PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cuaca Jakarta sedang bersahabat. Dipayungi kumpulan awan putih yang meneduhkan, bermandikan cahaya matahari yang hangat. Tidak menyengat. Seharusnya cukup untuk membuatku yang biasanya misuh-misuh karena harus bermandi keringat menunggui Fuad menjadi lebih tenang. Tetapi tidak. Meski seragamku tidak basah seperti biasanya, aku merasa perlu mengeluarkan ancaman sekali lagi.

"Aku pulang duluan aja deh!"

Ben sontak bangkit dari posisi rebahannya dari atas kap mobil demi memegangi tanganku. Menahanku. "Lith, please. Lima menit lagi gimana?"

Aku berdecak, tak habis pikir. Bagaimana bisa Ben selalu sesabar itu? Dia bahkan tampak sangat menikmati waktu satu jam menunggu dengan berjemur seolah sedang berlibur di pantai eksotis?

"Aku berani jamin. Fuad bukannya berurusan sama guru BK, Ben. Tapi pasti urusan cewek," gerutuku. Sengaja memprovokasi.

Tadi saat memintaku dan Ben untuk menunggu di parkiran, Fuad memang menggunakan kata panggilan, hukuman dan guru BK sebagai alasan. Tapi aku bisa jamin itu semua hanya akal-akalan Fuad untuk bisa mencuri waktu untuk berpacaran. Selalu begitu.

Hanya karena Fuad satu-satunya teman yang difasilitasi SIM oleh keluarganya---dengan usia fiktif tentu saja, karena kami masih berusia enam belas---aku dan Ben mau tak mau memilih untuk menebeng Fuad setiap kali pulang sekolah. Betapa menyebalkannya pun menumpang di mobil Fuad jauh lebih baik daripada dijemput sopir.

"Biar aku cek dulu deh. Sebentar ya."

Ben akhirnya mengalah. Pasti karena dia muak melihat tampak sebalku. Tapi tak apa. Dengan begitu Ben bisa mewakiliku untuk mengganggu kegiatan Fuad.

Maaf-maaf saja, tapi aku sering berdoa agar Fuad kepergok guru saat menggoda adik kelas. Biar kapok!

Sembari menunggu, aku memilih untuk mengambil tempat di pos satpam di dekat gerbang sekolah. Baru beberapa menit duduk sambil memainkan gawai, bunyi siulan menggoda mulai terdengar mengganggu dari segala penjuru. Selalu begitu kalau Ben dan Fuad jauh dari radar. Heran aku melihat cowok-cowok itu. Apa rumor tentang kesombonganku tidak cukup untuk membuat mereka menyerah merebut perhatianku?

"Alitha ... sendirian aja? Yuk, abang anterin pulang!" sapa seseorang dari dalam mobil yang tiba-tiba menepi dan membuka kaca jendelanya untuk menyapaku. Jangan tanyakan dia siapa, karena aku tak mengenalnya sama sekali.

Malas mengurusi cowok tak jelas seperti itu, aku mendengkus malas, lanjut memainkan gawai.

Pantang menyerah, cowok itu turun dari mobil dan mengambil tempat di sebelahku.

"Sendirian aja? Dua bodyguard kamu mana?"

Baru saja aku akan melontarkan kalimat-kalimat sarkas, sebuah suara lain menginterupsi.

"Lith!!! Alitha!!! Ben dan Fuad ... huh ... huh ...," Renjana, salah seorang fans fanatik Ben yang kerap mendekatiku sebagai modus untuk bisa dekat dengan idolanya itu tersengal saat berhenti dari lari kencangnya di dekat tempatku duduk.

"Ben dan Fuad kenapa?" Aku berdiri dari duduk. Mengeluarkan botol minuman dari dalam tas, aku mengangsurkannya pada Renjana yang kehabisan napas.

"Mereka digebukin," kata Renjana setelah menenggak isi botol minumku.

Jawaban Renjana, sukses membuat mulut dan mataku membesar sempurna. "APA???"

Menelan ludah, Renjana mengulang pernyataannya. "Mereka digebukin. Sama preman sekolahan."

Dengan langkah panjang-panjang, aku berjalan ke area belakang sekolah. Tempat biasanya Fuad janjian dengan gadis-gadisnya, sekaligus tempat yang sering digunakan oleh murid-murid nakal untuk diam-diam merokok.

Dalam benak, aku sudah memikirkan beberapa kemungkinan alasan yang membuat dua sahabatku itu dalam masalah. Yang pasti semua pemikiran itu mengacu pada Fuad sebagai sumber masalahnya. Mungkin dia mengincar gadis yang sama dengan sang preman, atau mungkin juga dia sedang menyombongkan diri hingga ditindas oleh preman. Yang jelas pasti bukan Ben yang mengakibatkan masalah. Tapi apapun yang menjadi sumber masalahnya, aku sama sekali tidak bisa terima kalau sahabat-sahabatku dicelakai.

Tinggal beberapa langkah lagi menuju belokan, aku tiba-tiba merasa bodoh sendiri. Kenapa aku bisa begitu percaya diri bisa melawan preman sendirian? Ah, tapi mundur pun bukan pilihan sekarang.

Maka di detik-detik terakhir, aku mengubah strategi. Alih-alih menginterupsi dengan lantang, aku memelankan langkah dan menyembulkan kepala dengan super hati-hati untuk memeriksa keadaan.

Refleks kakiku terhentak keras, sebelum kuayunkan cepat memapah kedua sahabatku yang sudah terkapar di atas tanah.

"Kok bisa begini sih???" histerisku.

"Pasti kamu kan???" tuduhku di depan Fuad yang sudah berdiri bengkok. Punggungnya dilipat ke depan guna menahan nyeri di perutnya. Ada cetakan alas sepatu di kemejanya, membuatku bisa menebak kalau perutnya pasti baru saja ditendang. Baru saja aku akan mencecarnya, Ben menyela dengan suara lemah.

"Mestinya kamu nggak usah ikut campur, Wad! Udah biasa juga kan aku dikata-katain," ringis Ben.

"Maksudnya gimana sih?" bingungku.

"Tadi, Ben nggak sengaja nyenggol Jorey sampai rokok yang dipeganginya jatuh dan kepijak. Eh, tuh anak langsung ngata-ngatain Ben segala lagi. Bikin emosi aja!" jelas Fuad berapi-api.

"Udah biasa juga kok, lagian aku memang salah. Ya udahlah, nggak usah dipikirin juga." Ben memungut tas Fuad yang terlempar ke dekat selokan, menepuk-nepuk guna membersihkannya sebelum menyerahkannya kembali pada Fuad. "Kamu masih bisa nyetir nggak?"

"Aman. Bisa kok."

Ben berjalan lebih dulu begitu mendengar jawaban Fuad. Meski diam, aku bisa melihat luka menganga lebar di kedua bola mata Ben. Fisiknya mungkin terluka, tapi perasaannya pasti lebih terluka.

"Dia ngatain Ben, apa?" bisikku, berharap Ben tidak mendengarnya.

Dengan gerakan mulut, tanpa mengeluarkan suara, Fuad menjawab, "Anak haram."

Refleks, telapak tanganku mengepal kuat.

Siapapun Jorey-Jorey itu ... aku akan membuat perhitungan dengannya!

**

Membuat perhitungan dengan Jorey ternyata tidak semudah itu. Dia, Jorey Kalme Brahmana--yang nama indahnya itu berarti 'Sangat Bagus Sekali'--sangat jauh perangainya dari arti namanya. Dia adalah seorang preman yang terlindungi hukum. Keluarganya adalah pemilik Firma Hukum Brahmana and Sons, yang notabene merupakan firma hukum terkemuka di kota ini. Hebatnya, kenyataan itu cukup untuk membuat sang anak kebal hukum. Setidaknya di lingkungan sekolah kami.

Buktinya, selama dua tahun menjadi preman di sekolahan, tak pernah sekali pun dia mendapat hukuman atas segala tingkah buruknya.

Sialnya lagi, dia sepertinya senang menjadikan Ben sebagai bahan bulan-bulanannya.

Nama Ben tiba-tiba menjadi sangat akrab di telinga belakangan ini. Bukan suatu hal yang baik, mengingat julukan yang ditempelkan di akhir namanya adalah 'Si Anak Haram'. Ben sih santai saja menanggapi gosip-gosip yang beredar, karena katanya dia memang anak haram. Alasan ini pula yang menurutku membuat Jorey semakin tertantang untuk memancing emosi Ben.

Tapi yang ada malah aku dan Fuad selaku sahabat Ben terpancing emosi. Tak terima sahabat kami direndahkan.

Ben adalah sosok yang sangat baik dan pemaaf, dia tidak pantas dihujat berdasarkan latar belakang yang sama sekali tidak bisa dikendalikannya. Aku benci saat orang-orang mulai terprovokasi memandang rendah Ben. Terlebih benci, karena Jorey bahkan mulai menggunakan mading sekolah sebagai ajang untuk mengolok-olok Ben.

Hari itu, aku melihat ada gambar seekor anak ayam yang malang digantung pada papan mading dengan tulisan "Anak Ayam Kehilangan Induk" disertai keterangan berupa arti pribahasa tersebut di bawah judul besar. Namun yang membuat darahku mendidih hingga ke ubun-ubun adalah tulisan tangan—yang sudah bisa kutebak milik siapa—menuliskan coretan di bawahnya "Senasib dong sama Ben" lalu ditambah dengan emote tawa di akhir kalimat.

Tanpa bisa kutahan lagi, aku akhirnya meremas kertas itu hingga kusut dan membawanya ke belakang sekolah. Tempat Jorey biasanya diam-diam merokok dengan komplotannya.

"Aku mau kamu berhenti gangguin Ben!" seruku lantang, sambil melemparkan kertas mading yang sudah membentuk bola.

Riuh rendah obrolan diiringi tawa mendadak hilang. Semua cowok-cowok sangar itu memusatkan perhatian padaku.

Terus terang jantungku baru mulai berdetak gentar sekarang. Apalagi saat melihat tatapan penuh minat di beberapa pasang mata manusia berandal itu. Beberapa di antaranya bahkan kutandai sebagai cowok-cowok yang kerap menggodaiku di kantin sekolah. Bagaimana kalau mereka malah lebih tertarik untuk mengerjaiku sekarang?

Sekuat tenaga, aku berusaha mengangkat dagu, tanda tak gentar.

Lumayanlah, Jorey sepertinya cukup terpengaruh. Setidaknya, dia mau meladeni permintaanku. "Kenapa gue harus dengerin lo?"

"Karena aku akan membantumu membuat Friska cemburu."

Aku bisa melihat Jorey mulai tertarik dengan usulku. Manik matanya mendadak berkilat antusias.

Well, ya, bukan tanpa perencanaan aku berani-beraninya masuk ke dalam kandang buaya seperti ini, guys. Sepanjang minggu ini, aku menggali segala hal yang memungkinkanku bisa menjatuhkan Jorey. Dan ya, aku akhirnya menemukan fakta bahwa dia ternyata terjerat dalam hubungan family-zone. Dia mencintai sepupu yang seharusnya tidak boleh dicintainya.

Adalah Friska Anastasia Brahmana, anak kelas sebelah yang menjadi incaran Jorey. Ralat, bukan incaran, tapi mantan pacar. Ya, Jorey menjalin hubungan terlarang dengan sepupu semarganya itu. Hubungan itu kandas baru-baru ini, dan Jorey dinyatakan gagal move-on. Dia masih sering melakukan hal-hal kampungan untuk menarik perhatian Friska lagi.

"Privacy guys," gumam Jorey singkat. Dan semua anggota gengnya langsung paham untuk mengosongkan area khusus untukku dan Jorey.

"Apa yang lo tahu, cantik?" suara beratnya mengudara begitu memastikan tidak ada gangguan lagi.

Berusaha keras mempertahankan suara lantangku, aku menjawab, "Aku tahu kamu ingin menarik perhatian Friska lagi, dan aku tahu betul caranya."

"Yaitu dengan...?" Jorey sengaja menggantung kalimatnya.

Baiklah, aku memang sedang mengambil risiko yang sangat besar sekarang. Tapi tentu saja, aku sudah mempertimbangkannya masak-masak. Pertama, cara ini secara tidak langsung akan membuatku terbebas dari kuman-kuman bernama pria usil. Kedua, cara ini bisa membebaskanku dari acara menunggu Fuad pacaran setiap pulang sekolah. Dan tiga, alasan yang paling mendasar dari kegilaan ini adalah, demi membebaskan Ben dari bulan-bulanan pria brengsek di hadapanku ini.

Maka, dengan menarik napas dalam untuk meneguhkan keyakinan, aku menjawab, "Jadikan aku pacarmu."

Dan itu, ternyata adalah kesalahan terbesar seumur hidupku.

Persis seperti cerita roman picisan kampungan, aku malah terjebak dalam permainan ini. Aku jatuh cinta—sejatuh-jatuhnya—pada Jorey. Aku bahkan menikah dan mengandung anaknya. Walau sampai pada akhirnya, dia tak pernah membalas cintaku.

⭐⭐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro