Bab 28 - Hari Ketika Aku Jauh Darimu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku hanya pergi 'tuk sementara, bukan 'tuk meninggalkanmu selamanya." – Pasto.

Aroma melati menguar ketika kubuka pintu kamar. Terdengar suara orang bercakap-cakap. Sepertinya berasal dari ruang makan. Aku berjalan ke arah suara itu perlahan. Mereka menoleh saat menyari keberadaanku.

"Tidurmu nyenyak, La?" tanya Ibu lembut.

Aku mengangguk lalu mengucapkan selamat pagi dan mengecup ibu lalu tersenyum pada ayah. Keanu hanya mengangkat roti bakarnya sebagai salam.

Pagi hari di rumah keluargaku terasa hangat dan nyaman. Sejak bekerja dari rumah, bobot tubuh ayah bahkan bertambah. Siapa lagi kalau bukan ibu yang jadi pelaku kenaikan berat badannya. Adikku sampai bilang kalau dia mati-matian menjaga berat tubuh supaya stabil karena ibu terus menerus memasak kue.

"Kata Keanu, ibu sekarang pagi siang malam masak. Tumben sarapannya roti bakar."

Adikku langsung mendelik dari seberang meja. Kalau mata bisa bicara, pasti dia berkata akan membuat perhitungan denganku. Sambil tertawa aku mengambil roti bakar dari toaster dan mengolesinya dengan selai kacang kesukaanku.

"Kamu mau makan apa? Nanti Ibu masakin. Semalam Ibu bingung mau masak apa sarapannya sampai bangun kesiangan."

Kulirik Ibu yang tersenyum hangat, memperhatikan lingkaran hitam di bawah matanya. Aku menghela napas merasa bersalah. Ibu pasti bukan memikirkan masakan melainkan aku. Dia pasti kaget melihat putri satu-satunya kembali pulang tanpa suami.

Kemarin sore, aku mengambil keputusan besar dengan meminta Kia dan Oliwa untuk mengantarkan ke rumah orang tuaku. Bukannya aku tidak menghargai Kai, tetapi aku butuh ruang untuk berpikir dan menenangkan diri.

Ibu dan ayah jelas kaget saat melihatku muncul seorang diri tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Hanya Keanu yang dengan bawelnya terus bertanya apa yang terjadi sampai Kai tidak ikut denganku. Untunglah ibu berhasil membungkam adikku dengan menyeretnya masuk ke dalam kamar.

"Kalau kamu butuh waktu menenangkan diri, rumah ini adalah yang terbaik. Istirahat ya, Nak. Besok kita mengobrol." Ayah mengucapkan kalimat itu yang nyaris membuatku menangis. Sekuat tenaga aku berjalan menuju kamar dan menangis semalaman.

Selama berpacaran dengan Kai, aku belum pernah bertengkar sehebat ini. Kami memang sering berdebat, tetapi tidak seperti ini. Semalam aku terjaga sampai lama sekali, sibuk melamun dan berpikir. Sebenarnya apa yang dipikirkan Kai sampai dia tidak mau bercerita kepadaku?

"Hari ini kamu mau ngapain, Ila?" Pertanyaan ibu memutus lamunanku.

"Menyelesaikan kerjaan terus ...." Tadinya aku berkata akan mencari cara untuk membayar tagihan renovasi penginapan. Untunglah kata-kata itu berhenti tepat waktu.

"Cuma ngurusin kerjaan saja, Bu," ucapku akhirnya sambil tersenyum. Dari sudut mata aku bisa menyadari ketiga anggota keluarga ini saling melirik satu sama lain.

*

Selama bekerja, sebisa mungkin aku tidak melibatkan perasaan pribadi. Itu sebabnya meskipun perasaan kacau balau, artikel-artikel yang kutulis berhasil selesai tepat waktu. Aku berdiri untuk meregangkan badan ketika pengingat di jam tangan memberitahu kalau sudah satu jam bekerja dengan posisi duduk.

Sambil berjalan bolak-balik, aku memperhatikan kamar yang tetap bersih dan rapi setelah aku keluar dari rumah ini. Tempat kesayanganku berada di dekat jendela kamar. Ayah membuatkan perpustakaan mini di dalam kamarku di dekat pintu geser sekaligus pencahayaan utama di sini.

Sebagian buku-bukuku sudah dibawa ke rumahku dan Kai setelah menikah. Jadi yang ada di sini hanya sisa-sisa yang enggan kupindahkan. Aku mengambil buku dengan sampul berwarna biru. Ini adalah buku yang berisi kata-kata mutiara.

Baru saja akan membaca buku itu, terdengar ketukan di pintu. Ibu melongokkan kepalanya dan tersenyum lalu masuk ke dalam kamar. Sambil menumpuk buku-buku yang berserakan di kursi kayu yang ada di kamar, Ibu menyuruhku duduk di sampingnya.

Kusandarkan kepala pada bahu yang telah bertahun-tahun menjadi sandaranku di kala lelah. Aroma kayumanis bercampur dengan melati memasuki indera penciumanku. Ibu pasti habis membuat kue dengan berhubungan dengan kayumanis. Aku selalu suka aroma ibu. Dulu saat masih bersekolah, aku sering terburu-buru pulang untuk memeluk ibu dan mencium berbagai macam aroma lezat yang menempel di tubuhnya selagi memasak.

"Aku kangen Ibu." Kata-kata itu melompat begitu saja dari bibir. Ibu kembali tersenyum dan merangkul bahuku sementara tangannya yang bebas menggenggam jemariku.

"Ibu lebih kangen lagi, La. Sekarang nggak ada lagi yang nungguin Ibu di dapur sambil sibuk nanya ini itu. Padahal dulu itu kamu cuma modus ya, La. Biar dapat potongan kue pertama."

Aku tertawa mendengar ucapan Ibu. Itu adalah masa-masa menyenangkan. Masa di mana aku tidak dipusingkan dengan tingkah Kai atau hal-hal seperti warisan dan penginapan. Mengingat Kai membuat senyumku menghilang.

"Kamu ingat Kai?" Seorang Ibu memiliki intuisi tajam tentang apa yang terjadi pada anaknya. Aku mengangguk tetapi masih enggan untuk bercerita.

"Kamu tahu kalau bisa bercerita apa saja pada Ibu, kan? Janji, deh, Ibu nggak bakal menghakimi atau apa pun itu yang menyebalkan."

Kupeluk Ibu dengan rasa sayang. Ingin rasanya menumpahkan semua rasa cemas dan gelisah. Namun lagi-lagi kuurungkan niat itu karena tidak mau membuat Ibu khawatir.

"Cukup peluk aku saja, Bu. Dengan begitu semua perasaanku yang kacau balau akan membaik."

Pelukan Ibu adalah obat paling mujarab di muka bumi. Aku merasakan seluruh tubuhku menjadi lebih tenang meskipun perasaanku masih kacau. Setidaknya ini adalah kemajuan. Setelah itu aku berbaring di pangkuan Ibu, seperti masa kecil dulu. Kami bercerita banyak hal kecuali Kai, sampai tiba waktu makan siang.

Sore harinya, aku keluar kamar untuk menghirup udara segar. Ada ayah yang sedang menyiram tanaman. Taman rumahku sangat terawat berkat Ayah, apalagi semenjak beliau bekerja dari rumah. Setiap sore adalah me time Ayah dengan tanaman.

"Ini bunga baru, Yah?" tanyaku sambil memperhatikan tanaman yang luput terlihat semalam.

"Iya. Baru tiga mingguan ditanam. Namanya peace lily."

Aku tertawa mendengar nama bunga itu. Sepertinya nama itu cocok sekali. Warna putih dan hijau seolah berpadu dengan indah.

"Arti bunga itu adalah kedamaian. Ayah cuma berharap kalau rumah ini bisa membawa kedamaian pada siapa pun yang datang."

Ayah pasti sedang membujukku untuk bercerita. Aku hanya tersenyum dan mengatakan kalau nama, arti dan bentuk bunga itu sungguh cantik. Kualihkan pembicaraan dengan bertanya-tanya apa saja tanaman yang belum pernah kulihat.

Sejak pandemi, aku memang lebih sering berkomunikasi melalui video call. Mungkin saja Ayah sudah pernah memberitahu tetapi aku lupa. Sekarang kupuaskan mengobrol dengan Ayah tentang kecintaannya pada tanaman.

"Ila, kamu nggak usah musingin tagihan. Nanti bisa Ayah atur tenggatnya," ucap Ayah setelah selesai menyiram dan mengurus tanaman. Kami sedang makan camilan dan minum teh hangat di teras.

Ucapan Ayah kembali mengingatkanku pada Kai. Apa yang sedang dilakukan suamiku itu sekarang? Separuh pikiranku tergoda untuk langsung menghubungi Kai, tetapi separuh lagi mengingatkan tentang tindakannya yang ingin menjual rumah kami tanpa berbicara. Apalagi soal pindah ke penginapan.

"Makasih, Yah. Tapi nggak usah repot-repot. Biar kami yang urus," ucapku pelan, bersusah payah menelan potongan pisang goreng hangat lezat yang sekarang seperti sebongkah kayu.

"Tinggallah di sini sampai kamu merasa tenang." Ayah beranjak masuk ke dalam rumah setelah mengusap kepalaku dengan sayang.

Kualihkan pandangan pada langit yang mulai memerah tanda malam akan segera tiba. Suasana sore ini begitu tenang. Seperti saat aku duduk di gazebo penginapan. Tubuhku berada di rumah masa kecil dengan pikiran melanglang buana di penginapan.

"Masalahnya berat banget ya, Kak?" Tiba-tiba saja suara Keanu mengagetkanku.

"Kakak biasanya bawel dan berisik. Ini sekarang diam sampai aku takut," ucap Keanu lagi.

Kupukul lengan adikku yang iseng ini. Dia hanya tertawa lalu duduk dan mengambil sepotong pisang goreng. Keanu menyilangkan kakinya dan menggumamkan pujian untuk pisang goreng.

"Nggak usah terlalu sedih atau mikirin, Kak. Pelan-pelan saja. Nggak semua harus selesai dalam satu waktu."

Aku menoleh ke arah Keanu yang sedang tersenyum. Padanya aku seperti melihat pantulan diri sendiri. Orang-orang memang sering mengatakan bahwa kami mirip kecuali tinggi tubuh. Namun bukan itu yang membuatku terkejut. Meskipun perbedaan usia kami tidak jauh, tetapi aku selalu saja menganggap Keanu sebagai adik kecil. Ucapannya yang tidak disangka-sangka itu membuatku teringat kalau adik kecil yang kerap menangis sambil membuang ingus itu sudah beranjak dewasa.

"Kakak capek, Nu," jawabku tanpa sadar.

"Kalau capek, istirahat nggak apa-apa. Tapi jangan pernah lari dari masalah, Kak," ucapnya lagi.

"Kamu kesambet apa, sih? Tiba-tiba jadi bijak gini," ucapku sambil tertawa.

Keanu hanya tertawa memamerkan geligi putih dan gingsulnya. Kami membicarakan banyak hal setelahnya. Mulai dari gosip terkini sampai pada hal-hal remeh. Aku menyadari bahwa ada banyak hal yang belum kuketahui tentang adikku sendiri.

Saat tumbuh besar, kesibukan membuat kami sedikit menjauh. Kemudian aku menikah, yang menyebabkan jarak itu semakin besar. Kutatap Keanu dengan sayang lalu mengacak-acak rambutnya yang langsung dia balas. Hari itu aku banyak tertawa dan lebih tenang meskipun pikiranku masih campur aduk.

Kia meneleponku setelah makan malam. Aku memang berjanji untuk bercerita padanya malam ini. Kemarin saat pergi dari penginapan, Kia dan Oliwa tidak bertanya apa-apa. Mereka hanya menepuk bahu Kai dan membantuku membawa barang-barang. Sepanjang perjalanan yang canggung pun mereka tidak mengucapkan apa-apa.

"Lo udah lebih tenang, La?" tanya Kia sesaat setelah kuangkat teleponnya.

"Iya. Thanks ya, Ki. Lo sama Ollie udah nganterin gue ke sini."

"No worries, La. Gue sama Ollie senang kalau bisa bantu lo tapi ...." Kia menggantungkan kata-katanya dan menghela napas. Kutunggu beberapa saat tetapi Kia tidak melanjutkan ucapannya.

"Lo bisa cerita apa saja ke gue, La. Gue nggak bakal ngehakimin lo atau gimana, deh."

Aku tertawa saat mendengar kesamaan ucapan Kia dan Ibu. Dua perempuan hebat itu memang tahu sekali apa yang kupikirkan.

"Gue sama Kai lagi ada masalah. Jadi gue perlu waktu buat nenangin diri dan berpikir di sini. Kalau di sana, rasanya gue sesak tiap ngeliat Kai," ujarku pelan.

"Ok. Lo nggak perlu cerita sama gue kalau ngerasa nggak nyaman. Cuma lo perlu tahu kalau gue akan selalu ada buat ngedukung lo."

Air mata haru terbit di pelupuk mata. Seharian ini rasanya aku baru melihat kalau dikelilingi oleh orang-orang baik yang bersedia ada meskipun aku tidak bisa bercerita. Ingatanku kemudian kembali pada Kai. Apakah ini yang dia rasakan padaku? Tidak bisa bercerita karena takut menyusahkan dan membuatku memikirkan banyak hal?

Hatiku perih saat menyadari kalau Kai mungkin merasakan hal yang sama denganku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro