Bab 27 - Hari Saat Rahasia Terbuka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Untuk itu semua aku mencarimu. Berikan tanganmu jabat jemariku. Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu." – Payung Teduh.

Pagi ini sudah hampir tiga puluh menit aku mencari Kai di penginapan tetapi manusia satu ini tidak bisa kutemukan. Aku bahkan melongok ke dalam kardus-kardus bekas perabotan, berharap dia melompat keluar sambil teriak surprise.

Saat bangun tidur tadi, Kai sudah tidak ada. Mengira kalau dia sudah sibuk bekerja, aku dengan santainya sarapan bersama Kia. Kemudian saat Kia masuk ke kamarnya untuk mandi dan bersiap meeting, barulah aku mencari Kai ke gazebo dan salah satu kamar yang menjadi ruang kerjanya dan menyadari kalau laki-laki itu tidak ada.

"Ngapain si lo?" tanya Oliwa yang baru saja keluar dari dapur. Tangannya membawa coke dingin dalam kaleng.

"Nyariin Kai. Dia ke mana, ya? Bilang nggak sama lo?" Aku mengambil kaleng coke dari tangan Oliwa yang hanya bisa mendengkus sebal. Rasa dingin menyegarkan langsung membuat tenggorokanku seolah bernapas lega. Mengelilingi penginapan selama tiga puluh menit bukan hal yang enteng.

"Mobil ada nggak?"

Kutepuk jidat sendiri karena lupa mengecek hal paling mendasar. Di tempat ini hanya ada mobil kami dan Oliwa. Jadi kalau salah satu mobil tidak ada, berarti Kai yang menggunakannya.

Aku langsung berlari menuju ruang duduk yang mengarah ke pekarangan depan dan melihat kedua mobil masih ada pada tempatnya. Sambil mengeluh, aku mengambil ponsel dan menekan tombol untuk menelepon Kai untuk ke sejuta kalinya. Tetap tidak diangkat.

Tindakan Kai saat ini membuatku kesal. Dia tahu aku paling tidak suka salah satu dari kami pergi diam-diam. Bahkan dalam kondisi marah pun aku tetap mengatakan pada Kai kalau mau pergi. Ini semua membuatku kembali teringat pada hari Kai kabur ke pemakaman.

Kuingat-ingat lagi yang terjadi semalam. Rasanya tidak ada percakapan yang mengarah pada rencana bepergian hari ini. Dengan gelisah aku berdiri di teras depan dan mondar-mandir di sana sampai Kia dan Oliwa pusing.

Satu jam kemudian terdengar deru sepeda motor memasuki pekarangan. Keningku berkerut, lupa pada satu fakta. Mang Asep punya sepeda motor yang digunakan sehari-hari. Dalam kepanikan dan rasa kesal, fakta itu terlupakan. Di atas sepeda motor itu, aku melihat Mang Asep dan Kai.

Lucu sekali melihat Kai memakai helm yang jelas-jelas bukan miliknya. Dia pasti tidak merasa nyaman. Sebagai manusia paling bersih dan rapi yang mengalahkan ibu-ibu, Kai tidak pernah suka meminjam barang orang lain.

Aku bersidekap dengan wajah kesal saat melihatnya turun dari motor. Berbanding terbalik dengan wajah kesalku, Kai hanya memamerkan cengiran tanpa dosa. Dia membawa alat pancing dan benda lainnya seperti termos.

"Ke mana kamu?" tanyaku setelah menjawab sapaan Mang Asep.

"Mancing sama mamang," jawab Kai sambil memberikan barang-barang yang dibawanya ke Mang Asep.

Mataku memicing tajam. Sejak kapan Kai suka memancing? Dia bahkan selalu takut untuk memegang ikan hidup. Jangankan ikan hidup, membersihkan sisik ikan saja dia tidak mau.

"Ngobrol di dalam saja, yuk!" Kai tersenyum sungkan pada mang Asep yang menatap kami penuh rasa ingin tahu.

Salah satu protokol kesehatan yang kami buat adalah langsung membersihkan diri setelah sampai di penginapan atau rumah. Jadi aku menunggu Kai mandi sambil mengomel dan mengetik dengan kecepatan super.

"Kamu ngetik atau lagi nyincang keyboard sih, La?" Kai terkekeh saat keluar hanya dengan celana pendek. Dia sedang mengeringkan rambut.

Aku pura-pura tidak melihat tubuh yang menggiurkan itu. Kai mengerling selagi memilih pakaian, memastikan aku yang sedang mengetik sambil tengkurap di tempat tidur tidak tergoda olehnya.

"Maaf, ya. Tadi pas pergi mau kasih tahu tapi kamu masih tidur nyenyak. Aku lupa bilang kalau subuh-subuh mau mancing sama mang Asep. Terus sampai sana, eh sinyal nggak ada."

"Sejak kapan kamu suka mancing?" tanyaku penasaran. Kai tertawa jumawa saat tahu amarahku sedikit turun.

"Jangan senang-senang kamu! Aku masih marah! Aku tadi nyariin kamu sampai di balik kardus televisi dan lemari tahu nggak?" Aku benar-benar kesal dengan tingkah Kai yang merasa tidak bersalah seperti ini.

"Aku cuma mau ngobrol sama mang Asep. Kamu tahu sendiri, kan, kalau ngobrol di sini nggak leluasa."

Penjelasan singkat Kai membuatku langsung paham. Dia pasti mau mengobrol tentang masa satu tahun yang terlupakan. Kulihat wajah Kai terlihat tenang. Mungkin dia memang benar-benar mulai bisa menerima apa yang terjadi di masa lalu.

"Mang Asep cerita kalau keisenganku pada hari itu memang berakibat fatal. Tetapi eyang puteri dan eyang Aurio sama sekali tidak pernah menyalahkanku. Mereka beranggapan kalau apa yang terjadi adalah takdir. Hah! Takdir macam apa yang membuat seorang cucu berani melakukan hal itu pada orang yang paling disayanginya." Mata Kai kini berubah menjadi suram. Dia duduk di tepi tempat tidur dan menyugar rambut basahnya.

"Kenapa kamu nggak ngomong sama Mama atau Kak Loni?" Aku mengubah posisi menjadi duduk di samping Kai.

"Mereka juga pasti terluka dengan kejadian itu. A-aku ingat bagaimana tatapan mama padaku hari itu."

"Oh, Kai." Melupakan amarah, kupeluk tubuh besar Kai. Dia mengulurkan satu tangan dan mengusap bahuku dengan sayang.

"Maafkan hari ini, ya." Nada lembut yang digunakan oleh Kai membuatku sedikit luluh. Kupejamkan mata menikmati rasa nyaman yang selalu saja berhasil diberikan oleh laki-laki di sampingku ini.

"Aku masih marah," gumamku. Seharusnya pagi ini aku sudah berhasil menyelesaikan satu atau dua artikel tetapi aku malah mencari Kai ke sana kemari karena khawatir.

"Lagian kamu bisa-bisanya pergi di hari kerja. Memangnya nggak ada kerjaan?" gumamku lagi, merasa mengantuk karena diusap.

"Semua sudah beres kemarin. Tinggal siang ini aku meeting. Jadi kamu maafin aku?" Kai memegang pundakku dan menjauhkan tubuh kami. Mataku bisa melihat kesungguhan di mata Kai.

"Ok. Tapi jatah nasi kamu berkurang," gerutuku sambil turun dari tempat tidur sementara Kai mengerang sedih. Dia tidak pernah tidak bisa makan tanpa nasi. Katanya sudah terbiasa sejak kecil untuk makan nasi tiga kali sehari. Hukuman dariku tentu saja membuatnya kesal. Namun Kai tidak membantah. Dia hanya bangkit lalu mengikutiku keluar.

Kami menemukan Oliwa dan Kia yang duduk di area dapur. Kia sedang menyeruput kopi, masih mengenakan blazer yang dipadukan dengan celana tidur. Semenjak bekerja dari rumah diberlakukan, aku tidak pernah heran melihat cara pakaian ajaib yang terkadang tidak masuk akal. Kai saja pernah meeting dengan kemeja tetapi bagian bawahnya sarung.

"La, gue sama Ollie nanti sore balik dulu, ya? Gue harus cek ada beberapa barang buat kamar atas yang belum datang." Kia menjauhkan gelas kopi hitamnya. Dia masih saja sibuk memandangi tablet yang berisi rancangan dekorasi ruangan.

"Ok." Semalam Oliwa sudah bilang kalau pengecatan akan selesai dalam minggu ini. Tinggal melengkapi kamar-kamar dengan perabotan saja.

"Kalian kenapa nggak ada drama-drama rumah tangga dengan piring-piring berterbangan, sih? Membosankan," cibir Kia saat melihat Kai menempel padaku.

"Mana sanggup gue jauh dari Ila," sahut Kai sambil tersenyum manis padaku, mengabaikan Kia yang berpura-pura muntah.

Siang itu terasa damai. Kami bekerja bersama di meja makan sambil mengobrol. Hanya sesekali salah satu memisahkan diri saat butuh tempat sepi untuk meeting. Aku sendiri tidak beranjak dari sana. Menyenangkan bisa bekerja sambil mengobrol.

*

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika dering ponsel milik Kai terdengar. Sepertinya suamiku itu lupa membawa ponselnya saat bekerja di kamar sebelah. Teringat ucapan Kai sebelumnya kalau dia ada meeting penting yang tidak bisa diganggu, aku melihat siapa yang menelepon.

"Hai, Kak Loni!" seruku gembira. Terlebih saat terdengar suara Abe di belakang kakak Kai yang menjerit-jerit gembira.

"Oh, Hai Ila. Kai lagi meeting, ya?"

Suara Kak Loni kemudian digantikan oleh suara menggemaskan milik Abe. Aku tertawa saat anak itu menyerocos menceritakan mainan baru yang dikirimkan saat dia sedang sakit. Memang ketika mereka melakukan isolasi mandiri, beberapa kali aku mengirimkan mainan untuk Abe yang pasti merasa bosan harus terus menerus beristirahat.

Butuh sepuluh menit mendengarkan ocehan Abe sampai akhirnya Kak Loni bisa mengambil alih ponsel dari makhluk mini menggemaskan itu. Kami berdua tertawa-tawa saat mendengar protes Abe.

"Kai masih meeting, Kak. Ada yang mau disampaikan?" tanyaku setelah tawa kami reda.

"Aku mau kasih tahu ke Kai, kalau rumah kalian sudah ada yang tertarik beli."

Dahiku langsung mengernyit. Sejak kapan rumah kami dijual? Lidahku rasanya kelu.

"Jadi, calon pembelinya tertarik karena rumah itu memiliki nuansa yang nyaman. Dia langsung suka dengan ruang kerja kalian. Selain itu rumahnya juga bersih." Kak Loni terus membicarakan calon pembeli sementara aku hanya terdiam. Berusaha mengingat-ingat kapan Kai bercerita kalau dia akan menjual rumah kami.

"Ila? La? Ya udah nanti kasih tahu Kai saja, ya. Kakak mau ngurusin Abe dulu. Sejak sembuh dia jadi rakus. Apa saja dimakan." Kak Loni tertawa kecil, tidak menyadari kalau aku masih terdiam dan hanya bisa membalas lemah sebelum sambungan telepon dimatikan.

Tanpa berpikir panjang, kulangkahkan kaki menuju kamar oranye. Kubuka pintu sedikit dan melihat Kai sudah selesai meeting. Laki-laki itu sedang mengusap wajah lalu langsung tersenyum saat melihatku. Dia melambaikan tangan, menyuruhku untuk masuk.

"Kia dan Ollie sudah mau pulang?" tanyanya sambil merengkuh pinggangku.

"Kenapa rumah kita kamu jual?" Tanpa menjawab, aku malah balas bertanya. Kai sedikit tersentak.

"Kamu tahu dari mana?" Wajah Kai mendadak pias.

"Nggak penting aku tahu dari mana, tapi aku benar-benar kecewa Kai. Menjual rumah bukan perkara sepele yang bisa kamu putusin sendiri. Itu rumah kita bersama, kalau kamu ingat. Aku tahu kita butuh biaya, tapi bukan berarti menjual rumah adalah satu-satunya jalan. Kalaupun menjual, kenapa kamu nggak bilang?"

"Kita harus pindah ke desa ini, Ila. Penginapan ini nggak bisa berjalan dengan baik kalau kita hanya mengawasi dari jauh atau meminta mang Asep untuk menjaganya. Ini adalah penginapan dengan konsep bed and breakfast, jadi butuh ada orang di sini untuk mengelolanya."

Kai mencoba untuk meraih tanganku. Sambil menggeleng kecewa, aku mundur satu langkah. Setetes air mata mengalir di pipi yang dengan cepat kuusap kasar.

"Menurutmu aku mau pindah ke sini for good? Aku kecewa sama kamu, Kai. Kamu bilang kalau akan membicarakan segala hal denganku tapi kenyataannya lagi-lagi kamu membiarkanku tidak tahu apa-apa sampai saat terakhir."

Kubalikkan tubuh dan keluar dari kamar oranye. Di ruang duduk, aku melihat Oliwa dan Kia sedang membawa barang-barang mereka. Jika mereka berdua tidak ada, aku hanya akan seorang diri dalam kekecewaan. Sebuah keputusan muncul begitu saat di benakku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro