7. For My Baby Sake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku akhirnya paham tentang maksud dari tatapan iba, dan juga kalimat "It must be hard" yang diucapkan Caleb waktu itu.

Semenjak pertemuan pertama itu, kami jadi lebih sering mengobrol sambil menunggui Nabila selesai dengan kelasnya. Aku memang bertugas untuk mengantar-jemput Nabila karena Jorey masih sibuk dengan kasus yang ditanganinya di Bali.

Dan aku harus mengakui, kalau aku tidak pernah merasa senyaman ini membicarakan tentang kehidupan pribadiku kepada orang asing, selain saat bersama Caleb. Entahlah karena dia memang punya basic dalam membimbing murid-murid bermasalah, atau mungkin karena aku merasa dia bukan orang yang benar-benar asing. Yang jelas, aku senang menghabiskan waktu dengannya.

Topik pembicaraan kami pun tidak pernah jauh-jauh dari Nabila. Yang mana alasan tersebut pulalah yang membuatku selalu penasaran mendengar cerita-ceritanya. Suatu kali, Caleb pernah mengatakan kalau Nabila pernah menasihati salah seorang temannya: "Jangan suka bentak-bentak dong, kalau ngomong, nanti keluargamu nggak mau tinggal sama-sama lagi lho! Kayak Mamaku yang nggak mau tinggal sama papaku lagi."

Pemikirannya yang begitu polos, sukses membuat hatiku terasa ngilu. Andai saja persoalan tinggal bersama bisa diselesaikan dengan berhenti membentak, tentu akan mudah.

Jorey sendiri sebenarnya sudah sangat berhati-hati saat berbicara di depan Nabila. Dia juga tidak pernah membentakku di depan gadis kecil itu. Tapi, tetap saja itu tidak cukup untuk merekatkan keluarga kami kembali kan?

Kali lainnya, Caleb juga bercerita kalau Nabila merupakan anak yang kuat dan selalu berpikir positif. Dengan gaya sok bijaknya, dia pernah berkata pada teman yang lainnya, "Makanya, kalau mau doa kamu didengarin Tuhan, kamu harus rajin makan sayur. Kayak aku. Aku sekarang rajin makan sayur lho, biar Tuhan mau kabulin doaku supaya bisa liburan bareng Papa sama Mama ke Disney Land."

Caleb mengaku, dari celetukan Nabila pulalah dia bisa menebak bahwa aku gagal membina rumah tanggaku. Bahwa aku seorang janda. Walau Caleb mengapresiasi caraku mendidik Nabila, dia juga tak segan-segan memperingatkan aku tentang sikap posesif Nabila. Fakta yang cukup mengejutkan, karena kupikir Nabila sudah tumbuh dengan sangat baik.

"Well, dia pintar dan cepat nangkap. Jadi sensei di kelasnya suka ngasi reward dengan pujian gitu. Sampai akhirnya, Bila deket banget sama sensei-nya. Tapi waktu Bila tahu ada anak lain yang diperlakukan sama kayak dia, Bila malah ngambek."

"Why?" Aku masih tak habis pikir.

Caleb berdeham singkat. "Aku bisa mengerti perasaan Bila, karena aku pernah ada di posisinya, Kak. Mama menikah lagi waktu usiaku sepuluh tahun. Dan sejak saat itu, aku paling nggak suka orang-orang yang aku sayangi membagi kasih sayangnya untuk orang lain. Aku cemburu."

Jadi ini salahku?

Salahku karena membuat Nabila jadi produk broken home? Sungguh, aku sama sekali tidak berniat untuk menjadi egois dengan menempatkan putri kecilku dalam situasi yang tidak lazim seperti ini. Hanya saja, untuk membentuk keluarga diperlukan kerja sama kedua belah pihak kan? Aku ingat berusaha cukup keras untuk meyakinkan Jorey kalau kami bisa memulai dari awal lagi, asalkan dia bersedia melupakan Friska.

Tapi bagaimana bisa? Kalau Jorey tetap merasa perceraian adalah jalan yang terbaik?

Caleb menyentuh pundakku, saat aku mulai menitikkan air mata. "Ini bukan salah Kakak. Ini proses yang alami, Kak. Alasan aku cerita ke Kakak juga bukan untuk menyudutkan Kakak sama sekali, tapi untuk kita bisa sama-sama membangun karakter Bila jadi lebih baik lagi. Kita hanya perlu meyakinkan dia, bahwa semua baik-baik saja meski dengan kondisi keluarga yang terpecah belah."

Ingatkan aku kalau sedang berhadapan dengan orang yang sama dengan anak kecil yang kutimpuk dengan keset kaki puluhan tahun silam. Bagaimana mungkin sosoknya tiba-tiba sudah tumbuh besar menjadi sosok yang bijaksana seperti ini?

"Nggak salah kamu jadi guru BK. Kamu bijak banget," pujiku tulus. "Pasanganmu pasti beruntung banget bisa dapetin kamu."

"Unfortunately, still single and mingle," cengirnya lebar.

"Nah lho? Ada apa dengan pria tampan dan mapan belakangan ini? Kenapa susah banget lakunya? Domu juga masih single tuh, sampai sekarang."

"Dan ... ada apa dengan Papanya Nabila, gimana bisa dia sia-siain perempuan hebat kayak kakak?"

Aku nyaris salah tingkah, karena Caleb berkata dengan suara yang dalam, lengkap dengan tatapan kagum yang ditunjukkannya terang-terangan.

"Hey, are you flirting on me?" ledekku mencairkan suasana.

Syukurlah, berhasil. Caleb tertawa riang, sambil mulai bernostalgia. "Well ya, Kakak itu sosok yang inspiratif banget buatku sejak. Aku inget banget gimana jual mahalnya kakak sama cowok-cowok yang suka godain nggak jelas. Dan, itu jadi panutanku banget. Aku jadi nggak mau godain cewek-cewek sembarangan. Harus classy dong, biar ceweknya lumer."

"Sayangnya sampai sekarang kamu belum berhasil. Faktanya, kamu jomblo."

Caleb tertawa kian kencang. "Sial. Kayaknya aku malah jadi kebanyakan takutnya kalau mau deketin cewek. Takut ditolak kayak cara kakak nolak cowok, dulu."

"Emang gimana, sih? Kok aku aku lupa?"

"Astagaaaa... Kak!!! Setelah memberi trauma sama cowok-cowok itu, teganya kakak nggak merasa bersalah, bahkan nggak ingat sama sekali!" Caleb meraung-raung tak terima.

"Salah satu yang aku inget banget nih," lanjut Caleb, masih dengan semangat membara, "Waktu itu kakak turun dari mobil sambil nenteng paper bag, trus entah sengaja apa enggak, kakak nginjak becek, trus kakak lap tuh kaki pakai gaun yang kakak keluarin dari paper bag itu." Caleb memasang tampang horor. "Si cowok yang ngantar kakak sampai turun dari mobil dan mukanya kayak udah nahan pup berhari-hari, Kak."

Aku ingat cerita yang dia maksud. Itu pasti kejadian waktu Gomar, si anak Kapolda yang ngotot banget minta dijodohin sama aku. Dia bahkan meminta orangtuanya untuk membujuk orangtuaku agar menerima perjodohan dengannya. Padahal, aku masih kuliah dan belum berencana untuk menikah sama sekali.

Bagaimana mungkin aku membiarkannya semena-mena menentukan masa depanku? Jadi di saat aku menerima hadiahnya, saat itu pula aku membuangnya di depan matanya. Syukurlah, sejak saat itu dia berhenti mengganggu kehidupanku.

"Tahu nggak, Domu bilang apa, Kak?"

"Apa?"

"Udah biasa!" Caleb mencoba menirukan gaya santai adikku, membuatku tertawa karena dia bisa menirukannya dengan tepat. "Dan setelah hari itu aku mulai hobi mencari tahu gimana cerita-cerita kakak nolak cowok, sih. Dan itu menghibur banget."

"Domu pasti bocor banget."

"Banget, Kak. Dia cerita soal cowok yang suka nganterin bunga, tapi bunganya malah dipakai buat jadi hiasan makam anjing. Bukan anjingnya Kakak, tapi punya temen kakak yang namanya Ben. Trus, dengan kesadaran penuh kakak fotoin tuh makamnya trus kakak cetak dan tujukin ke cowok yang ngasi bunga." Caleb menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Sementara tawaku semakin meredup, aku mendadak menyadari satu hal. "Dan, sekarang, aku malah kena karma. Aku dilepeh sama suami sendiri. Jadi janda."

"Ups! What's up with that look? Itu bukan tampang Kak Alitha yang kukenal sama sekali," berang Caleb. Semua keceriaannya lenyap seketika. "Menjadi janda sama sekali bukan dosa, Kak. Juga bukan bagian dari karma. Itu cuma status. Tapi nggak akan mengurangi nilai Kakak sebagai manusia. Kakak tetap perempuan yang paling hebat yang pernah aku kenal. Lihat, gimana Kakak membesarkan Nabila. Kakak bahkan rela menahan segala sakit hati asalkan Nabila nggak pernah merasa kekurangan. Dan itu ... nggak bisa diberikan oleh sembarangan perempuan, Kak."

Hei, apakah saat belajar menjadi seorang guru bimbingan konseling seseorang juga diajarkan untuk menjadi motivator? Kenapa aku merasa Caleb begitu mampu membunuh rasa rendah diriku?

"Hei, Bila! Di sini!" Caleb melambaikan tangan ke arah balik tubuhku. Tampaknya Nabila sudah keluar dari kelasnya.

"Gimana pelajaran hari ini? Bisa?" Caleb bertanya saat Nabila sudah duduk di pangkuanku.

"Bisa dong! Hari ini Bila dapat cokelat dari Sensei karena kihon-nya bagus!" seru Nabila penuh semangat.

"Wah, hebat!" sambut Caleb tak kalah semangat.

"Tapi Nisya juga dapat cokelat dari sensei. Sensei nggak sayang sama Bila!" Nabila memanyunkan bibirnya.

"Bila ...." Caleb turun dari bangku guna berjongkok di depan Bila dan mengusap rambutnya sayang. "Semua orang di dunia ini bakalan suka sama anak hebat. Artinya, selain Bila dan Nisya ... Gery, Randy, Fadil, semuanya bakal disayang, kalau semuanya jadi anak hebat."

"Dan karena Bila udah jadi anak hebat, hari ini Mama bakal izinin Bila makan ice cream!" tambahku, yang membuat Bila sontak bersorak girang.

"Yeaayyyy!!! Beneran, Ma?"

"Asal jangan lupa, si--" Nabila memotong ucapanku dengan setengah berteriak.

"Si ... kat, gi ... giiiiii!!!"

Cara Bila mengucapkan sikat gigi yang begitu panjang membuatku dan Caleb sontak tertawa riang. Kami masih sempat bercakap-cakap dan bercanda tentang berbagai hal beberapa menit setelahnya. Sampai akhirnya, aku berpamitan pada Caleb.

Harus kuakui, aku menyesal pernah melarang Jorey untuk memasukkan Nabila ke tempat kursus ini. Tempat ini ternyata menyenangkan. Selain belajar ilmu bela diri, Bila pasti belajar bersosialisasi yang benar di sini. Terutama ... karena ada Caleb.

Aku sudah berdiri sambil menggandeng tangan Bila, saat Caleb tiba-tiba mencegat. Matanya menyipit seolah berusaha menembus kaca yang membatasi ruangan ke luar sana.

"Kak, ini cuma perasaanku, apa memang mobil hitam itu selalu buntutin Kakak, ya?"

**

Sebelum aku meninggalkan tempat kursus tadi, Caleb sudah memberitahukan nomor mobil, lengkap dengan jenis mobil yang dimaksudnya. Mobil itu memang parkir tidak jauh dari tempatku memarkirkan mobil. Ajaibnya, mobil itu bergerak mengiringi setiap jejak lintasanku.

Tadinya aku sempat takut. Tapi Caleb juga bilang kalau mobil itu sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali aku mengantar-jemput Nabila di tempat kursus, artinya, sudah hampir sebulan. Dan sebulan ini toh, aku baik-baik saja.

Lantas ... apakah ini hanya sebuah kebetulan?

"Ma! Nih, Papa mau bicara!" Nabila tiba-tiba menyodorkan ponsel di antara kesibukannya mengudap ice cream, mulutnya bahkan masih bercelemotan.

"Astaga, Princess mana sih yang makan ice creamnya belepotan begini?" Aku menyempatkan diri untuk melap bibirnya dengan tisu, sebelum menerima ponsel yang diuulurkannya. Tanpa menghiraukan ocehanku, Nabila mengerucutkan bibirnya sebelum melipir kembali ke depan televisi.

Napasku terembus panjang hanya dengan menyadari siapa lawan bicaraku sebentar lagi. Mendadak kepalaku sudah pening berat. Semoga saja kali ini kami tidak bertengkar.

"Kenapa, Jo?" tanyaku, tanpa basa-basi.

"Kamu nggak belajar dari pengalaman, Lit?" Suaranya terdengar berat dan dalam.

"Ada banyak hal yang kupelajari dari pengalaman, Jo. Salah satunya adalah dengan nggak perlu banyak bicara sama kamu. Karena hanya akan berakhir menjadi pertengkaran. So, kalau memang nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya."

Terdengar suara makian yang teredam dari seberang sana. Agaknya Jorey sengaja mengumpat sambil menutup microphone sebelum melanjutkan dengan lantang. "Aku nggak pernah tahu kalau kamu tertarik sama brondong!"

Apa maksudnya ini?

"Mulai besok, kamu nggak usah jemput Nabila di tempat les karate. Biar aku saja."

"Kamu udah balik dari Bali?"

"Aku cuma ke Jakarta untuk ngasi peringatan seseorang. Abis itu aku bakal balik lagi ke Bali."

"Oh," gumamku tak acuh. Tidak ingin memperpanjang obrolan.

"Jangan harap kamu bisa bahagia bersama pria lain, Alitha. Aku nggak akan pernah mengizinkan."

Aku tidak terlalu paham maksud dan poin dari percakapan kami malam itu, sampai ketika keesokan harinya, Nabila tiba-tiba datang sambil berlari memelukku. Dia menangis sesenggukan. Jorey yang baru saja mengantarkannya ke ruanganku sambil memijit pelipis saat kutatap dengan penuh tanya.

"Papa jahat!!!" suara Bila terdengar samar karena wajahnya terbenam di dalam perutku.

"Kenapa, Sayang?" Kubelai rambutnya halus.

"Masa Papa bilang mulai besok Bila nggak usah les karate lagi! Padahal Bila kan kesayangan Sensei di situ. Bila anak hebat!!! Bila selalu dipuji karena bisa Kihon dan Dachi!!! Pokoknya, Billa senang di tempat les karate itu, Ma! Bila suka sama Sensei Luki!!! Apalagi sama Sensei Caleb!!!"

Jorey yang tadinya berdiri di depan pintu, tiba-tiba sudah jongkok di dekat Nabila sesaat setelah nama Caleb disebut. "Itu dia masalahnya, Sayang. Nggak semua Sensei itu hatinya bersih. Beberapa dari mereka sebenarnya cuma pura-pura sayang sama kamu untuk merebut milik kamu."

"Merebut apa?" Aku menyorot Jorey tajam. Apa sih yang sedang berusaha ditanamkannya di otak Nabila? Dia sendiri yang berusaha meyakinkan Nabila kalau belajar ilmu bela diri itu penting, kenapa sekarang malah meminta Nabila untuk berhenti?

Jorey balas menyorotku tajam. "Jangan berlagak kayak kamu nggak paham maksudku."

Barulah aku paham isi percakapannya semalam. Dia ternyata tidak menyukai kedekatanku dengan Caleb. Pantas saja dia menuduhku sebagai penyuka brondong.

Bapak pengacara yang satu ini ... sampai kapan sih dia bisa berhenti mencampuri urusanku?

Nunggunya lama ya?
Mahappp... kehidupan nyata sibuk beud... 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro