Bab 19 - Hari Saat Kami Pindah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Don't forget where you belong, home." – One Direction.

Lengan Kai kujadikan bantalan saat kami berbaring setelah makan malam. Dia menarikku mendekat dan mencium puncak kepalaku. Seperti biasa setelah berbaikan, sikap Kai akan manis sekali, seolah dia terus meminta maaf.

"Lain kali aku nggak mau kamu ketemu Ollie tanpaku, Ila," kecam Kai seusai mendengar ceritaku.

"Kalau kamu nggak marah-marah semalam, pasti aku juga nggak ketemu Ollie sendiri, Kai." Mendengar Kai sudah mau memanggil Oliwa dengan nama panggilan, membuatku yakin kalau Kai sudah tidak marah lagi.

"Kamu percaya sama aku, Kai?" tanyaku sambil mendongak menatap mata Kai.

"Aku percaya. Seharusnya aku juga nggak cemburu buta seperti itu. Aku lupa kita kan udah nikah, ya? Kamu udah pilih aku, jadi apa yang aku khawatirkan?"

Aku berdecak sambil tertawa.

"Kai, lukisan itu ... kamu harus lihat lukisan itu. Kamu boleh jual salah satu lukisan yang terkenal, tapi jangan lukisan eyang. Ada cerita di dalam lukisan eyang dan kamu harus lihat itu." Ingatanku melayang pada lukisan separuh jadi. Apa yang terjadi sampai lukisannya tidak selesai. Apakah eyang sakit?

"Kita baca surat eyang, yuk." Kai beranjak untuk mengambil surat-surat.

Kami membuka dua surat berbeda. Anehnya pembuka di kedua surat itu sama. Eyang Aurio selalu menceritakan tentang keluarga mereka di awal surat. Aku membuka surat-surat yang lain dan semuanya itu sama. Aku jadi teringat tentang dugaan penyakit eyang puteri.

"Kai, sepertinya eyang puteri menderita demensia. Lihatlah eyang Aurio selalu mengirim surat dengan gaya yang sama dan diawali dengan cerita tentang keluarga mereka. Juga ada tulisan supaya eyang puteri mengingatnya." Kutunjuk surat-surat itu dengan waspada khawatir kalau Kai merasa sakit kepala lagi. Reaksinya di luar dugaanku. Kai terlihat baik-baik saja.

"Mungkin kamu benar. Aneh, ya, aku bisa nggak ingat kenapa eyang sakit." Kai tertawa kecil lalu tertegun. Dia memegang sebuah kartu pos buatan sendiri dengan gambar kanak-kanak. Tidak ada tulisan di kartu pos tersebut, hanya warna-warni yang dicoretkan sembarangan. Ada satu tulisan di sudut kiri bawah.

Tiba-tiba saja Kai memejamkan mata. Mungkin dia menerima denyutan rasa nyeri tidak tertahankan seperti waktu itu. Aku menopang badan Kai yang jatuh ke depan. Dia gemetaran hebat sampai aku sungguh ketakutan.

"I-Ila ... kepalaku." Kai bicara terputus-putus. Dahinya mulai dipenuhi dengan keringat dingin. Wajahnya semakin pucat dan aku takut dia akan jatuh pingsan. Kai menggeram seperti binatang terluka dan aku hanya bisa menangis ketakutan.

Tubuh kecilku tidak bisa merengkuh tubuh besar Kai, jadi aku berlutut di atas tempat tidur, sebisa mungkin membawa tubuh Kai dalam pelukan seraya memanggil namanya. Kai hanya mengucapkan beberapa patah kata yang tidak jelas, memanggil namaku lalu setelah beberapa saat sunyi menyergap sebelum isakan itu terdengar.

"K-Kai?" Suaraku bergetar.

Tidak ada jawaban, hanya isakan yang terdengar. Kai menangis. Aku tidak tahu dan tidak paham apa yang sedang terjadi. Sebuah kartu pos dengan coretan anak kecil mampu membuat Kai seperti ini. Dengan sebelah tangan, kuambil kartu pos itu lalu terkesiap. Ada nama si pembuat yang ditulis dengan huruf kapital. Tidak rapi dan seolah ditulis dengan gemetar seperti saat pertama kali kanak-kanak belajar menulis. Kai.

"Aku membunuh eyang puteri, La." Suara Kai seperti suara orang-orang yang tersiksa dan air mataku kembali turun.

"Nggak, Kai. Eyang meninggal karena sakit."

"Eyang sakit karena aku. Semuanya akulah penyebabnya." Kai terus terisak-isak sampai lama sekali. Ketika bahuku terasa kebas sampai rasanya tidak sanggup menopang tubuh Kai, dia tiba-tiba menjauhkan diri.

"Kai?"

"Aku membunuh eyang, La."

Aku tidak tahan dengan suara Kai yang penuh penderitaan. Kugenggam kedua jemari besarnya sebisaku.

"Kai ... kamu nggak membunuh eyang. Aku tahu itu. Eyang puteri meninggal karena sakit." Kusentuh lembut pipi Kai dan melihat pandangan matanya yang tampak berduka.

"Ingatanku seperti tumpang tindih."

Kami terdiam sejenak. Kulirik Kai yang sepertinya sudah bisa mengendalikan diri lalu kembali menariknya dalam pelukan. Kai menyandarkan diri di dadaku, seperti anak kecil yang sedang bersedih.

"Kita pindah ke penginapan dalam minggu ini, La. Aku penasaran, apa yang terjadi pada eyang."

Kai pasti bisa merasakan keterkejutanku.

"Mama nggak pernah kasih tahu apa yang terjadi. Waktu kamu sadar, ada satu tahun ingatanku yang hilang, aku menelepon mama. Tapi mama tetap nggak mau kasih tahu. Ada sesuatu yang ditutupi, La. Aku mau tahu apa yang terjadi. Dan kenapa rasa bersalah ini terus mengikutiku sejak melihat kartu pos itu."

Kuhela napas dan mengerti kekalutan Kai. Jika dia mau menghadapi masa lalu dan traumanya, maka aku harus menemani.

"Baiklah. Aku akan menemanimu untuk mencari jawaban, Kai." Kukecup puncak kepala Kai dengan sayang. Suamiku yang terobsesi dengan kerapian dan kebersihan, memiliki karir yang baik tetapi masa lalu yang terpotong. Aku tidak bisa membiarkan Kai berjalan sendiri menyusuri kegelapan.

*

Dua minggu kemudian, aku sudah ada di kamar eyang yang sudah didekorasi ulang. Kiana sudah berjuang keras untuk mendekorasi ulang kamar ini saat tahu kami akan segera pindah. Sayangnya aku tidak bisa menemani sahabatku itu mendekor. Ada permintaan untuk artikel. Bukan hanya satu melainkan beberapa dan semuanya memiliki deadline dalam dua minggu ini. Untunglah Oliwa bersedia membantu sambil melihat kemajuan renovasi.

Sedari tadi aku tidak bisa berhenti berdecak kagum melihat hasil kerja Kia. Ruangan ini terlihat lebih bersih dan lega setelah renovasi. Penempatan yang pas antara perabot dan luas ruangan juga memiliki pengaruh yang besar. Kamar ini didominasi kayu dengan warna-warna alam.

Meja rias eyang puteri sudah diplitur ulang dan diperbaiki letak cerminnya. Sekarang tidak akan ada yang bisa menyelipkan kunci lagi di bagian belakang cermin. Selembar karpet berwarna biru terletak di bawah tempat tidur. Cahaya alami masuk dengan leluasa dari jendela-jendela berukuran besar.

"Ini kamar yang menyenangkan," kata Kai sambil membawa koper-koper kami.

Untuk permulaan, kami akan tinggal selama sebulan di sini. Pengerjaan atap sudah selesai. Tinggal tiga kamar yang masih dalam proses. Diperkirakan pada pertengahan bulan depan seluruh proses renovasinya akan selesai.

"Tapi water heater-nya belum ada, La."

"Kita bisa masak air dulu kalau mau pakai air panas." Aku mengambil alih koper-koper dan mulai merapikan baju ke dalam lemari pakaian.

"Aku boleh lihat lukisannya, La?" tanya Kai.

Mendengar pertanyaan itu, aku hanya menggeleng. Kondisi Kai tidak stabil. Seringkali dia terbangun setelah mengalami mimpi buruk dalam dua minggu ini. Aku tidak bisa bercerita pada mama Mili karena kondisi keluarga Kai sempat memburuk karena virus yang menyerang mereka. Papa Ansell bahkan sempat dirawat di rumah sakit. Kondisi ini membuat Kai terpaksa harus cuti untuk mengurus perusahaan papanya.

Selama dua minggu ini aku juga ikut membantu mengurus katering milik mama Mili. Rasanya sungguh campur aduk selama dua minggu ini. Sejujurnya, aku bahkan menyangsikan pindah ke penginapan ini akan membuat keadaan membaik.

"Setelah keadaan membaik ya, Kai."

Dari kak Loni, aku mendapat kontak psikolog yang dulu menangani Kai semasa kecil setelah dia kehilangan ingatan satu tahun. Aku memang menceritakan pada kak Loni tentang masalah ingatan Kai. Namun aku memintanya untuk tidak memberitahu mama dulu.

Psikolog yang menangani Kai berkata bahwa suamiku itu mengalami amnesia selektif. Kondisi trauma menyebabkan Kai melupakan ingatan yang mengganggu dan hanya menyimpan memori yang dia mau ingat. Ketika dia mulai mengingat, maka kepalanya akan mengalami sakit yang demikian hebat.

"Ok." Kai menarikku masuk ke dalam pelukannya.

Setiap malam, saat terbangun dari mimpi buruk, Kai selalu duduk gemetar terkadang dia bangun dengan tangisan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membuatnya sedikit nyaman.

Tanpa diminta, aku membersihkan rumah dan memasak. Aku juga tidak lagi melupakan untuk hal-hal kecil yang tadinya sering membuat Kai mengomel. Mungkin dia tidak sadar, tetapi aku berharap hal kecil ini bisa membuatnya tenang.

"Terima kasih, La. Dua minggu ini kamu sudah berusaha keras membuatku nyaman dan tenang. Terima kasih sudah mendampingiku." Pelukan Kai semakin erat.

Aku membalikkan badan dan balas memeluk laki-laki jangkung ini. Rasanya hangat dan nyaman. Apalagi dengan tinggiku yang hanya sedada Kai. Membuatku seluruh tubuhku masuk ke dalam pelukannya.

"Seperti meluk jerapah," kataku tanpa sadar. Kai terkekeh dan mengayunkanku dalam pelukannya.

Tepat saat itu pintu kamar mendadak terbuka. Secara otomatis aku langsung mendorong Kai yang menabrak meja rias. Dia langsung berdiri dan memegangi cermin sambil memelototiku yang meminta maaf lewat sorot mata.

"Sorry. Kirain gue, lo lagi pada beres-beres baju. Nggak tau peluk-pelukan," ujar Kia tanpa rasa bersalah. Dia malah sibuk menahan tawa melihat wajahku yang merah padam karena malu.

"Biasa saja lagi, La. Lo kan udah nikah hampir enam bulan," kata Kia lagi sambil masuk dan berdecak kagum saat melihat hasil karyanya.

"Masuk pakai ketok-ketok dong, Ki. Masih untung gue sama Ila lagi pelukan kalau lagi yang enak-enak kan kasian lo-nya. Ini Ila lagi, badan kecil tapi tenaga beruang. Punggung gue memar nih." Kai bersungut-sungut sambil mengecek punggungnya.

Merasa bersalah, aku mengecek punggung Kai. Memang benar punggungnya memar. Sambil meminta maaf, aku mencari obat gosok yang selalu ada dalam tas dan mengoleskannya ke punggung Kai. Sementara itu Kia meminta maaf dan langsung beranjak pergi saat melihatku mengangkat kaus Kai untuk mengoles obat.

"Lo gila, La. Gue kan udah lama jomlo. Itu buka-buka baju laki lo di depan gue lagi," cerocos Kia sambil keluar dari kamar.

Kai tertawa melihat tingkah laku sahabatku. Dia mengecup puncak kepalaku setelah selesai dioleskan obat.

"Kita keluar saja, yuk. Beres-beresnya nanti saja."

Seorang Kai menunda beres-beres? Ini pasti ada alien yang mengambil alih tubuhnya. Sepertinya Kai tahu apa yang ada di pikiranku. Dia hanya tertawa dan menarik tanganku untuk keluar dari kamar. Kami berjalan menuju dapur yang sepertinya ada aktivitas.

Terdengar suara orang yang mengobrol dengan seru. Aku tercengang saat melihat Kia dan Oliwa yang sedang mengobrol sambil sesekali tertawa. Lebih tercengang lagi saat melihat tangan Oliwa yang menyelipkan seberkas rambut Kia ke belakang telinga sementara Kia hanya tersipu malu.

"Ini fatamorgana atau mataku bermasalah, Kai?" tanyaku agak keras.

Kedua orang di depanku langsung menjauhkan diri secara mendadak. Aku tertawa saat melihat Kia malah menabrak kulkas sementara Oliwa yang tinggi nyaris membentur panci yang tergantung di atas. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro