, menarik kerah bajunya, menampar wajah, atau apa saja.

"Pernahkah kau memutuskan sesuatu dengan membicarakannya terlebih dulu denganku? Kau anggap aku ini apa?" Ia mendesis lelah.

Andrew memutar matanya kesal. "Jena, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Pertemuan nanti malam sangat penting buatku dan aku tidak ingin mood-ku terganggu dengan rengekkanmu. Aku ingin istirahat dulu." Lelaki berlalu dari hadapan Jena.

Wanita itu menggigit bibirnya menahan amarah.
Air matanya berjatuhan tanpa mampu ia bendung.

***

Tanpa mampu menolak, akhirnya Jena tetap menuruti keinginan Andrew untuk menghadiri undangan pesta di rumah kolega bisnisnya.

Selama dalam pesta, Jena tak banyak melakukan interaksi dengan orang-orang yang ia temui di sana. Ia lebih memilih tinggal di samping suaminya dan membiarkan pria itu memperkenalkan dirinya pada kolega-koleganya yang lain.

Setelah Andrew asyik berbincang dengan rekan-rekan bisnisnya, Jena memilih beringsut ke meja yang berada paling ujung dan berpura-pura menikmati makanannya.

Ia tak menyadari bahwa tak jauh darinya sepasang mata teduh tengah menatapnya dengan takjub.

Perlahan, pemilik mata teduh itu beranjak dan diam-diam duduk di kursi di samping Jena.

"Bosan ya?" Suara itu lembut.

Jena menoleh. Ia tersentak. "Al?" Ia nyaris berteriak.

"Astaga, untuk apa kau di sini?" Mata Jena berbinar. Pemuda di hadapannya terlihat begitu berbeda. Ia yang biasanya mengenakan pakaian kasual, sekarang tampak jauh lebih dewasa dengan stelan jas resmi. Pemuda itu juga makin terlihat menawan.

Alex terkikik.
"Untuk apa? Tante, ini rumahku. Tentu saja aku di sini sebagi tuan rumah," jawabnya.

Jena nyaris tersedak.
"What?!"

"Orang yang mengadakan pesta ini adalah ayahku. Jadi, aku juga tuan rumah di sini," jawab Alex lagi.

Jena melongo, terlihat tak percaya.

Alex kembali terkekeh lalu mengangguk. "Serius. Dia ayahku, ayah kandungku," lanjutnya.

Dan Jena kembali melongo hingga membuat Alex - tanpa sadar menyentuh dagunya dengan gemas.

"Beberapa hari tak ketemu, and I miss you, Tante," ucapnya tengil.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro