Bab 21 - Hari Saat Aku Menerima Kejutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"'Cause we were both young when I first saw you." – Taylor Swift.

Kalau beberapa hari kemarin dunia terasa damai, tidak dengan hari ini. Aku dan Kai memulai kembali kebiasaan kami. Berdebat. Kami harus memutuskan untuk menjual satu lukisan yang bisa dijadikan dana tambahan supaya tidak meminjam ke bank atau ke orang tua kami.

Kai bersikeras untuk menjual lukisan karya Pollock yang langsung kutolak karena itu adalah kesukaanku. Kai bilang kalau cuma kaya gitu dia juga bisa buat. Hal yang membuatku ngambek setengah hari.

"Van Gogh, saja. Aku juga suka Rembrandt," kataku akhirnya. Kai menggeleng tidak setuju. Akhirnya kutinggalkan saja Kai untuk membuat es doger bareng sama Bi Neneng. Kemarin Bi Neneng memang berkata mau mengajarkanku membuat es doger.

"Kenapa, Neng?" tanya Bi Neneng saat aku masuk setelah mengucapkan salam. Mungkin raut wajahku masih terlihat cemberut.

"Biasa, tuh. Susah ambil keputusan buat jual lukisan yang mana." Aku tidak mau bercerita banyak tentang Kai, jadi kualihkan pembicaraan pada menu masakan dan es doger yang akan kami buat.

"Bi, kenapa Bibi sama mamang mau bantuin eyang Aurio buat jagain penginapan ini?" tanyaku saat sedang menyiapkan bahan-bahan es doger.

"Bapak itu baik hati, Neng. Anak-anak bibi semua di sekolahkan sampai kuliah, loh. Terus waktu orang tua bibi masih ada, Bapak juga yang bantu pengobatan mereka. Bapak orang yang baik. Jarang marah dan meskipun kaya bukan main, beliau nggak sombong."

Soal kebaikan hati eyang, aku juga tahu. Katanya sih saat di kantor, beliau menjadi orang yang tegas tetapi tetap manusiawi. Eyang Aurio tidak pernah memarahi karyawan yang salah di luar batas kewajaran. Kurasa itu menurun pada papa Ansell dan mama Mili. Mereka memperlakukan karyawan dengan wajar dan tidak sewenang-wenang.

"Dulu berarti waktu Kai ada di sini, Bibi juga tahu, dong?" tanyaku ingin tahu.

"Gimana waktu dia masih kecil, Bi? Tukang debat juga, ya?" tanyaku lagi saat melihat bi Neneng mengangguk.

"Mas Kai itu anak yang pecicilan. Dia suka lari-lari di halaman belakang. Tapi sejak ada mas Kai, kemajuan Ibu Leia sangat baik. Setidaknya Ibu Leia tidak keluar kamar dengan wajah bingung."

Ini informasi baru bagiku. Kalau keberadaan Kai di tempat ini membuat eyang puteri membaik, kenapa Kai memiliki trauma dan bahkan merasa sebagai pembunuh eyang? Tanda tanya ini menjejak dalam di otakku.

"Setiap hari eyang Aurio kirim surat ya, Bi? Ila nemuin banyak surat di kamar eyang dulu." Kali ini aku bertanya dengan hati-hati. Di luar dugaan, Bi Neneng mengangguk.

"Iya. Bapak sering harus ke luar kota, ke luar negeri, jadi beliau sering menitip surat. Kadang suratnya sudah disiapkan jauh-jauh hari supaya setiap hari Ibu bisa baca. Sebenarnya surat-surat di kamar Ibu belum semuanya, Neng."

Aku tertegun mendengar ucapan Bi Neneng. Belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba saja Bi Neneng pergi meninggalkanku yang sedang mengiris bawang. Bi Neneng kembali membawa kotak seukuran kardus mie instan lalu meletakkannya di hadapanku.

"Ini semua surat-surat dari Bapak ke Ibu, Neng. Bibi sebenarnya udah mau kasih ke eneng dari pertama, tapi sesuai instruksi Bapak sebelum meninggal, surat ini boleh dikasih tahu ke eneng dan mas Kai setelah tinggal di sini. Jadi, ini waktu yang tepat. Apalagi mas Kai udah nggak ada masalah kemarin saat melihat lukisan."

Aku menerima kardus itu dengan rasa terima kasih. Sekarang rasa penasaranku bertambah banyak. Kenapa eyang harus menginstruksikan hal itu? Rasanya aku mau menangis. Kenapa sih orang kaya itu aneh-aneh?

Bicara tentang aneh, makan siang hari ini juga terasa aneh. Aku masih malas bicara dengan Kai tetapi tidak mau memperlihatkan kalau kami bertengkar di depan orang lain. Jadilah aku bicara dengan kaku, yang mana malah jadi perhatian yang lain. Setidaknya mang Asep tahu karena bertanya apakah aku baik-baik saja saat sedang mengambil air minum.

Kai sendiri bersikap seperti biasa seolah tidak terjadi perdebatan di antara kami. Sebenarnya itulah yang membuatku kesal. Setelah makan siang, Kai masuk ke ruang clement untuk bekerja. Dia memang senang bekerja di sana jika harus menjadi trainer. Katanya aura di sana menenangkan.

Aku masuk ke kamar setelah selesai mencuci piring. Kuputuskan untuk membongkar surat-surat eyang Aurio. Setelah setengah jam menyusun tanggal surat, aku mengambil surat terlama. Mungkin ini surat-surat yang disiapkan setiap hari oleh Bi Neneng jika eyang Aurio tidak berada di sini.

Kubayangkan di masa lampau, surat ini diletakkan di baki di depan pintu. Menunggu tangan eyang puteri untuk dibaca. Aku mengeluarkan surat dari amplop kekuningan dimakan waktu. Bagian awal sama dengan semua surat lainnya. Menceritakan keluarga eyang Aurio. Tetapi surat ini menuliskan hal yang ingin kuketahui.

*

Dear Leia,

Bagaimana Kai di sana? Apakah membantumu untuk terus mengingat kami? Ah, Leia. Aku sungguh berharap kehadiran Kai bersama dengan keceriaannya akan membawa dampak baik bagi kita.

Kalau kamu sudah mengingat semuanya, maukah kamu meneleponku? Aku sungguh merindukan suaramu. Tetapi pekerjaan dan tanggung jawabku terhadap perusahaan belum bisa kutinggalkan. Kamu tahu kalau anak kita sedang merintis usaha, bukan?

Leia sayang,

Jangan lupa untuk meminum obatmu. Aku sungguh berharap akhir pekan ini kamu bisa pulang ke rumah. Sungguh, aku merindukanmu. Saat-saat kamu ada di penginapan membuatku tersiksa.

Leia sayangku, puteri di hatiku,

Apa pun yang terjadi, tetaplah ingat kalau aku mencintaimu.

Aurio.

*

Jadi eyang puteri secara berkala memang pulang ke rumah. Kai menemaninya di sini di hari-hari biasa. Mungkin udara dan ketenangan di sini membantu kondisi eyang tetap stabil. Seperti halnya kondisi Kai.

Aku masih membaca beberapa surat lagi lalu merasakan tenggorokan yang kering. Saat keluar kamar, mataku bertemu dengan mata Kai yang baru saja keluar dari clement. Kami bertatapan lalu berjalan menuju dapur, masih dalam keadaan diam.

Kuambil dua teko air dan mengisinya lalu menyerahkan satu pada Kai yang menerimanya dengan bingung. Tanpa berkata sepatah kata pun aku berbalik. Surat eyang sangat menarik untuk ditinggalkan. Melalui surat itu aku seperti menembus batas waktu dan mengetahui apa yang dilupakan semua orang.

Baru sampai di depan pintu kamar, seseorang menarik lenganku sampai air di teko yang kupegang sedikit tumpah. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Kai. Aku mendongak sampai rasanya leher sakit demi bisa melihat mata Kai.

"Kenapa, Kai?" tanyaku sok tenang. Padahal dalam hati berdebar-debar karena kaget.

"Kamu masih marah?" Balas Kai bertanya.

Dia membuka kamar tanpa menunggu jawabanku, mengabaikan tumpahan air di depan pintu lalu mengambil teko air dan meletakkannya di nakas. Mulutku hanya bisa membuka dan menutup, tidak paham dengan kelakuan Kai. Setelah tanganku bebas dari teko air, Kai menggenggam jemariku.

Kai duduk di tempat tidur dan membawaku berdiri di hadapannya. Kami saling bertatapan tanpa suara. Aku mencoba mencari tahu apa yang kira-kira dipikirkan oleh laki-laki bermata cokelat di hadapanku ini.

"Kamu masih marah?" tanya Kai lagi.

Sebenarnya amarahku sudah menghilang setelah aku kaget menerima dus berisi surat. Tetapi gengsi untuk bilang pada Kai. Saat menatap mata Kai, tiba-tiba saja aku ingat sudah berapa banyak kuterima permintaan maafnya.

"Nggak."

Begitu kata-kata itu keluar, kelegaan membanjiriku. Mungkin itu juga yang Kai rasakan karena gesturnya menjadi lebih rileks. Kami saling menatap.

"Aku minta maaf, Kai. Rasanya salah jika kita bertengkar hanya karena hal sepele. Maafkan aku." Kali ini, akulah yang harus mengambil langkah pertama untuk meminta maaf.

Senyum terbit di wajah Kai. Dia menarikku mendekat dan mendekap pinggangku lalu memelukku. Saat duduk, kepala Kai tepat setinggi dadaku.

"Kamu boleh pilih lukisan manapun yang mau kamu simpan. Sisanya baru dijual."

Aku tercengang mendengar ucapan Kai. Kalau maaf bisa membuatnya seperti ini, seharusnya dari tadi saja kuucapkan maaf. Aku mengucapkan terima kasih pada Kai lalu mengecup pipinya. Kuputuskan untuk melepas lukisan Pollock. Kai terlihat terkejut.

Hidup bersama dalam rumah tangga mengajarkanku banyak hal. Salah satunya adalah menurunkan ego dan berpikir dingin untuk keputusan bersama. Tidak baik jika salah satu terus menerus merasa bahwa pendapatnyalah yang terbaik.

"Kenapa kamu mutusin itu, La?"

"Aku belajar buat nggak memaksakan kehendakku, Kai. Maaf kalau selama ini sikapku membuatmu nggak nyaman," kataku.

"Kamu selalu membuatku nyaman, Haila. Bersamamu aku selalu merasakan kenyamanan yang berbeda dengan saat aku berada di tempat lain. Bahkan berbeda ruangan denganmu dalam kondisi seperti hari ini bisa membuatku gelisah." Kai mengecupku singkat lalu pandangannya menyapu kamar kami.

"Kamu lagi baca surat?" tanyanya sambil beranjak dan mengambil beberapa surat yang sudah kubaca.

Kuceritakan tentang Bi Neneng dan pesan eyang Aurio untuk memberikan kardus berisi surat ini saat kami tinggal di penginapan ini. Aku juga menunjukkan tanggal-tanggal dimana Kai tinggal di sini.

Kai tercenung cukup lama sambil memperhatikan tulisan tangan eyang yang rapi. Dia baru akan mengatakan sesuatu ketika teringat sesuatu.

"Ya ampun, Ila. Aku lagi ngajar! Aku harus balik. Kamu harus cerita sama aku selengkap-lengkapnya." Kai terbirit-birit lari masuk ke kamar yang dia jadikan ruang kerja sementara sementara aku tertawa melihatnya panik.

Selama aku mengenal Kai, dia jarang sekali terlihat panik. Kai yang kukenal selalu terkontrol apalagi dalam hal pekerjaan. Dia selalu tampil profesional. Aku kembali membaca surat dari eyang, mencoba menyelami masa lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro