07.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Jadi serius ini rumahmu?" Jena memastikan sembari menghalau tangan Alex dari dagunya. Pemuda itu tersenyum lebar lalu mengangguk.

“Tante ingin pergi ke teras? Jujur, aku juga bosan dengan pesta seperti ini.” Dan tanpa menunggu jawaban Jena, Alex bangkit lalu menarik tangan perempuan itu dan mengajaknya ke luar ruangan, menuju teras.

“Jadi, suami tante ke sini tanpa membawa Alea?” Alex bertanya dengan penuh keheranan setelah mendengar sekelumit cerita  dari Jena.

“Kenapa begitu?”

Jena bersedekap lalu mengangkat bahu. “Ibu mertuaku masih terlalu merindukannya. Lagipula, besok pagi suamiku juga harus segera kembali ke sana karena ia banyak pekerjaan,” jawabnya.

“Secepat itu?”

Jena tersenyum kecut dan mengangguk. Ia menatap pemuda di sampingnya dengan sedikit jengkel.

“Ngomong-ngomong, Al, kenapa kau tidak bilang bahwa kau adalah anak tunggal seorang pengusaha kaya? Aku tahu ayahmu. Dia pemilik beberapa perusahaan terkemuka di sini. Aku pernah bertemu dengannya ketika suamiku mengajakku menghadiri acara makan malam dengan kolega bisnisnya, beberapa waktu yang lalu,” ucap Jena lagi.

Alex terkekeh santai. “Sudah. Aku sudah bilang pada tante ‘kan kalau aku adalah tuan muda kaya raya yang baik hati dan tidak sombong,” jawabnya.

“Dan pewaris tunggal sebuah kerajaan bisnis di negara kita.” Jena menambahkan.

Alex kembali tertawa.
“Well, kan aku tadi sudah bilang bahwa aku tidak sombong. Jadi aku tidak akan koar-koar bahwa aku memang tampan, kaya, mapan, menyenangkan, amat menyenangkan, baik hati, sopan dan ...”

“Stop.” Jena ikut terkekeh. “Aku mau muntah,” ia malah tertawa.

Alex ikut tertawa dan menatap perempuan di hadapannya dengan takjub.

“Ah, senang rasanya melihat tante tertawa lagi,” gumamnya.

Jena mengernyitkan dahinya.
“Lagi? Apa sedari tadi aku tidak tertawa?”

“Tidak,” jawab Alex cepat.

“Bagaimana kau tahu? Apa kau memata-mataiku?” Perempuan itu kembali bertanya.

“Sejak datang ke sini sekitar satu jam yang lalu tante hanya tersenyum. Itu pun tak tulus.”

Mata Jena mengerjap.
“Nah ‘kan? Kau mengawasiku?”

Alex tertawa.
“Tante, aku tuan rumah di sini. Jadi aku harus tahu tamuku datang jam berapa dan apa saja yang mereka lakukan.” Ia membela diri.
Bibir Jena berdecih. "Modus," ujarnya.

“Tapi, terima kasih karena kehadiran tante aku jadi sedikit terhibur. Jujur, aku selalu tak suka dengan pesta semacam ini. Asal Tante tahu, malam ini aku datang ke sini karena berada di bawah ancaman ayahku. Beliau bilang, kalau aku tak datang, maka namaku akan dicoret dari kartu keluarga.” Alex setengah berbisik.

Jena terbahak.

"Ngomong-ngomong, aku ingin bertemu dan berkenalan langsung dengan suami Tante." Melalui pintu kaca, Alex mengedarkan pandangan ke dalam hall. Sosok yang ia cari ada di ujung ruangan, tampak mengobrol santai dengan beberapa orang.

“Dengan siapa? Suamiku?” Jena memastikan bingung.
"Hm," sahut Alex.
“Untuk apa?”
“Ya ... sekedar mengobrol saja,” jawabnya. Tanpa menatap Jena, lirih ia sempat berujar, "Aku ingin tahu lelaki macam apa yang tega membuatmu menangis sepanjang malam."

"Kau bilang apa?"

Mendapat pertanyaan tersebut, Alex tergagap. Buru-buru ia menatap Jena lalu menggeleng. “Ah, tidak. Aku ingin ke dalam mengambil minum. Tante ingin kuambilkan?” Ia bangkit.

Jena mengangguk. “Ambilkan aku---”

“Lemon tea, kan?”  Alex memotong. Perempuan di hadapannya tersenyum dan mengangguk.

***

Selama dalam perjalanan pulang dari pesta yang diadakan di rumah Alex, Andrew tak membuka suara. Jena yakin, ada sesuatu yang mengganggu pikiran lelaki itu.

“Ada yang harus kita bicarakan.” Andrew melepas tuxedonya dan melemparkannya ke sofa.

“Bisakah kita bicarakan besok saja. Aku lelah sekali hari ini.” Jena berlalu.

“Untuk apa kau ikut diklat jurnalistik?”

Kalimat itu membuat Jena tersentak. Ia urung melangkahkan kakinya ke kamar. Serta merta kedua matanya bersitatap dengan sang suami. Raut muka Andrew sudah terlihat campur aduk.

“Kau kaget karena aku mengetahuinya? Ya, aku beruntung sekali karena seseorang memberitahuku sebuah kebenaran,” ucap lelaki itu.

“Siapa yang memberitahumu?” Jena menatap suaminya dengan tegas.

Rahang Andrew kaku. “Aku juga tak menyangka bahwa aku akan bertemu wartawan lokal yang ternyata pernah ikut Diklat Jurnalistik denganmu," ucapnya.
"Astaga, Jena ..." Pria itu mondar mandir sambil mengacak rambutnya yang rapi.
Terlihat bahwa ia sedang menahan amarah.

“Kalau aku memberitahumu kau pasti tidak mengijinkanku, kan?” Kali ini Jena berusaha memberi perlawanan.

“Memang tidak. Tapi bukan berarti kau bisa mencuri-curi kesempatan seperti seorang kriminal.”

“Aku tidak melakukan tindakan kriminal!” Jena berteriak.

“Kau membohongiku! Kau juga sudah melanggar peraturanku! Apa sekarang kau juga sedang berancang-ancang menjadi seorang penulis? Menjadi seorang wanita karir seperti cita-citamu?”

“Tidak, aku tidak pernah melakukannya!”

“Lantas, apa lagi yang kau lakukan di belakangku? Apa kau juga pergi ke tempat-tempat lain tanpa melapor padaku, huh?” Bibir Andrew berdecih sinis.

Jena menelan ludah.

“Aku yang menentukan ke mana kau boleh pergi, kapan, apa dan dengan siapa!” Kali ini Andrew kembali berteriak.

“Kenapa kau lakukan ini padaku? Sebenarnya kau anggap aku ini siapa?!” Jena juga ikut berteriak.

Andrew mengernyitkan dahinya. Tak mengira akan menerima perlawanan  semacam ini.

“Kau anggap aku ini siapa? Apakah kau pernah menganggap aku sebagai istrimu?”

“Bicara apa kau ini? Tentu saja aku menganggapmu sebagai istriku,” ucap Andrew.

“Lalu kenapa kau perlakukan aku seperti orang asing?” Jena berucap getir.

“Apa kau lupa? Semua fasilitas yang kau nikmati selama ini adalah punyaku. Jadi, aku berhak mengaturmu.” Lelaki itu mendesis. “Dan aku berubah pikiran soal Alea. Dia akan tinggal di Amerika lebih lama. Itu sebagai hukumanmu karena kau telah melanggar kesepakatan kita.” Ia beranjak.

"KAU TAK BISA MELAKUKAN INI PADAKU!" Jena menjerit.

"AKU BISA!" Napas Andrew memburu menahan amarah. "Mengingat dosamu padaku, aku bisa melakukan apapun semauku." Giginya terkatup.

“Aku akan tidur di hotel. Besok pagi-pagi sekali aku akan kembali ke Amerika.” Pria itu menambahkan tanpa melihat ke arah istrinya.

Jena menelan ludah. Ia terhuyung dan terduduk lemas di kursi. Air matanya berderaian.

***

“Selamat malam, Tuan Muda. Sudah siap mengambil alih perusahaan ayahmu?”

Om John menepuk pundak Alex lalu duduk di samping keponakannya yang tengah asyik memainkan stick play station.

Alex tersenyum.
“Tidak, Om. Aku belum siap sama sekali. Aku masih ingin bersenang-senang dan menikmati hidup,” jawabnya tanpa melihat ke arah  Om John. Lelaki itu tertawa.

“Bekerja di perusahaan sepertinya akan membuatku tersiksa.” Alex kembali berujar, setengah menggerutu.

“Lantas, apa yang ingin kau lakukan? Bukankah kau sudah memegang gelar sarjana?” Om John merebahkan punggungnya di sandaran.

Alex mengangkat bahu cuek. “Entahlah, Om. Aku juga belum memikirkannya. Yang jelas aku belum siap bekerja di perusahaan ... setidaknya dalam waktu dekat ini.”

Om John manggut-manggut.
“Oh iya, di pesta tadi aku melihatmu berbicara akrab dengan Jena. Apa kalian berteman?”

Alex menghentikan jemarinya memencet tombol stick play station. Ia menatap Om-nya dengan heran.
“Jena? Om kenal?”

Om John tertawa.
“Jena Maer. Tentu saja aku mengenalnya. Dulu dia adalah primadona di kampusku.”

Alex terhenyak.
“Kampus? Apa dulu Om satu kampus dengan tante --- maksudku, Jena.”

Om John mengangguk hingga membuat Alex meletakkan stick play station lalu memutar tubuh ke arahnya.
“Wah, ini benar-benar tidak terduga. Aku tidak menyangka bahwa Om pernah satu kampus dengan tan --- maksudku, dengan dia, Jena.” Kedua bola mata Alex berbinar ketika bibirnya menyebut nama Jena.

“Apa om dan dia saling mengenal dengan baik?” Pemuda itu tak bisa menyembunyikan ketertarikannya untuk terus bertanya.

Om John mengangkat bahu.
“Well, sebenarnya tidak juga karena kami berbeda Fakultas. Tapi waktu itu dia begitu populer hingga membuat banyak orang mengenalinya.”

“Populer?”

Om John mengangguk.
“Dia luar biasa cantik. Dia baik, ramah, pembawaannya begitu tenang dan menyenangkan. Banyak pria yang terpesona dan tergila-gila padanya---”

“Sudah kuduga.” Alex menggumam.

“Aku ingat bahwa ada begitu banyak pria yang berusaha menarik perhatiannya dan mencuri hatinya.”

“Termasuk Om?” Alex memotong.

“Mmm ... ya, termasuk aku.” Lelaki itu tertawa. “Kuharap kau tidak mengatakannya pada tantemu.” Ia berbisik hingga membuat Alex tertawa.

“Sayangnya dia membuat banyak pria patah hati ketika ia memutuskan menikahi seorang putra konglomerat bernama Andrew Wijaya. Dari desas desus yang kudengar, mereka dijodohkan.”

Alex mengernyitkan dahinya.

“Dijodohkan?”

Om John mengangguk.
“Well, hanya desas desus lho. Lagipula, sepertinya pernikahan mereka berjalan dengan bahagia.”

Alex manggut-manggut.

“Lex, ceritakan padaku bagaimana kau bisa mengenalnya?”

Kali ini pemuda berhidung mancung itu tersenyum. “Panjang ceritanya, Om. Kami bertemu secara tidak sengaja dan sekarang kami berteman baik.” Ia bangkit.
“Aku akan pulang ke apartemenku,” ucapnya.

“Kenapa kau tidak tidur di sini? Ini ‘kan juga rumahmu?”

“Tidak, aku lebih nyaman tidur di apartemenku. Sendirian," sahut Alex. Ia meraih kunci mobil di atas meja.

"Oh iya, aku tak melihat Rachel. Kau tak mengundangnya?"

"Kami sudah putus." Alex menjawab cepat. Dan sebelum Om John bertanya lebih lanjut, ia beranjak menuju ruang kerja ayahnya untuk berpamitan, lalu pulang.

***

Alex mengernyitkan dahi bingung ketika melihat Jena berdiri di depan pintu apartemennya.

Jam baru menunjukkan pukul 6.10 dan ia baru saja bangun tidur. Bahkan pemuda itu masih mengenakan baju tidur dengan rambut acak-acakan.

Menyaksikan wajah Jena yang pucat tak tersapu Make Up, menatap bibirnya yang gemetar dan tatapannya yang sarat luka, Alex bisa menebak bahwa telah terjadi hal buruk pada perempuan itu.

“Astaga, Tante, ada apa?” Alex menyapa cemas.

Jena terlihat menelan ludah dengan susah.
"Al ..." Suaranya serak.
"Rumahku hampa, aku mimpi buruk sepanjang malam. Aku bingung harus ke mana. Bibi pulang kampung dan aku ..."

Alex menatap perempuan pilu. "Ayo, masuk." Ia meraih tangan Jena, menggenggamnya lembut, lalu mengajaknya ke ruang tengah.
Dengan sabar ia membimbingnya untuk duduk di sofa.

"Akan kubuatkan minuman hangat." Alex bergegas. Ia ke kamar mandi sejenak untuk membasuh muka dan berganti baju, lalu segera melesat ke dapur. Ketika ia sedang sibuk membuat Lemon Tea, ia menyaksikan Jena duduk dengan rapuh di sofa. Kedua telapak tangan ia gunakan untuk menutup muka, dan ia lihat kedua bahunya terguncang hebat.

Perempuan itu menangis.

°°°

Membiarkan Jena puas menangis adalah satu-satunya yang mampu Alex lakukan.
Ia dengan sabar menungguinya hingga tenang. Ia juga dengan sabar membujuknya untuk mau sarapan.

"Maaf, aku terpaksa merepotkanmu lagi." Jena berujar setelah keadaannya tenang. Ia tersenyum getir.

Alex ikut tersenyum kaku. "Aku siap mendengarkan jika tante sudah bersedia berbagai cerita tentang apa yang sebenarnya terjadi," jawabnya.

Jena mengangkat bahu lalu menggeleng. "Belum," jawabnya. "Tapi aku pasti akan menceritakannya jika sudah siap," lanjutnya.

Alex tersenyum lembut lalu mengangguk.

Jena tengah menikmati lemon tea hangatnya ketika pemuda itu menyodorkan sebuah kunci ke arahnya.

Ia menatap kunci yang tergeletak di meja dengan keheranan.
“Apa ini?” tanyanya.

“Ini kunci duplikat apartemenku, Tante. Aku sengaja memberikannya pada tante agar tante bisa datang ke sini kapan pun Tante mau tanpa harus menungguku. Jika tante merasa suntuk, ingin membaca buku, ingin menulis atau bahkan mengobrol denganku jika aku ada.”

Jena tertegun. Ia meletakkan cangkir lemon tea-nya dengan perlahan lalu menatap Alex dengan lekat.

“Al, sebenarnya apa yang terjadi dengan kita? Apa yang kau inginkan? Kau membantuku dalam banyak hal, kau juga memberikan dukungan ketika aku sedang down, kau juga mau mendengarkan tangisku. Dan sekarang, kau memberiku kunci apartemenmu? Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu?”

Alex terdiam. Ia balas menatap Jena dengan lekat.

“Katakan padaku tentang perasaanmu, Al. Apa kita benar-benar menjadi sahabat? Sekedar sahabat? Ataukah ... lebih dari itu?”

Alex tak segera menjawab. Ia menarik napas lalu mulai berkata, “Apa yang Tante rasakan? Apakah Tante merasa nyaman di sini? Bersamaku? Apakah Tante merasa lega setelah berbagi cerita denganku? Apakah tante merasa aman dan terlindungi setelah menangis di bahuku? Dan apakah tante merasa bahagia ketika kita melewatkan waktu bersama-sama? Kalau jawaban tante iya, aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang perasaanku karena sepertinya kita merasakan hal yang sama.”

Jena terhenyak. Uraian kalimat yang keluar dari bibir Alex membuat dadanya bergemuruh dengan hebat. Ia gemetar karena apa yang dikatakan pemuda itu semuanya benar. 

Ya, ia merasa nyaman di sini, bersama Alex.
Ia merasa lega setelah berbagi cerita dengannya.
Ia merasa aman dan terlindungi ketika telah menumpahkan semua isak tangis.

Dan yang pasti, semenjak mengenal Alex dan menghabiskan banyak waktu bersamanya, ia merasa ... bahagia.

“Tante ingin tahu apa yang kuinginkan?”

Jena belum sempat berkata apa-apa ketika tiba-tiba Alex beranjak dari kursinya, meraih pinggangnya yang ramping lalu membawa ke dekapannya.

“Inilah yang kuinginkan. Aku ingin lebih dekat dengan Tante.” Dan pemuda itu mempertemukan bibirnya dengan bibir Jena.
Ringan.

***

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro