6. Caleb Hilmawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Because it feels good," jawab Fuad ketika kutanyakan alasan yang membuatnya gemar mencium kaum hawa, sambil menghabiskan satu loyang pizza bersama.

"How come?" Bukan berarti aku tidak tahu bagaimana rasanya berciuman. Hanya saja, ada perasaan tidak terima, jengah, jengkel tapi juga kesal yang menggunung setiap kali mengingat ciuman singkatku dengan Jorey semalam.

Aku benci ketika aku harus memimpikan ciuman Jorey sepanjang malam. Dan terlebih benci ketika menyadari dia pasti juga membagi ciumannya untuk perempuan lain. Perempuan yang enggan kusebut namanya.

"Ya elah, Lit. Waktu bikin Nabila emang gimana rasanya? Kok pake nanya segala?" gerutunya.

"Ya, maksudku, kok bisa sih kalian semudah itu cium cewek di sini dan di sana sesuka hati aja? Kok bisa-bisanya abis nyosor satu cewek, besok nyosor cewek lainnya lagi???" protesku menggebu-gebu. Tidak sadar kalau sedang melampiaskan kekesalan pada orang yang salah.

"Ya kan sensasinya beda-beda, Lit. Ada yang enak diemut, ada enak digigit-gigit, ada juga yang enak diisep-isep, ada juga—"

"HEH!!!" entah bagaimana caranya, dari setiap penjelasan, aku menjadikan Jorey sebagai fantasi. Aku benar-benar sudah gila!

"Hey! You're the one who asking. Kenapa malah marah-marah? Kok ngajak ribut gini sih? Bikin curiga aja deh!" Fuad mendelik kesal, sebelum mengerling jahil. "Abis disosor ya? Sama siapa?"

Dengan teliti kuperhatikan dagu India yang julid itu, sebelum mencabut satu helai rambut yang membuatnya menjerit histeris. Mampus! Biar berhenti kepo dah tuh!

"Gini nih, kalo udah kelamaan nggak disosor. Bawaannya sensi, kayak kepala penis!" dumal Fuad setelah jeritannya reda. Sebelah tangannya dikerahkan untuk mengelus bagian janggut yang baru saja kucabut paksa. Dugaanku meleset, dia ternyata mengoceh kian menggebu. "Nih, biar makin sensi! Aku kasih tahu ya, ciuman paling enak tuh kalo semua teknik dilakukan bersamaan. Diemut, digigit, diisep, di—"

Fuad akhirnya bungkam, saat kusorongkan satu slice pizza secara paksa ke dalam mulutnya.

"Nggak usah ngaku Don Juan deh, kalau cium isteri sendiri aja belum pernah!" balasku telak.

Kali ini Fuad benar-benar bungkam. Sambil melamun, dia mengunyah pizza yang memenuhi mulutnya.

Oh, apa aku sudah bilang kalau sahabatku yang satu ini sudah menikah? Yah, dia memang digilai banyak wanita, tapi hanya satu wanita gila yang bersedia menikahinya. Gladis Sandjaya namanya. Bagaimana tidak gila kalau sang istri membebaskan suaminya bermain gila di luaran sana? Walau aneh, pada akhirnya kami semua maklum, karena latar belakang pernikahan mereka memang sekadar pernikahan bisnis. Tidak ada cinta di antara mereka.

"Bener juga ya, Lit," gumam Fuad setelah puas dengan lamunannya.

"Apanya?"

"Tekstur dan bentuk bibirnya Gladis kayaknya bakalan enak banget tuh kalo disosor. Ulang tahun perusahaan keluarga minggu depan, aku coba godain dia, deh!"

"Sinting!!!"

Sebelum pembicaraan semakin gila lagi, aku memutuskan untuk meninggalkan ruang meeting yang sedari tadi menjadi tempat mengobrol kami dan pergi menjemput Nabila dari tempat les karate.

**

"Kak Litha?"

Kuharap tarikan kedua sudut bibirku cukup untuk menyamarkan kernyitan yang muncul bersamaan dengan sapaan itu. Sambil mempertahankan senyum aku mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pria tampan yang menyapaku di tempat kursus Nabila ini?

Kalau dilihat dari penampakannya yang terbalut pakaian karate dengan sabuk hitam, jelas dia bukan sedang berguru di tempat ini. Lantas, apakah dia sensei-nya Nabila? Tapi ... darimana dia tahu namaku? Sementara ini adalah kali pertama aku kebagian tugas untuk menjemput Nabila di sini.

Belum berhasil mendapat jawaban dari pertanyaan yang berkelebat di dalam otakku, dia berseru lagi. "Lama nggak ketemu, Kakak makin shining, shimmering splendid aja!"

"Tahu kan, aku pakai istilah shining shimmering splendid dari lagu original soundtrack princess Disney yang mana? Pasti tahulah, Kakak kan juaranya soal Disney-disney-an!" sambungnya sok akrab, sambil terus memamerkan giginya lewat senyuman lebar.

"Sekarang masih suka nonton cerita princess-princess gitu nggak, Kak? Soalnya sampai jadi anak kuliahan aja kakak kan masih hobi banget tuh, nonton begituan. Aku inget banget sering mergokin Kakak nonton Beauty and the Beast. Sesuka itu, kayaknya! Sampai diulang-ulang mulu," cerocosnya, yang tak kunjung mendapat respons dariku. Karena aku masih terdiam sambil mengingat-ingat di mana aku pernah bertemu dengannya.

Terus terang, tampangnya cukup familiar. Tapi dia jelas bukan kerabatku, juga bukan temanku. Jadi dari mana dia bisa tahu tentang nama dan hobiku segala? Lebih spesifik, dia bahkan tahu princess idolaku.

Tanpa kusadari, sepertinya aku sudah diperhatikan cukup lama saat diam dan berpikir sendiri, hingga pria di hadapanku menunjukkan tampang kecewa dan mengelus dadanya sendiri sebagai isyarat untuk bersabar.

"Sorry," ujarku tak enak hati. "Tapi aku beneran lupa. Apa kita pernah kenal sebelumnya?"

Dia memutar bola mata dan mendengkus lemah. "Ini aku, Kak. Caleb. Caleb Hilmawan."

Aku seperti pernah mendengar namanya. Tapi, di mana ya?

"Yang pernah Kakak timpuk pakai keset kaki!" Dia menambahkan keterangan. Namun, belum cukup untuk membuatku mengingat.

"Astaga, Kak. Temennya Domu!"

Barulah aku memekik kaget. "Oalah!!! Caleb!!! Kok kamu udah segede ini?"

"Ya elah, Kak! Bulan depan udah ulang tahun yang ke tiga puluh, bukan gede lagi namanya. Tua! Udah ngerti fungsi asbak, nggak bakal bikin rumah nyaris kebakaran lagi!"

Sontak kami tertawa bersamaan. Teringat akan masa-masa di mana aku pernah mengamuk pada Domu—adikku--beserta temannya yang satu ini karena nyaris membakar rumah dengan sisa puntung rokok yang mereka lempar sembarangan. Usiaku dan Domu memang terbilang jauh, tujuh tahun. Tapi sama sekali tidak mengurangi toleransiku terhadap kenakalannya. Aku ingat betul selain keset kaki, aku juga memukul mereka dengan kemoceng waktu itu.

"Padahal baru pertama kali nyoba rokok juga, udah keburu trauma aku!"

"Ya bagus itu. Merokok nggak baik buat kesehatan. Domu juga sampai sekarang nggak merokok lagi, lho!"

"Oh ya? Domu apa kabar, Kak?"

"Terakhir kali ngobrol sih kayaknya baik-baik aja. Dia tinggal di Medan sekarang, lagi belajar buat nerusin bisnis keluarga."

"Lho? Bukannya di Sydney ya?"

"Abis selesai S1 dia emang ngambil master di Sydney, trus kerja di sana hampir setahun. Tapi Bapak katanya mau pensiun, dan harus ada yang nerusin bisnis keluarga. Yaudah, si Domu ditarik balik ke kandang."

Caleb tampak manggut-manggut mendengar ceritaku, membuatku merasa perlu bertanya tentang kehidupannya. "Kamu sendiri?"

"ASN, kak. Guru Bimbingan Konseling di SMA Negeri."

"Trus di sini ngapain dong?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memastikan kalau tidak ada siswa yang perlu dibimbing. "Ngasi pengarahan tentang bahaya rokok?"

Caleb tertawa lebar. "Ini tempat kursusnya punya abang ipar aku, Kak. Salah satu pengajarnya baru resign, jadi ya, aku bantu-bantu dululah, sampai dapat pengganti yang tepat."

Kali ini aku yang manggut-manggut, sampai sebuah tangan mungil melilit kakiku, diiringi dengan suara yang paling meneduhkan di muka bumi saat memanggilku, "Mama...."

"Lho, ini mamanya Nabila, ya?" tanya Caleb pada makhluk kecil yang melilitku.

"Iya!" Nabila mengangguk semangat.

Jawaban yang singkat, padat dan jelas, namun entah mengapa berhasil membuat Caleb mengubah caranya memandangku. Kalau sedari tadi kami bercerita dengan penuh keceriaan, sekarang dia melihatku dengan tatapan iba dan kalimat yang terdengar aneh. "It must be hard for you, Kak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro