5. The Dating Drama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Nabila duduk di bangku, sementara Jorey beranjak ke stall untuk memesankan ice cream. Aku sebenarnya masih jetlag. Total delapan belas jam perjalanan dari London lewat Dubai sampai ke Indonesia sama sekali bukan perjalanan mudah. Tapi setiap kali melihat senyum Nabila yang mengembang lebar saat berceloteh dengan Jorey dalam perjalanan menuju tempat ini, kekuatanku muncul begitu saja.

Kutukan seorang ibu: bahagia asalkan anaknya bahagia.

Terlebih bahagia, saat Nabila dengan terampil menepuk-nepuk pundakku, layaknya seorang therapist di tempat spa.

"Pinter banget, anak Mama! Belajar mijat dari mana sih?"

"Dari tempat spa!"

"Lho, tahu dari mana kamu tempat kayak gitu! Mama aja nggak pernah ke tempat-tempat kayak gitu. Adanya juga therapist-nya yang dipanggil ke rumah."

"Kan, semalam Bila spa bareng Tante Friska, Ma! Seru banget! Ada mandi coklatnya lho!" Nabila terdengar riang bercerita, sementara senyumku pudar seketika. "Tapi kata Tante Friska nggak boleh dimakan, Ma! Karena cokelatnya beda! Padahal wangi banget, bikin BIla pengin habisin seisi bath tub."

Jetlag, letih, kecewa, mantan suami, dan mantannya mantan suami merupakan kombinasi yang ingin membuatku meledak sekarang. Mendadak aku ingin marah pada Nabila.

Alih-alih melampiaskan luapan emosi yang sulit kukenali dari dalam tubuhku melalui ocehan, aku malah meraih tangan Nabila dan memintanya untuk berhenti memijat. Di saat yang sama, Jorey menghampiri meja. Tidak hanya dengan ice cream, tapi juga dengan segelas kopi berlabel kopi kenangan.

Dia menyodorkan ice cream ke depan Nabila yang langsung disambut dengan sorak sorai. Sementara gelas kopi disodorkan untukku. Dia sendiri menggenggam gelas yang sama persis dengan yang disodorkannya padaku.

Begitu aku menangkup gelas, tulisan "Kopi Kenangan Mantan" tampak jelas bagai tulisan yang sengaja mengolok-olok di saat yang terlalu tepat. Pemikiran tentang betapa "Mantan" berhasil merusak suasana membuatku enggan meminum isi cairan hitam pekat itu.

"Kamu keliatan capek banget, kamu butuh cafein." Jorey menjelaskan maksudnya saat melihatku urung menenggak minuman, malah meletakkan gelas kembali (dengan tampang jutek maksimal) ke meja.

"Judul minumannya bikin selera minum hilang!" ketusku.

Jorey memandangi tulisan yang ada di gelasnya. "Aku justru suka karena judul minumannya."

Bola mataku berotasi tanpa bisa kukendalikan. "Ya! Nggak heran sih. Karena judul yang ada di dalam minuman ini pernikahan kita berantakan kan?"

Di seberang meja, wajah Jorey mengeras dan memerah, seperti siap untuk meledak sewaktu-waktu. Tapi setelah kutunggu beberapa saat, dia tetap bisu. Sama sekali tidak menyangkal. Lagi pula, apa sih yang kuharapkan? Cerita tentang pernikahan hancur karena dia belum bisa move-on dari saudara sepupunya itu kan seharusnya sudah basi!

Kelarikan pandangan ke arah putri kecilku. Aku hampir lupa dia bisa saja menyaksikan perdebatan singkatku dengan Jorey. Tapi syukurlah Nabila sendiri sedang asik dengan youtube dan ice creamnya, dua hal yang bisa membuat Nabila lupa daratan.

Kusapu rambut halusnya dan kucium pipi lembutnya. Kenapa juga gadis cantik ini harus mengambil begitu banyak bagian dari ayahnya? Matanya yang kecil, kulitnya yang putih, bahkan rambutnya yang hitam dan lurus, semuanya merupakan bagian dari Jorey.

Saat aku mengangkat kepala, Jorey ternyata sudah pindah ke sebelah Nabila.

"Bila ... katanya mau foto bareng!" seru Jorey yang langsung membuat Nabila lupa tentang youtube dan ice creamnya.

"Iya, Pa! Yuk, kita foto bertiga!"

Jorey segera memanjangkan tangannya untuk mengambil foto selfie. Sesuatu yang sebenarnya sangat menjijikkan untukku, tapi tak bisa kuhindari demi Nabila. Tapi Nabila meraih ponsel Jorey dan menggerutu, "Ih, Papa! Pakai filter dong!"

"Filter apa sih?"

Dengan cekatan, layaknya orang dewasa, Nabila mengutak-atik ponsel ayahnya dan berdecak. "Ck! Nggak punya aplikasi kekinian nih, Papa! Pakai hp Bila aja deh!"

Lalu tiba-tiba, gambar kami sudah diabadikan dalam berbagai frame yang ajaib dari ponsel Nabila. Ada gambar yang dilengkapi dengan kupu-kupu beterbangan di sekitar, ada gambar yang membuat kami berubah seperti keluarga panda dengan latar bambu China, ada pula gambar yang membuat kami tampak menyeramkan seperti sedang berpesta holloween.

"Nah, sekarang, kayak foto Rafatar itu ya, Pa!" seru Nabila bersemangat, lalu menjelaskan padaku, "Jadi nanti Bila pegang ice cream di tengah, Mama sama Papa cium pipi kiri dan kanan Bila. Ngerti kan, Ma?"

Oke, sekarang aku harus berlagak seperti murid yang mematuhi perintah ibu guru, maka aku mengangguk.

Dalam hati aku berdoa semoga pose ini akan menjadi foto yang terakhir. Aku sudah terlalu lelah. Selain lelah fisik karena baru saja melewati penerbangan yang panjang, aku juga lelah secara mental. Pikiran tentang mantannya mantan suamiku membuatku ingin mencincang Jorey habis-habisan, tapi aku malah terpaksa tersenyum lebar. Demi Nabila.

"Liat timer-nya ya, Ma, Pa!" Nabila memberi instruksi, seolah sedari tadi kami tidak paham saja. "Pokoknya 3...2...1! Mama dan Papa cium Bila, Oke?"

Aku dan Jorey berseru, "Siap!"

Bila menyentuh tanda capture, timer berjalan.

3 ... sendok ice cream yang dipegangi Nabila jatuh.

2 ... Nabila berjongkok dan memungut sendoknya.

1 ... bibirku dan bibir Jorey bertemu di udara.

Aku terperangah. Membatu. Tak bisa bergerak. Kaget setengah mati. Tidak bisa menguasai jantung yang tiba-tiba berhenti sebelum berdebar gila-gilaan. Disusul, gelenyar aneh yang merambati sekujur tubuh.

Sementara Jorey tampak santai—bahkan, dengan kurang ajarnya—dia membuat bunyi "Cup!" dengan bibirnya.

Sialan!!!

Inginku mengumpat, tapi urung karena Nabila bangkit kembali. Aku terpaksa berdeham keras demi menyamarkan rasa canggung.

"Yah, sendoknya udah berkuman dong," ringis Nabila.

"Sebentar. Biar Mama minta sendok yang baru."

Aku melipir ke stall untuk meminta sendok ganti, sementara Jorey segera menghibur putrinya yang mulai cemberut. Sambil menunggui pramusaji mengganti sendok, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengatur ritme jantungku kembali normal.

Saat aku kembali, ponsel Nabila sudah kembali dalam mode siap untuk mengambil gambar lagi. Dengan semangat yang sudah kembali berkobar, Nabila meminta untuk foto ulang. Oh, andai saja putri kecilku tidak memasang tampang sebahagia itu, aku mungkin sudah akan menolak ide foto ulang ini. Tapi akhirnya, aku kembali memasang senyum lebar, siap untuk berpose. Sialnya, jantungku tidak berdetak sama lagi seperti sewajarnya. Aku bisa melihat Jorey konsisten tersenyum, dengan mata kecilnya terus mengawasiku.

Bahkan, saat sedang berpose di depan kamera pun, aku bisa melihat matanya tertuju padaku. Membuat senyumku tampak aneh, karena bercampur dengan geraman tertahan.

Kenapa pula aku harus salah tingkah seperti ini sih? Sampai-sampai untuk tersenyum natural di depan kamera saja aku kesusahan? Sial! Dia tidak boleh tahu kalau ciuman kecilnya tadi berhasil merusak kinerja tubuhku.

Saat kupikir cobaan sudah berakhir di suapan terakhir ice cream Nabila, ternyata kesialan lainnya menunggu.

Nabila merengek minta masuk Amazone. Dan seperti biasa, sang ayah dengan senang hati mengabulkan permohonannya.

Cara Jorey memperlakukan Nabila kadang membuatku merasa Jorey sebagai suami dan Jorey sebagai ayah adalah dua orang yang berbeda. Dia bisa begitu kasar kepadaku dan teman-temanku, tapi dia sama sekali tidak pernah meninggikan suaranya untuk Nabila.

Lihatlah, dia bahkan lebih mirip teman daripada ayah saat menghabiskan waktu bermain bersama Nabila di area permainan itu. Ajaibnya, dia seketika bisa berubah menjadi ayah yang siaga saat Nabila mulai kelelahan.

Dalam perjalanan menuju area parkir, Nabila sudah tertidur dalam gendongannya.

Tadinya kupikir ini momen yang mengharukan. Kapan lagi aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri saat anakku digendong dengan penuh sayang oleh ayahnya sendiri? Diam-diam aku bahkan mengabadikan momen tersebut dalam ponselku. Terlambat aku menyadari kalau tidurnya Nabila merupakan suatu petaka. Itu artinya aku harus duduk berdua dengan Jorey di kabin depan.

Alamat ribut lagi deh!

Yang dilakukan Jorey sepanjang dua menit pertama adalah mengulum senyum. Aku langsung bisa menebak alasannya. Pasti karena ciuman tak sengaja tadi. Sungguh aku tak habis pikir. Bagaimana bisa dia tampak bahagia? Apa dia tidak memikirkan perasaan Friska?

"Nggak berubah...." Jorey bergumam, sambil mengusap bibirnya dengan ibu jari.

Hey, like, seriuously? Seorang Jorey ingin menggodaku dengan ciuman kecil tadi? "Apanya?" Berusaha keras kukeluarkan suara datar, tanda tidak tergoyahkan.

"Rasanya." Jorey tersenyum kecil sekali lagi. "Masih sama."

Aku mendengkus kuat. "Nggak usah berlagak kayak nggak pernah ciuman lagi deh, Jo!"

Kepala Jorey memutar cepat untuk menyorotku tajam. "Emangnya kamu ciuman sama siapa aja selain sama aku???"

Yak, mulai deh, nge-gas lagi. Well, aku sih nggak pernah ciuman sama siapapun lagi sejak bercerai. Tapi masa dia nggak pernah sih? Sama Friska? Apalagi dengan model Friska yang pecicilan begitu? Mana mungkin nggak pernah nyosor?

Dan semua itu kuucapkan hanya dalam hati. Sementara di depan Jorey, aku membalas dengan bentakan yang sama kuatnya. "Aku nggak harus ceritain kehidupan pribadiku sama kamu juga kan???"

Alih-alih berjalan keluar dari lot, mobil yang dikendarai Jorey bergerak mundur hingga terparkir rapi kembali. "Kamu nggak ngelakuin itu di depan Nabila kan???"

"Jangan gila ya, Jo! Emangnya aku kayak kamu? Yang kalau punya temen deket langsung dipepet-pepetin sama Nabila!"

"Kamu nyindir aku? Trus, gimana dengan dirimu sendiri yang biarin Nabila nginap di rumahnya Ben?"

"At least, aku ngelakuin itu karena aku kerja! Bukan karena alasan nggak jelas! At least, aku nggak nyuruh Ben bawa Nabila spa bareng!"

"Kamu lagi mempermasalahkan Nabila pergi spa bareng Friska? Oh, come on! Kamu harusnya berterima kasih karena Friska mau ngurusin Nabila saat Papanya sibuk kerja! Kamu tahu sendiri di antara aku dan Friska nggak akan mungkin ada apa-apa!"

"Kenapa? Karena dia sepupumu? Karena keluargamu pasti menentang? Jadi kamu membuat Friska bertingkah sebagai ibunya Nabila tanpa harus menikahi dia! Padahal jelas-jelas kamu cinta sama dia! Trus, kenapa kamu juga harus ngelarang-larang aku buat deket sama pria lain? Kenapa nggak kamu nikmati aja nasibmu yang terjebak cinta dengan sepupu sendiri? Kenapa harus seret-seret aku juga untuk tetap bertahan sebagai janda???"

Jorey terkesiap. Dengan wajah merah padam.

"Kenapa? Kamu mau ngatain aku anjing? Babi? Kambing?" tantangku.

"You know I never curse at you!"

"Excuse me???"

"Well," suara Jorey berubah rendah dan pelan "Except ... when you're naked." Alih-alih menatap mataku, Jorey menunduk sambil menggaruk-garuk lehernya yang berani kujamin tidak gatal sama sekali.

Aku mendengkus. Persis seperti sedang kelelahan dan tak punya sumber air untuk menghilangkan dahaga. Karena memang seperti itulah yang kurasakan. Lelah menghadapi preman tak tahu aturan yang bisa-bisanya menginggung soal 'naked' di tengah-tengah perdebatan seperti ini.

Tapi parahnya, dia justru menanggapi dengkusanku dengan pikiran kotor lainnya. "Desahan kamu juga terdengar familiar ... seksi ...." Lalu dia tersenyum kecil sendiri.

Sialnya, aku malah kehilangan kosakata untuk melawannya.

Sungguh memalukan! Karena aku justru teringat saat dia mengumpat lirih sambil menelusuri tubuh polosku dengan bibirnya sebelum kami bercinta. SIAL! Semoga saja wajahku tidak ikut memerah sekarang!

Untuk menyelamatkan harga diri, aku menyandarkan kepala ke sandaran bangku dan memejamkan mata. "Aku beneran nggak mau cari ribut sekarang, Jo. Aku capek. Bangunkan aku kalau udah sampai."

⭐⭐

Hello guys,
HAPPY NEW YEAR!!!

Sesuai janji, cerita ini lanjut lagi di awal tahun. Yeaayy... terimakasih sudah sabar menunggu yaa 😘

Selain cerita ini, aku jg punya cerita baru nih, ini dia covernya 👇

Kalau berkenan, yuk, samperin Bastian-Tessa-Gio di cerita ini!

Thkyouuu ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro