1. Never Easy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kelahiran ke dua hari ini, dengan suasana yang sama harunya dengan kelahiran-kelahiran lainnya.

Pria yang sejak tadi menjadi sasaran remasan, pukulan bahkan jambakan istrinya saat mengejan mulai menitikkan airmata. Bukan karena kesakitan. Tapi semata-mata karena tangisan bayinya akhirnya menggema.

Pria itu bahkan mulai terisak saat suster mengangsurkan puteri cantik yang baru dibersihkan seadanya itu. Disambut sang istri, ketiganya saling memeluk erat, seolah memantapkan hati untuk mulai babak baru dalam mengarungi kehidupan.

Aku memerhatikan dengan perasaan melankolis yang kembali hadir tanpa diundang. Menghadapi persalinan memang tidak pernah sama lagi sejak Nabila, putri kandungku, lahir dari dalam rahimku sendiri.

Menyelesaikan pekerjaan dengan cekatan, aku memilih untuk segera keluar dari kamar VK (kamar bersalin).

Di depan lorong, kulihat Ben sedang berjalan lurus, masih dengan pakaian scrub-nya.

"Baru kelar?" Seingatku, dia sudah masuk ruang OK sejak siang, dan belum juga keluar saat aku pulang pukul enam sore tadi. Bukan hal yang mengherankan. Urusan dengan saraf memang tidak pernah mudah.

Tapi bukan karena itu aku memilih spesialisasi yang berbeda dengan salah satu sahabat baikku itu. Melainkan karena urusan hati. Aku terlanjur jatuh hati pada dunia obgyn sejak pertama kali terjun di dunia koas.

Sewajarnya, dokter muda akan ditempatkan pada stase minor (stase yang lebih singkat) sebelum ditempatkan pada stase mayor (stase yang lebih lama). Tapi kasusku cukup berbeda waktu itu. Kehabisan slot di stase minor membuatku harus pasrah diterjunkan pada stase Obgyn, yang merupakan stase mayor, di hari pertama.

Dan kasus pertamaku saat itu adalah pendarahan postpartum (Pendarahan Pasca melahirkan). Secara teori, aku tahu apa-apa saja yang harus kulakukan. Namun tetap saja, menghadapi kenyataan tidak semudah membaca teori. Aku ingat betapa paniknya aku saat itu. Aku sampai kebingungan sendiri cara menghadapi situasi. Untungnya semuanya teratasi dengan baik saat para residen dan konsulen turun tangan.

Saat itu pulalah, aku tahu bahwa hatiku sudah memberi ruang khusus bagi dunia obgyn.

"Cranio cito," jawab Ben yang langsung membuatku paham alasan durasi operasinya yang panjang. Cranio cito yang disebutkannya adalah pembedahan otak dengan membuka tulang tengkorak. Prosedur pengerjaannya sangat kompleks. Biasanya memang memakan waktu yang lama. "Kamu sendiri?"

"Tadi sih udah sempat pulang jam enam. Tapi dapat panggilan, jadi ya, here I am."

Ben tertawa maklum. Ya, seperti inilah kehidupan kami. Lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Kadang aku berpikir alangkah baiknya jika aku mempunyai pasangan hidup yang seprofesi denganku dan bisa memahami ritme kerjaku yang tidak biasa. Sayangnya, hingga saat ini aku masih harus betah menjanda. Beberapa kali dekat dengan sesama dokter pun ternyata tidak cukup untuk memenuhi syarat menjadi pasanganku. Karena aku ini bukan wanita biasa. Aku janda. Jandanya seorang pengacara serupa preman bernama Jorey Kalme Brahmana.

"Minggu depan jadi ke London, Ben?" tanyaku saat mengingat tentang seminar yang dibicarakannya dengan Fuad—salah seorang sahabat baikku selain Ben—saat makan siang tadi.

"Jadi. Kenapa?"

"Aku ikut dong." Aku menawarkan diri. Gagal menutupi raut wajah yang mendadak sendu. "Minggu depan Jorey minta waktu sama Nabila satu minggu. Soalnya bulan depan dia bakal sibuk ngurus sengketa tanah di Bali."

Tangan kekar Ben segera melingkupiku dengan sebuah rangkulan hangat. "Daripada ke London, mending kamu janjian sama Dokter Gama, deh."

"Kapalku dan Gama nggak akan bisa berlabuh, Ben. Karam! Dia mundur setelah tahu aku ini mantan istrinya siapa." Meskipun tergelak, hatiku sebenarnya nyeri. "Kamu tahu sendiri kan gimana reputasi mantan suamiku itu? Nggak ada yang berani ambil risiko kalau urusannya udah sama preman kayak dia."

"Well, berarti Dokter Gama nggak cocok buat kamu. Belum apa-apa aja udah mundur? Ya udah, kita ke London aja. Cari bule buat jadi Papa barunya Nabila."

Selanjutnya, kami terus bersenda gurau dengan menjadikan pria bule sebagai objek, sambil menyusuri lorong dan berhenti di ruangan masing-masing.

Aku menghela napas panjang begitu duduk bersandar di bangku. Kelelahan. Fisik dan mental. Dan aku tidak pernah tahu sampai kapan aku akan terus begini. Satu-satunya alasan yang membuatku bertahan sejauh ini adalah putri kecilku, Nabila Jepayona Brahmana.

Seketika aku teringat telah meninggalkannya saat makan malam tadi.

"Makanannya udah dihabisin kan, Sayang?" tanyaku saat memutuskan untuk menghubunginya lewat video call.

"Mmm, sisa empat suap," akunya. Aku bisa melihat wajahnya yang imut mulai memberengut lewat layar ponsel.

"Lho? Kenapa nggak dihabisin?"

"Lain kali Bila nggak mau kalau brokolinya nggak digoreng pakai tepung!"

"Lah, kan nggak mungkin tiap kali makan sayur harus digoreng pakai tepung sih, Sayang. Biar nggak bosen, kamu juga perlu makanan yang bervariasi. Tumis brokoli pakai saus tiram juga enak."

"Bila cuma suka kuahnya. Nggak suka brokolinya. Bau!" Si kecilku membersit hidung. Lucu dan menggemaskan. Bagaimana bisa aku marah?

Yang ada aku malah melepaskan tawa renyah. "Masa brokoli dibilang bau? Ada-ada aja kamu!"

"Papa juga bilang begitu kok."

Tanpa bisa dicegah, hatiku mulai berdenyut pedih. "Papa bilang apa?" tanyaku. Berusaha mengeluarkan suara normal. Padahal bergetar. Sudah sampai sejauh ini, aku masih saja kesulitan bersikap normal setiap kali harus membahas soal ayah biologis putriku itu.

Ingatan tentang segala sakit hati yang ditorehkannya muncul begitu saja. Anehnya, semakin hari luka itu bukannya semakin mengering, alih-alih semakin basah dan bernanah. Aku semakin benci kala mendapati fakta kalau Nabila bahkan kadang lebih menyayangi ayahnya daripada aku.

Inginku membeberkan fakta pada Nabila tentang segala kekejaman ayahnya itu. Tapi aku harus menahan diri demi tumbuh kembangnya. Tanpa kutanamkan kebencian pun, dia sudah cukup kesulitan menjadi anak yang berbeda dengan teman-temannya.

Maka sekuat tenaga, aku memulas senyum.

"Papa juga bilang brokoli bau. Makanya Papa nggak pernah paksa Bila buat makan brokoli. Mama sih, nggak asik. Suruh-suruh Bila makan sayur mulu!"

Tidak sanggup mendengar putriku membela ayahnya lebih banyak lagi, aku segera memutuskan panggilan. "Bila udah malem. Bila sikat gigi, langsung tidur ya."

Hatiku yang sakit hanya bisa kulampiaskan dengan menggeram tertahan sambil meremas ponsel.

**

"Mama bohong!!!"

Aku sudah bisa menduga kalau putri kecilku pasti sedang mengalami hari yang buruk di sekolahnya, saat pertama kali melihatnya berjalan sambil mengentak-entakkan kaki tadi.

Sesaat setelah memasuki mobil, aku mencoba untuk bertanya baik-baik tentang alasan kemarahannya, dan itulah jawaban yang diberikannya. Aku berbohong.

"Bohong gimana maksudnya, Sayang?" tanyaku berusaha sabar.

"Mama bilang nggak semua keluarga hidup bersama-sama!"

Aku bisa mencium masalah baru dari seruannya itu. Tapi aku berusaha menjelaskan sewajar mungkin. "Ya, emang begitu. Waktu Mama kecil, Opung Boru dan Opung Doli juga nggak tinggal bareng kok."

(Opung Boru = nenek, Opung Doli = kakek)

Aku menjelaskan dengan menyebutkan kedua orangtuaku yang dipanggil Opung Boru dan Opung Doli oleh Bila sebagai contoh. Dulunya, bapakku bekerja mengurus bisnis di Medan sementara ibuku harus kembali ke Jakarta untuk mengurusi Andong (ibunda ibuku) yang mengalami stroke. Karena Bapak lebih sering melakukan perjalanan bisnis ke berbagai daerah, mereka memutuskan agar Ibu membesarkan aku dan adikku di Jakarta, sekaligus mengurus Andong. Bapak akan berkunjung sesekali di waktu liburnya.

"Ya, tapi kan Opung Boru dan Opung Doli jauh-jauhan! Mama sama Papa kan sama-sama di Jakarta! Kenapa nggak tinggal sama-sama?" Bila berseru lagi. Kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Tadi waktu Miss nanya siapa yang tinggal bareng Mama dan Papa, semua temen-temen Bila angkat tangan. Cuma Bila yang enggak!"

Bila bersedekap, sambil menatap mataku nyalang.

Aku ingin sekali berkelit, tapi airmata terlanjur mengambil peran lebih dulu. Aku benci saat tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan Bila. Maka cepat-cepat, kupeluk dia. Supaya dia tidak sempat menyaksikan air mataku tumpah ruah.

"Sekarang Opung Boru udah pindah ke Medan. Tinggal bareng Opung Doli. Apa nanti Mama dan Papa juga bakal tinggal bareng juga kalau Bila udah gede?" Dari dalam pelukanku, Bila bertanya. Tidak lagi dengan suara tinggi, melainkan dengan suara yang paling lemah yang pernah kudengar. Membuat hatiku semakin teremas kuat.

"Iya, Sayang. Kita doain aja, ya."

Maaf, Mama ngasih Bila harapan palsu lagi, ringisku dalam hati.

"Bila doain kok, tiap malam. Tapi kenapa Tuhan nggak mau dengar doa Bila? Apa Bila anak nakal? Enggak kan, Ma? Bila makan sayur kok, tapi Bila nggak bisa habisin semua. Apa Tuhan marah karena Bila nggak habisin sayurnya? Besok-besok Bila habisin, deh, biar Tuhan mau dengar doanya Bila."

Tanpa bisa kucegah, air mataku tumpah lagi. Maka aku mengeratkan pelukan semakin erat. Baru saja aku akan melontarkan kalimat yang menenangkan Bila, sebuah dering dari dalam tas membatalkan niatku.

"Oh, itu suara handphone Bila!" Bila berseru senang.

Layaknya anak kecil pada umumnya, Bila memang mudah berubah mood-nya. Ada banyak hal-hal kecil yang bisa membuat mood-nya kembali baik. Salah satunya adalah ini. Panggilan dari papanya.

Jorey memang bukan suami yang baik, tapi aku tidak akan menyangkal kalau dia adalah ayah yang baik. Untuk melancarkan komunikasinya dengan Bila, dia bahkan sengaja memberikan ponsel khusus putri manja ini. Kalau Bila sedang sekolah, biasanya aku yang akan menyimpan ponsel itu. Hal itu sekaligus menjelaskan mengapa dering ponsel itu berasal dari dalam tas tanganku.

Mirisnya, fakta tentang panggilan Jorey yang membuat Bila senang pun rasanya membunuhku. Memangnya siapa yang membuat Bila harus tumbuh besar dengan keadaan rumit seperti ini?

"Hello princess, how was your day?" Suara serak Jorey menggema melalui speaker yang diaktifkan Bila saat mengangkat panggilan.

"Goooooddddd, Papa!!!" jawab Bila bersemangat, seolah lupa baru saja dia berteriak dan menangis di hadapanku. Dasar anak kecil!

Jorey tergelak di seberang sana. "Glad to hear that. Besok jadi masuk kelas karate kan?"

"Jadi dong, Pa! Kan, supaya Bila bisa bela diri. Nanti bisa jadi kayak Wonder Woman nggak, Pa?"

"Kalau Bila belajarnya serius ya pasti bisa dong!"

"Yeaaayyy! Asik ... asik!!!" Bila meloncat riang di tempat duduknya.

"Besok Papa yang anterin, ya!"

"Okay, Pa! I love you!"

"I love you more, princess!"

Ketika kukira panggilan itu akan berakhir, Jorey tiba-tiba bersuara lagi. "Pincess!"

"Iya, Papa?"

Jeda cukup panjang, sebelum terdengar suara lagi. "Bilangin Mama ... jangan cengeng! Udah inang-inang, juga!" (inang = ibu)

Aku yang mendengarnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tidak pernah berubah memang mantan suamiku itu. Tahunya hanya meledek dan mempermalukanku!

Tapi ... darimana dia tahu aku sedang menangis?

⭐⭐

Seperti biasa, kita bakal slowburn yaa guys... tenang-tenang dahulu, hanyut kemudian.. hahahaha...

Dan sama seperti dua #iloveyouseries yang lainnya. Timeline-nya bersamaan ya... so ini, kira-kira sebelum fuad menaklukkan gladis, dan waktu ben dan ghea masih asik putus nyambung. Nanti setelah baca pasti ngerti sendiri sih.

Dan (lagi) aku sebenarnya agak dilemma menuliskan cerita ini. faktor utama karena usia dan latar belakang litha. Tp kemudian aku ketemu dgn beberapa orang dgn latar belakang mirip, sebut saja berusia matang dan janda, dan ternyata kisah cinta mereka ttp se-drama anak muda kok. Memang yang namanya cinta mau tua mau muda semua bisa jadi GEBLEK.... Bahahaha...

Namun begitu, interpretasi setiap orang kan bakal beda2. Jadi kalo kamu menemukan kejanggalan, please let me know. Tuliskan aja di kolom komentar ya... biar nanti aku perbaiki sebisaku.

Untuk segala support-nya sampai saat ini, terima kasih banyak cayang2kuu...

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro