Bab 20 - Hari Saat Semua Terasa Damai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Still I believe (I'm missing). I'm missing something real. I need someone who really sees me." – The Corrs.

Aku mengulurkan piring berisi nasi pada Kai. Seperti malam-malam sebelumnya selama tiga hari belakangan, kami makan malam di gazebo. Bi Neneng membuat pepes jamur yang lezat sementara aku membuat ayam garang asam. Rasanya nikmat sekali di sini. Udaranya bersih dan suasanya yang tenang. Selama tiga hari ini juga Kai tidur dengan tenang tanpa mimpi buruk. Sepertinya kepindahan kami ke sini sudah tepat.

Para pekerja sepertinya senang dengan kepindahanku dan Kai ke sini. Mereka bergabung untuk makan malam bersama dan kami banyak mengobrol tentang proses renovasi. Ayah memang pernah bilang kalau pekerja-pekerja yang sekarang ditempatkan di penginapan adalah yang terbaik. Sekarang aku paham mengapa mereka bisa menjadi yang terbaik.

Pak Udin, Pak Nanang dan Pak Narim bukan hanya cepat dalam bekerja, mereka juga jujur dan bisa dipercaya. Kemarin Pak Udin melaporkan pada Kai kalau mereka menemukan ada kerusakan kecil di salah satu kamar di lantai atas dan langsung menggantinya tanpa menunda meskipun untuk itu mereka harus menambahkan satu hari ekstra untuk menyelesaikan renovasi nantinya.

"Ila, apakah aku sudah boleh melihat lukisan itu?" Kai bertanya sambil membantuku membawa piring kotor ke dapur. Bi Neneng yang juga ada di dapur hanya melirikku tanpa bermaksud ikut campur.

Sebelumnya aku sudah bicara pak Mang Asep dan Bi Neneng mengenai kondisi Kai. Mereka paham bahwa kondisi Kai baru saja stabil. Memperlihatkan lukisan bisa jadi membangkitkan kenangan lama. Aku tetap harus berhati-hati.

"Baiklah. Tapi jangan dipaksain ya, Kai," kataku akhirnya. Kai mengangguk lalu keluar lagi untuk mengobrol dengan mang Asep.

"Itu nggak apa-apa, Neng?" Bi Neneng memang mengganti panggilanku dari "mbak" ke "eneng" setelah tahu kalau aku masih memiliki darah sunda.

"Mungkin sekarang nggak apa-apa, Bi." Sejujurnya aku tidak tahu apakah ini akan menambah masalah baru atau justru tidak berdampak apa-apa. Tiga hari ini kami hidup dengan tenang.

Berhubung kami hanya tinggal di area kamar dan area lain masih berantakan kecuali dapur, aku tidak terlalu heboh dalam membersihkan rumah. Kai lebih sering tutup mata dan bekerja di gazebo. Sekarang dia terbiasa membawa-bawa sweater kemana-mana karena pernah saat sedang mengajar, hujan tiba-tiba turun.

Kai juga memasang wi-fi dengan kecepatan super yang membuatku tidak mengalami masalah kalau harus berhubungan dengan klien atau untuk bergosip dengan Kia. Sahabatku itu akhirnya mengaku kalau dia dekat dengan Oliwa. Sesuatu hal yang membuatku senang karena kedekatan mereka akan membuat Kai lebih tenang.

Setelah mencuci piring, aku memanggil Kai. Kami masuk ke dalam kamar di lantai bawah yang juga sudah selesai di renovasi dan di dekor ulang. Kamar ini kami beri nama clement yang dimaksudkan ruangan yang nyaman dan sejuk. Di siang hari, ruangan ini memang sangat nyaman dan sejuk meskipun tanpa pendingin udara.

Kia mendekorasi ruangan ini dengan apik. Tempat tidur dengan kepala berwarna cokelat terang, pohon-pohon dalam pot kecil yang memperindah dan menguatkan kesan nyaman sampai pada tangga kayu yang difungsikan untuk menggantung selimut atau hanya mempercantik ruangan.

Oliwa meletakkan kotak-kotak lukisan di sudut. Kotak ini sudah dibersihkan dari debu dan kondisinya juga baik. Aku mengambil salah satunya dan memberikannya pada Kai. Ini adalah lukisan yang menggambarkan mama Mili duduk di gazebo.

Begitu melihat lukisan itu, mata Kai langsung berkaca-kaca. Dia duduk di beanbag abu-abu yang tergeletak di atas karpet. Jemarinya yang bergetar menyusuri cat minyak secara perlahan. Lalu matanya terpejam seolah berusaha menggali ingatan yang tertinggal.

"Ini lukisan eyang puteri. Aku ingat. Sepertinya itu hari pertama aku ke tempat ini. Cuaca cerah dan eyang menaruh easel di pekarangan untuk melukis. Aku ingat, La. Aku merengek untuk tinggal di sini."

Melihat reaksi Kai, aku sudah berjaga-jaga jika sakit kepalanya kumat. Tetapi sepertinya hari ini aku tidak perlu mengkhawatirkan itu. Kai bisa menerima lukisan-lukisan itu dengan tenang. Dia menunjukkan beberapa lukisan yang diketahuinya. Beberapa sepertinya dilukis setelah dia tidak tinggal di sini, termasuk lukisan separuh jadi itu.

"Sepertinya eyang berusaha untuk melukis keluarga kami. Mungkin saat itu demensianya semakin parah dan akhirnya lukisan ini tidak selesai," duga Kai sambil mengembalikan lukisan-lukisan itu ke kotak.

"Kamu kenapa, La? Kok, tegang banget?" tanya Kai saat melihatku duduk di karpet dengan waspada.

"Terakhir kali kamu berusaha mengingat, kamu sampai kesakitan luar biasa. Melihatmu begitu sakit ... membuat hatiku lebih sakit lagi. Seolah tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sakit itu," ucapku lirih.

"Haila Iolana ... kamu sudah membantuku mengurangi rasa sakit. Cukup ada di sampingku." Kai membantuku berdiri dan merapikan kotak-kotak lukisan itu.

"Kita harus memilih lukisan yang akan dijual. Sisanya bisa kita pakai untuk mendekor ruangan-ruangan di sini. Sementara lukisan yang belum jadi itu, mungkin kita bisa menyewa seorang pelukis untuk menyelesaikannya."

Kami bergandengan tangan keluar dari kamar lalu bertemu dengan mang Asep dan Bi Neneng yang masih ada di dapur. Mata kami bertemu dan aku tersenyum, meyakinkan bahwa Kai baik-baik saja. Diam-diam mang Asep mengacungkan jempolnya saat berlalu ke luar penginapan. Aku mengunci pintu lalu masuk ke dalam kamar.

"Hidup di sini enak juga ya, La. Kaya di kos-kosan." Kai sedang mencari channel televisi.

Aku hanya tertawa. Memang benar, hidup di penginapan ini jauh lebih sederhana dan ramai. Kai juga bisa berolahraga serius setiap pagi di halaman belakang. Sementara aku yoga setiap dua hari sekali bersama dengan Kia secara virtual.

"Kamu nggak bosan?" tanyaku pada Kai, si pekerja keras metropolitan ini.

"Jadi kaya staycation, La."

Ucapan Kai membuatku berpikir. Kalau penginapan ini selesai pada bulan depan, maka bulan berikutnya kami sudah bisa menerima tamu. Konsep staycation sepertinya bisa diusung dalam kondisi pandemi seperti ini. Kuceritakan ideku pada Kai yang pada akhirnya membuat kami sibuk sampai malam mencoba mendeskripsikan ide secara detail.

"By the way, Kia serius sama Oliwa?" tanya Kai tiba-tiba. Dia melepas kacamata anti radiasi yang selalu dikenakannya saat bekerja dan meletakkannya di nakas. Aku selalu suka saat Kai memakai kacamata. Jika itu kacamata anti radiasi, maka dia akan terlihat pintar dan juga tampan. Jika itu kacamata hitam, tidak diragukan lagi. Di mataku Kai selalu tampan.

"Serius. Kia bilang mereka lagi penjajakan. Kamu harusnya percaya, dong. Ollie kan juga udah bilang kalau dia itu udah nggak suka sama aku lagi sejak lama."

"Aku, kan cuma cemburu. Aku nggak suka kamu di sukain cowok lain." Kai merajuk sambil mengerucutkan bibirnya. Aku tertawa melihat tingkahnya yang tidak mencerminkan usia.

"Ya ampun, Kai! Kamu harusnya percaya, dong. Aku cuma cinta sama Akamu Kaimana. Dengan Wiryawan atau tanpa Wiryawan."

Wajah Kai bersinar lembut mendengar ucapanku. Dia mengambil laptop di pangkuanku dan meletakkannya di nakas juga. Setelah itu dia menarikku mendekat dan melepas jepitan rambutku. Hari ini, aku memang menjepit rambut supaya lebih rapi. Rambutku sudah tumbuh panjang sampai melebihi bahu.

"Kai, kamu udah kunci pintu?" tanyaku saat tahu gelagat Kai mengarah ke mana. Dia tertawa lalu melompat untuk mengunci pintu. Dia sekaligus mematikan lampu sementara aku menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur dan memutar musik lembut di televisi. Kai seolah memiliki per di kakinya. Dia melompat kembali ke tempat tidur dan merengkuhku.

"Terima kasih, Ila." Kai berbisik lalu menciumku lembut.

"Sama-sama, sayang," balasku berbisik sambil menikmati ciumannya yang lembut.

"Sebagai ucapan terima kasih, aku pijitin kaki kamu."

Aku tertawa. Kai memang memperhatikanku yang beberapa hari ini sibuk mondar mandir dan berdiri lama di dapur untuk belajar masak bersama Bi Neneng. Kai mengambil minyak telon. Ini adalah rahasia terbesar Akamu Kaimana. Dia lebih suka aku beraroma minyak telon dibanding parfum. Aku suka sekali meledeknya.

Sekarang Kai menyuruhku untuk berbaring tengkurap sementara dia mulai memijat. Suamiku ini pandai sekali memijat sampai aku curiga dia memang mengikuti pelatihan memijat.

"Kamu belajar mijat di mana sih, Kai?" gumamku keenakan. Rasanya semua urat di bagian kaki kembali rileks.

"Naluri, La."

"Oh, wow! Aku bersyukur kalau gitu ya, naluri kamu banyak. Mulai dari ciuman sampai pijatan." Aku tertawa saat teringat masa lalu.

Ciuman pertamaku dan Kai memang jauh dari mendebarkan. Saat itu Kai mengantarkanku pulang kerja. Status kami belum diresmikan meskipun dari gosip yang kudengar bahwa Kai menyukaiku. Dia sering membawakanku makanan, mengantarku pulang dan mengajakku keluar saat akhir pekan. Namun karena tidak ada kata-kata yang meneguhkan status kami, aku menganggapnya sebagai teman. Sampai hari itu.

Seperti awal kedekatan kami, hari itu hujan turun begitu lebatnya. Kami berdua malas menunggu hujan reda dan akhirnya meminjam payung ke sekuriti kantor supaya tidak terlalu basah sampai ke mobil. Malangnya hujan hari itu disertai dengan angin. Jadi baru separuh jalan, angin membalikkan payung dan kami berdua basah kuyup.

Saat itu kami hanya tertawa dan berlari secepat mungkin menuju mobil. Lengan Kai melingkar di bahuku, menjaga agar aku tidak terpeleset. Kami sampai mobil dengan terengah-engah dan basah kuyup. Kai mengambil tas di bagian belakang mobil. Dia terbiasa membawa baju ganti dan handuk kecil jika mendadak mau bermain basket dengan teman-temannya.

"Kamu ganti baju aja, La."

"Hah? Ganti baju di mana, Kai? Gila! Nggak, deh. Aku gini saja." Meskipun saat itu aku basah kuyup dan rasanya tidak nyaman, bayangan mengganti baju di dalam mobil bersama dengan Kai membuat badanku panas dingin.

Akhirnya Kai mengambilkan selimut yang bisa dilipat menjadi bantal dan ditaruh di mobil sepanjang waktu. Dia menyelimutiku setelah sebelumnya menggosok rambutku supaya tidak terlalu basah. Setelah itu barulah dia mengganti bajunya. Aku memalingkan wajah ketika Kai mengganti baju. Otot-otot di tubuhnya terlalu sayang untuk dilewatkan tetapi aku tidak mau menjadi orang mesum.

Wajahku pasti merah padam karena Kai mengira aku demam sepanjang perjalanan pulang. Ketika sampai, Kai mencondongkan tubuh untuk mengecek suhu tubuhku. Tepat saat itu aku menoleh untuk mengucapkan terima kasih. Tidak ayal, bibir kami bertemu. Aku ingat sekali saat itu terkejut bukan main. Kai juga terlihat gugup. Dia mengucapkan maaf lalu tiba-tiba saja dia menciumku lembut.

"Aku menyukaimu, Haila Iolana. Jika perasaan kita sama, maukah kamu jadi calon isteriku?"

Yah, Kai memang tidak menembakku untuk dijadikan pacar. Dia langsung menjadikanku calon isteri. Setelah itu aku baru tahu kalau Kai salah ngomong. Dia gugup luar biasa katanya. Ingatan itu membuatku tertawa-tawa.

"Kenapa kamu ketawa, La?" tanya Kai. Pijatannya saat ini sudah sampai ke betis dan membuatku memejamkan mata untuk menikmati.

"Inget dulu kamu pas nembak langsung bilang mau jadiin aku calon isteri." Aku terkekeh lagi.

"Untung kamu mau ya, La. Itu pertama kali aku suka sama cewek sebegitunya, La. Kamu yang bikin aku selalu melakukan tindakan konyol."

Aku terkejut saat Kai mencium betisku lalu membalikkan badanku cepat. Kuelus rahang suamiku yang tampan. Dia tersenyum dan menurunkan wajah untuk menciumku. Sepertinya malam ini akan panjang bagi kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro