4. Never Enough

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang ada dalam pikiranku saat menyerahkan diri pada Jorey?

Hanya satu, aku menginginkannya.

Alasan itu ditambah dengan suasana yang sangat mendukung, status kami yang sama-sama single, juga usiaku yang kerap dirongrong keluarga untuk segera menikah. Ditambah dengan lancarnya komunikasi kami yang persis seperti jalanan Jakarta di puncak hari Lebaran, aku mulai berhalusinasi dengan masa depan yang bahagia dengannya.

Lantas ... apa yang ada dalam pikiranku saat Jorey dan Nabila menjemputku di bandara sepulang dari London?

Hanya satu, penyesalan.

Mendadak aku meragukan kepintaranku. Semua orang menyanjung karena aku bisa menyabet gelar dokter spesialis di usia 29 tahun, tapi bagaimana bisa aku begitu bodoh untuk membedakan cinta dan nafsu? Okelah, aku cukup tahu perasaanku untuk Jorey adalah cinta, tapi, aku terlalu gegabah dalam mengartikan perasaan Jorey. Dia tidak pernah mencintaiku.

Karena kalau dia mencintaiku, kami tidak akan ada dalam posisi ini kan? Sebagai mantan.

Aku tersenyum lebar saat Nabila berlari menyongsong dan masuk ke dalam pelukanku. Selagi aku menciumi wajah putri kecilku itu, ekor mataku tidak luput dari pemandangan saat Jorey mengacungkan jari tengahnya ke arah Fuad. Sahabatku itu segera membalasnya dengan hal yang sama.

Aku sempat khawatir Nabila akan melihat dan menanyakan arti simbol jari tengah yang saling mengacung itu, syukurnya keduanya menurunkan tangan ketika seorang pramugari cantik menyapa dan menggandeng tangan Fuad. Oh ya, sahabatku yang satu ini memang punya banyak koleksi teman wanita. Yang satu ini pasti salah satu di antaranya.

Sebelum pamit, Fuad menyerahkan oleh-olehnya untuk Nabila.

"Untuk princess yang paling cantik, Om hadiahkan sepatu kaca," kata Fuad saat mengangsurkan sepatu yang dibelinya khusus untuk Nabila dari London.

"Yeaay!!! Makasih, Om!" Nabila bersorak girang, sebelum menempelkan bibirnya di pipi Fuad. Hati-hati Nabila memilih area pipi yang tidak ditumbuhi brewok.

Maka dengan usilnya, Fuad malah memeluk Nabila dan menggesekkan rahangnya yang penuh rambut halus ke pipi Nabila. "RAAWWWRRR!!!" katanya menirukan suara singa, membuat Nabila terkikik geli.

Setelah Fuad pergi bersama sang pramugari, Nabila berpindah ke pelukan Ben.

Ben segera menggendong Nabila ke dalam pelukan, dan mengusap-usap rambutnya penuh sayang. Jorey yang masih berdiri di sampingku melotot tajam melihat pemandangan itu.

Aku bahkan sempat melihat bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara untuk memaki Ben. "Anjing!"

Ben jelas melihat gerakan bibir itu, tapi dia hanya menanggapinya dengan tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Seolah tahu cara membalas yang paling benar, Ben mengintrogasi Nabila.

"Kangen nggak sama Om?"

"Banget!"

"Kalau kangen ciumnya mana dong?"

Nabila segera menghadiahi Ben dengan ciuman. Ke setiap bagian wajah yang disodorkan Ben. Mulai dari pipi kiri, pipi kanan, dagu, kening dan terakhir hidung. Aku segera melirik Jorey untuk melihat reaksinya, dan benar saja, Jorey mengumpat lagi tanpa suara. "Babi!"

Ben malah tergelak semakin hebat. Belum puas mengerjai, Ben menyiram minyak lagi ke api amarah Jorey. "So, kapan nginap di rumah Om lagi?"

Kali ini, tangan Jorey sukses mengepal kuat dan terangkat ke udara.

Cepat membaca situasi, Ben segera memutar tubuhnya. Kalau tadi Nabila membelakangi Jorey, kali ini menjadi sebaliknya. Jorey sontak mengembangkan kepalan tangan, sebelum mengepalnya lagi, kemudian mengembangkannya lagi. Begitu terus, seolah dia sedang olah raga tangan.

Merasa menang, Ben tergelak lagi, sambil mencium pipi Nabila.

Dengan napas terembus kasar, Jorey menarik Nabila dari gendongan Ben. "Nabila ngapain nginap di rumah Om Ben?"

Dengan polosnya Nabila menjawab, "Kalau Mama operasi dan Bu Jamilah lagi pulang kampung, Bila kan dititip di rumahnya Om Ben, Pa. Asik tahu, di rumah Om Ben banyak ice cream!"

"Oh iya? Asik mana sama Papa yang selalu pesenin Baskin Robbins yang cotton candy buat kamu?"

"Asik yang di rumah Om dong ya, kan ice creamnya banyak varian rasa!" sela Ben sebelum Nabila menjawab pertanyaan Jorey.

"Buat apa banyak varian rasa kalau Nabila sukanya yang cotton candy doang?" balas Jorey.

"Ya asik aja gitu, abis makan yang agak asem-asem, bisa diselingi dengan yang manis-manis," sahut Ben lagi.

"Ngapain harus makan yang asem kalau ada yang manis?" Jorey tak mau kalah.

Satu hal yang kupelajari sepanjang berhubungan dengan Jorey, dia tidak pernah suka kedua sahabatku. Terutama Ben. Dulu, saat kutanyakan alasannya, katanya dia benci karena Ben terlalu baik. Dia juga benci karena Ben adalah alasan yang membuatku menyerahkan diri menjadi kekasihnya di masa SMA. Dia juga benci karena hanya aku satu-satunya wanita yang bertahan lama di sisi Ben.

Dulu kupikir itu semua pertanda dia cemburu.

Tapi sekarang aku harus menepis pikiran itu. Karena kalau dia memang cemburu, harusnya dia meyakinkan dan mempertahankanku, bukannya menceraikan aku.

"Sayang, Mama capek!" Aku berseru untuk menghentikan perdebatan kekanak-kanakan Ben dan Jorey. Meminta Nabila turun dari gendongan Jorey, aku berjongkok untuk memberinya pengertian. "Kamu udah bersenang-senang sama Papa kan, seminggu ini? Sekarang waktunya kita pulang ya."

"Kita nggak bisa pulang bertiga?"

Pertanyaan sederhana, tapi selalu sukses mencekat tenggorokanku. "Papa ada kerjaan ke Bali. Kita pulang sama Om Ben aja ya." Aku mendongak, meminta persetujuan Ben yang masih berdiri menjulang di sebelahku.

Dia mengangguk, sebelum ikut berjongkok untuk membujuk Nabila. "Om ninggalin mobil di parkiran. Bila sama Mama, Om yang anterin aja ya. Gih, pamit sama Papa."

Meski tidak menunjukkannya secara terang-terangan, aku bisa melihat kekecewaan di wajah puteriku. Matanya meredup.

"Pa...," lirihnya.

"Lho, tadi katanya Nabila mau kayak di fotonya Rafathar, makan bareng Mama dan Papa. Nggak jadi?" tanya Jorey penuh semangat.

Mata Nabila benderang kembali. "Emang boleh?"

"Boleh dong, Papa kan berangkatnya besok." Jorey menyeringai, "Kecuali kalau Mama terlalu capek, sih...."

"MA!!! Mama nggak capek kan?"

Melihat binar penuh semangat di kedua bola mata indah itu, bagaimana bisa aku menolak?

Aku menggeleng. "Nggak capek kok. Untuk Nabila, Mama selalu punya energi ekstra." Aku tersenyum. Diam-diam mengusap air mata yang tumpah saat Nabila kembali memeluk Jorey. Miris rasanya ketika untuk membahagiakan anak aku harus menyiksa diri sendiri.

Terus terang sampai sekarang aku masih kesulitan menghadapi Jorey.

Melihat reaksiku, Ben segera menggenggam tanganku, menguatkan. Memberi isyarat bahwa dia mendukung keputusanku.

⭐⭐

Gaizzz, aku tahu banget menunggu itu nggak enak, tp aku beneran lagi rempong 😩😩

Lagi pindah2an rumah nih. Mendadak berotot, mana lagi ngga ada ART lagii 😭😭😭

Jadi drpada aku janji2 ngga bisa ditepati, aku izin slow update dl yaa... 🙏🙏🙏

Thnkyouuu ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro