Bab 26 - Hari Saat Dia Berlebihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"They were sitting. They were sitting on the strawberry swing. Every moment was so precious." – Coldplay.

Kia dan Oliwa benar-benar menginap di tempat kami. Mereka datang bersama-sama dalam satu mobil setelah Kia pulang untuk mengambil pakaian. Aku sempat tertegun saat melihat koper yang dibawa Kia. Mereka ternyata menginap bukan hanya sehari dua hari.

Terhitung hari ini adalah hari ke delapan mereka di penginapan. Setidaknya keberadaan dua orang teman kami itu bisa mengurangi ketegangan. Apalagi renovasi benar-benar sedang berada di tahap akhir. Setelah pengerjaan atap selesai, maka waktunya untuk menyusun barang-barang di dalam kamar.

Gara-gara batal menjual lukisan, kami terpaksa mencari jalan keluar lain. Eyang Aaron sebenarnya menawari pinjaman lunak, tetapi hal ini ditolak mentah-mentah oleh Kai yang gengsinya masih setinggi langit. Dia tidak mau meminjam dana pada Wiryawan manapun.

Kuhela napas melihat perincian dana yang membuat kepala sakit. Pembelian barang-barang yang dilakukan sejak awal memang tidak membawa kendala berarti meskipun kami belum bisa membayar jasa Kia. Sedangkan untuk renovasi, ayah sudah membantu kami dengan menangguhkan pelunasan pembayaran sampai tiga puluh hari ke depan. Kupijat pelipis yang berdenyut. Kemana lagi harus kucari dana sementara saat ini saja pekerjaanku sudah menumpuk?

Saat ini aku mengambil pekerjaan sebagai ghost writer, yang jarang kuambil demi bisa mendapatkan tambahan dana. Selain itu aku juga menulis artikel untuk beberapa perusahaan sekaligus menjadi auditor lepasan. Waktuku mulai habis di depan laptop. Belakangan ini nyeri di pergelangan tangan karena terlalu memaksakan diri juga mulai terasa.

Kai kembali menjalani sesi dengan psikolog meskipun baru secara virtual karena kondisi pandemi ini. Dia sudah lebih tenang dan mulai menerima kenyataan bahwa dirinya ada andil dalam sakitnya eyang puteri. Aku juga mengikuti sesi psikolog itu dengan Kai sekitar dua kali. Ada beberapa pesan yang disampaikan oleh psikolog padaku sebagai pendamping.

Hari ini Kai sedang memberikan materi pelatihan untuk karyawan. Kemarin kantornya menemukan adanya potensi fraud dari pelanggan baru. Jadi hari ini Kai bertugas memberikan pelatihan ulang untuk mencegah kejadian fatal dari pelanggan yang merugikan. Absennya Kai di sampingku sedikit melegakan. Aku takut kalau laki-laki jangkung itu kembali tidak stabil emosinya karena memikirkan tagihan.

"Lo kenapa, sih? Menghela napas mulu." Kia memperhatikanku yang sedang memutar pergelangan tangan untuk meredakan nyeri.

Kami sedang berada di meja makan yang terbuat dari kayu dan menurutku sangat cantik. Meja ini warisan dari eyang Aurio dan baru saja dipoles ulang. Biasanya di hari-hari biasa aku bekerja di sini bersama dengan Kia. Sementara Oliwa, dia lebih suka berada di udara terbuka. Aku sempat mengikuti jejak Oliwa dan berakhir dengan muntah-muntah karena masuk angin.

Kondisi keluarga Kai sudah membaik. Beberapa hari lalu mereka mengumumkan telah negatif dari virus COVID-19. Meskipun begitu, Kai masih tetap mengawasi perusahaan papa Ansell sampai semua pulih. Sementara mama Mili langsung mengambil alih kateringnya setelah berterima kasih panjang sekali padaku. Padahal aku tidak berbuat banyak. Karyawan mama Mili semua sudah terbiasa kerja mandiri jadi aku hanya mengawasi dan tidak banyak ikut campur.

"Tangan lo nyeri, ya?" tanya Kia lagi. Dia berdiri dan mendekat untuk mengecek tanganku.

"Nanti gue bisa pakai koyo. Ini belum selesai artikelnya," gumamku sambil menarik tangan.

"Kenapa sih nggak bilang sama laki lo. Ini tuh udah kebangetan tahu nggak? Kalian boleh nggak mau pinjam ke keluarga tapi jangan kerja melebihi kapasitas badan dong, Ila." Dengkusan Kia membuatku tertawa. Sahabatku satu ini kalau lagi marah, wajahnya justru terlihat menggemaskan. Pantas Oliwa lambat laun jatuh hati padanya.

"Omong-omong, lo sama Ollie gimana kemajuannya?" Pertanyaanku sukses mengalihkan pembicaraan. Wajah Kia bersemu merah sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal dan kembali duduk di kursinya.

Kemarin malam, aku dan Kai membantu Oliwa untuk mengungkapkan perasaan pada Kia. Mulai dari memasak makanan khusus sampai menyiapkan gazebo agar terlihat romantis. Mang Asep sampai berpeluh untuk memasang lampu-lampu kecil di gazebo sementara Oliwa mengajak Kia keluar penginapan dengan alasan berbelanja.

"Awas, ya kalau nggak berhasil! Mang Asep sampai nyaris kepeleset waktu pasang lampu dan ngomel-ngomel kalau ide Ollie itu ribet." Aku tertawa mengingat kejadian kemarin sore.

"Iya iya. Gue udah pacaran sama Ollie. Thanks to you dan Kai, juga mang Asep dan Bi Neneng. Cuma itu dimsum siapa yang buat, La? Bentuknya ajaib gitu."

Aku langsung tertawa mengingat dimsum yang dibuat khusus untuk mereka. Kai bertugas untuk melipat kulit dimsum tetapi bentuk akhirnya seperti bungkus nasi padang. Aku sampai sakit perut karena tertawa kemarin melihat dimsum nasi padang ala Kai. Sementara itu Kai masih sempat berkilah kalau Oliwa memang hobi makan nasi padang.

Kesibukan kemarin memang membuat suasana hati Kai sedikit membaik. Dia tidak lagi bertingkah seperti beruang merana seperti sebelumnya. Meskipun belum membahas masalah itu lagi tetapi setidaknya emosi Kai sudah lebih stabil. Aku menyimpan surat-surat eyang untuk sementara karena khawatir akan membawa luka hati kembali terbuka.

"Tapi dimsumnya enak, kan?" tanyaku karena sudah tahu jawabannya. Hal pertama yang kulakukan saat tutup pengukus dibuka adalah mencicipi dimsum bungkus nasi padang buatan Kai. Rasanya cukup enak meskipun bentuknya ajaib.

"Enak. Kalian sukses bikin kejutan. Yah, mudah-mudahan hubungan kami bisa berlangsung lama." Kia tersenyum padaku.

Aku senang kalau bisa membuat Kia senang. Sejak dulu sahabatku ini baik sekali. Kami berbagi banyak cerita selama bertahun-tahun dan baru kali ini aku menemukan Kia mau berusaha serius dengan laki-laki.

Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Oliwa sedang menenteng tablet sambil sesekali bicara dengan para pekerja. Pak Udin berjalan ke luar penginapan untuk mengambil ember cat. Ini berarti pekerjaan atap sudah selesai dan dilanjutkan dengan mengecat ruangan-ruangan.

"Lo serius mau pakai cat saja untuk kamar di atas, La?" tanya Oliwa sambil tersenyum begitu dia duduk di samping Kia yang mendadak bersemu merah.

"Iya. Sebenarnya Kai mau wallpaper. Tapi gue khawatir udara lembab bisa bikin udara di belakang wallpaper yang ujung-ujungnya rusak."

Kia mendengkus sebal. Perempuan tinggi semampai ini pecinta wallpaper. Dia seringkali mengubah dekorasi kamar sekaligus dindingnya sendiri. Aku yang sering membantu Kia untuk mengubah dekorasi kamar, tentu saja tahu bagaimana sulitnya melepas wallpaper dari dinding.

"Tapi kan cantik, La," protes si pencinta kertas dinding itu.

"Cantik, sih. Tapi ribet. Kalau cat yang sekarang kan tinggal di lap secara rutin beberapa bulan sekali. Lagian cat yang gue pakai kan tahan air dan juga wall sealer." Argumenku yang ini memang pada akhirnya membuat Kai menyerah. Cat yang kugunakan selain tahan air juga bisa menutupi retak tipis pada dinding.

Masalah pemilihan cat tahan air juga karena saat terakhir video call dengan Abe, si keponakan menggemaskan, dia sedang menggambar dinding. Kai memandang dengan raut kengerian yang tidak bisa ditutupi, tetapi Abe dan juga Kak Loni malah tertawa-tawa. Mungkin itu pula yang mendasari persetujuan Kai. Bisa jadi laki-laki perfeksionis itu berpikir kalau tamunya kelak mungkin anak-anak yang hobi mewarnai dinding seperti keponakannya.

"Jadi udah mulai ngecat ya, Lie?" tanyaku masih sambil memijat pergelangan tangan.

"Cat dasar dulu untuk dua hari ini," jawab Oliwa sambil melihat ke arah tanganku.

"Tangan lo sakit, ya? Kai tahu?" Oliwa malah melanjutkan pertanyaan.

Aku buru-buru menyembunyikan tangan sambil berkata tidak apa-apa. Reaksi Oliwa yang sedikit berlebihan membuat kening Kia mengernyit. Sungguh, aku tidak mau ada salah paham di antara kami.

"Lo jangan ngadu ke Kai," ancamku pada Oliwa sementara orang yang diajak bicara hanya mengangkat bahu.

Melalui tatapan mata, aku berusaha meyakinkan Kia kalau hubunganku dan Oliwa tidak sedekat itu. Kia tersenyum seolah memaklumi dan aku bisa bernapas lega. Namun tidak lama, karena setelah itu Kai masuk dan menemukanku masih memijat pergelangan tangan.

"Kamu kerja terlalu keras lagi, La?" tanya Kai langsung seraya mengangkat pergelangan tanganku.

"Kenapa kamu bisa di sini?" tanyaku bodoh, mengabaikan pertanyaannya. Mata Kai berkilat tidak sabar. Dia menggumamkan kata-kata kalau akan mengobati dan membawaku ke kamar.

"Aku nggak apa-apa, Kai. Ini cuma pegal sebentar." Kata-kataku hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri sepertinya karena Kai sibuk mencari sesuatu. Dia keluar kamar sebentar dan kembali membawa bungkusan.

Rasa dingin langsung terasa saat Kai menempelkan bungkusan itu ke pergelangan tanganku. Bungkusan itu ternyata es batu yang dibalut oleh handuk kecil yang lembut. Laki-laki dengan rambut berantakan tertiup angin itu masih menunduk dan serius mengompres.

"Kai, ini nggak apa-apa. Beneran, deh."

"Jangan ambil resiko, La. Gimana kalau nantinya bengkak terus kamu jadi harus fisioterapi. Lebih parah lagi kalau harus sampai operasi."

Kupukul lengan Kai. Laki-laki ini memang paling hobi mikirin sesuatu yang belum tentu terjadi. Aku jadi ingat saat masih pacaran dulu, aku pernah terjatuh dari sepeda. Tingkah Kai seperti aku habis kecelakaan besar. Dia menggendongku dengan wajah pucat pasi, meninggalkan sepeda di taman begitu saja. Orang-orang yang melihat pasti mengira kalau aku mengalami luka parah minimal gegar otak, padahal hanya lecet di siku dan lutut yang nyaris tidak terlihat.

"Aku tahu kamu mikirin tagihan kita, La," kata Kai pelan yang membuatku langsung membeku dan was-was.

"Aku tahu kamu terima kerjaan di luar batas kapasitas kamu. Mengetik tanpa henti selama berjam-jam. Bangun pagi-pagi sekali untuk melamun di gazebo demi mendapatkan inspirasi atau duduk bermenit-menit di ruang duduk tanpa berbuat apa-apa kecuali melamun dan mengetik." Ucapan Kai selanjutnya membuatku termenung.

"Waktu nikahin kamu dulu, aku janji nggak akan membebani kamu, La. Maaf kalau aku nggak bisa nepatin janji." Kai yang berlutut di lantai untuk mengobatiku, mengangkat wajahnya.

Aku menggeleng mendengar ucapan Kai. Bukankah hubungan suami isteri dalam rumah tangga tidak sedangkal itu? Bahkan apa yang kami alami ini belum ada separuh cobaan dari orang-orang di luar sana. Kami masih memiliki tempat tinggal yang menaungi atap. Masih bisa makan tiga kali sekali dengan porsi yang mengeyangkan. Lebih dari itu, kami masih memiliki satu sama lain.

"Kai, aku nggak pernah terbebani. Justru kalau kamu memusingkan hal ini sendiri tanpa bicara denganku, itu yang akan membuatku sedih," ucapku seraya mengelus rahang Kai, menatap mata cokelat yang sedang memandangku.

Kai membawaku dalam pelukannya yang hangat. Dia mencium pelipisku dengan lembut. Sebenarnya ini sangat romantis kalau saja aku tidak merasakan kejanggalan dari sikap Kai. Biasanya dia pasti akan mengoceh panjang lebar untuk mendebatku. Sekarang Kai hanya menghela napas.

"Omong-omong kenapa kamu masuk ke dalam? Bukannya tadi kamu lagi kasih pelatihan? Udah selesai, ya?" Aku mengambil alih tangan Kai yang bergerak untuk mengompres lagi.

"Ya ampun! Aku lupa! Tadi aku mau ambil headset karena suaranya kurang jelas."

Aku tertawa melihat Kai bergerak panik dan mencari headset cadangan di laci meja. Jangan harap dalam kepanikan Kai akan memberantakkan barang. Dia menaruh segala macam pada tempatnya lalu bergegas keluar kamar sambil menyuruhku untuk terus mengompres pergelangan tangan dan meminum pereda nyeri kalau dibutuhkan.

Selepas Kai keluar kamar, aku berbaring menatap langit-langit. Ada yang disembunyikan oleh Kai dan aku bertekad akan mengetahui hal tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro