Bab 29 - Hari Saat Kumerindukanmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"People in life, they will come and they'll leave. But if I had a choice I know where I would be." - Alessia Cara.

Suara ponsel membuatku mengalihkan pandangan dari laptop. Melihat nama di caller id, membuatku hampir mematikan panggilannya. Namun sepertinya tindakan itu sangat kekanak-kanakan. Jadi kuangkat teleponnya.

"Ila ...." Suara yang memanggil namaku setelah mengucapkan salam itu terdengar bergetar.

Terus terang, aku hampir saja luluh saat mendengar suaranya memanggilku. Ada kerinduan yang tidak bisa dipungkiri, hadir dalam hatiku.

"Kamu kapan pulang, La?" tanya Kai dengan suara yang terdengar sedih.

"Kamu bilang aku boleh di sini sampai tenang," jawabku pelan.

Sehari setelah pembicaraan dengan Kia, aku memang mengirim pesan pada Kai untuk meminta waktu tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara. Kai tidak bisa berbuat apa-apa selain setuju.

"Tapi ini sudah seminggu, Ila. Renovasi sudah selesai dan Kia juga sudah menata perabotan di dalam kamar lantai atas." Kali ini suara Kai lebih seperti merengek.

Kuhela napas dengan berat. Seminggu ini aku banyak berpikir tentang apa yang Kai ucapkan. Aku memang tidak mau tinggal di penginapan karena berbagai macam alasan. Salah satunya adalah jarak tempuh yang cukup jauh dengan keluargaku atau keluarga Kai.

Usia orang tua kami tidak lagi muda. Papa Ansell mengalami masalah di kelenjar getah bening setelah terkena COVID-19 kemarin. Sepertinya daya tahan tubuh yang turun membuat penyakit lain masuk dengan mudah. Sementara ayahku yang terlihat bugar, juga memiliki masalah dengan asam urat. Sesuatu hal yang baru kuketahui tiga hari belakangan. Itu juga karena aku memergoki Ayah yang berjalan pincang.

Selain itu, aku juga tidak setuju untuk menjual rumah kami. Meskipun tidak mewah, itu adalah harta pertama yang kami beli dengan keringat sendiri. Baru beberapa bulan kami tinggal di sana.

Di atas semua itu, aku marah karena tidak diajak berdiskusi. Kai memang sering memperlakukanku dengan lembut seolah aku adalah guci porselen. Walaupun kami berdebat, tetapi dia lebih sering meminta maaf. Aku tahu dia tidak ingin menambah beban pikiranku. Namun itulah yang membuatku lebih marah lagi. Seolah-olah aku hanya orang yang berfungsi sebagai isteri bukannya pasangan hidup.

Sebenarnya lagi, aku hampir tidak tahan tinggal di rumah ini. Sejak dua hari yang lalu, Ibu dan Ayah terus menanyai apakah Kai benar-benar memperlakukanku dengan baik atau tidak. Mereka juga semakin khawatir pada hal yang tidak terjadi.

Keanu bilang padaku kemarin kalau Ayah dan Ibu berpikir Kai memperlakukanku dengan buruk karena status sosial kami yang berbeda jauh. Aku tertawa dalam hati karena justru Kai yang seakan ingin membuang status sosialnya.

Sebagai bagian dari keluarga konglomerat di Indonesia, harus kuakui kondisi Kai sangat lucu. Bayangkan saja, saat keluarga konglomerat lain dengan entengnya membeli ini itu yang tidak masuk akal, Kai masih berkutat dengan tagihan renovasi penginapan yang biayanya mungkin hanya untuk jajan anak konglomerat.

"Ila ...." Suara Kai memutus lamunanku.

"Aku minta maaf, Ila. Bukannya bermaksud tidak mengajakmu bicara. Sebenarnya malam itu aku mau menceritakan segalanya padamu. Hanya saja, kakakku mendahului."

Kupejamkan mata, menahan dorongan untuk berlari pada Kai saat itu juga.

"La, aku kangen kamu."

Aku tidak tahan lagi. Air mataku menetes satu persatu. Mendengarku terisak, Kai langsung kaget. Dia sibuk bertanya dan tiba-tiba memutuskan sambungan telepon saat aku tidak juga menjawab.

Seseorang merengkuh tubuhku dalam pelukan. Aku hanya bisa menghirup aroma kayumanis dan melati karena pandanganku kabur oleh air mata. Jika sebelumnya aku berjuang menahan perasaan, kini aku tidak tahan lagi. Dalam pelukan Ibu, aku terisak-isak bagaikan anak berusia empat tahun.

"Lepaskan Haila. Lepaskan semua bebanmu," bisik Ibu sambil terus mengusap-usap punggungku.

Setengah jam kemudian, aku sudah lebih tenang. Aku dan Ibu duduk bersandar pada head rest tempat tidur. Jemari Ibu menggenggam tanganku. Baru kusadari kulit Ibu tidak lagi sekencang dulu. Sudah ada keriput-keriput yang menandakan usia tuanya.

"Kamu bisa cerita apa saja pada Ibu, Ila."

Kemudian meluncurlah ceritaku tentang biaya renovasi penginapan, trauma yang dialami oleh Kai dan segala hal yang terjadi pada kami beberapa bulan belakangan. Raut wajah Ibu sama sekali tidak berubah saat mendengarkanku.

"Kamu tahu, La? Ibu merasa beruntung kamu bertemu dengan Kai."

Aku menatap Ibu dengan heran. Setelah semua cerita itu, Ibu menganggapku beruntung bertemu dengan Kai? Melihat wajahku yang heran karena ucapan yang tidak nyambung, Ibu tertawa.

"Kamu masih ingat waktu Kai meminta izin pada Ibu dan juga Ayah untuk dekat denganmu?"

Tentu saja ingatan tentang hari masih segar di kepala. Sebelum kami berpacaran, Kai meminta izin dulu pada Ayah dan Ibuku. Ini sesuatu hal yang lucu. Usia kami bahkan bukan lagi usia remaja dengan cinta monyet yang mendebarkan.

"Baru dekat saja dia sudah minta izin. Kamu tahu kenapa Ayah dan Ibu tidak bertanya apa-apa saat kamu datang?" Ibu membelai rambutku sambil tersenyum hangat.

"Kai menelepon Ibu. Dia meminta maaf karena telah melakukan kesalahan sampai kamu pergi dari sisinya. Awalnya Ibu marah sama dia. Berani-beraninya melukai perasaan anak perempuan Ibu. Kirain kalian berantem karena orang ketiga."

"Ibu terlalu banyak nonton drama korea perselingkuhan, kali," ucapku sambil tertawa dan menggeleng-geleng.

"Kai sampai bersumpah kalau bukan itu yang terjadi. Tapi dia juga menolak untuk memberitahu. Kai juga meminta izin supaya kamu tinggal di sini untuk sementara sampai kamu tenang." Mata Ibu bersinar.

"Haila sayang, ada berapa banyak laki-laki yang akan melakukan hal sama dengan Kai? Jawabannya hampir tidak ada. Bayangkan, kalian bertengkar dan dia mengaku pada kami kalau telah menyakiti dirimu. Kalau bukan kurang ajar, itu berarti berani sekali."

Aku termenung mendengar cerita Ibu. Sama sekali tidak menyangka kalau Kai bisa tahu aku pasti akan pulang ke rumah orang tuaku. Aku juga tidak tahu kalau Kai bisa bertindak se-gentle itu.

"Selesaikan masalah kalian bersama-sama. Ibu rasa, sudah cukup waktu bagi kalian untuk merenung. Ini sudah waktunya mengambil keputusan." Ibu menepuk-nepuk punggung tanganku lalu bergerak untuk turun dari tempat tidur.

"Daripada kamu bengong-bengong, mendingan bantuin Ibu bikin kue, yuk. Adik kamu minta tiramisu buat camilan nanti sore katanya."

Kuhela napas dan ikut beranjak turun dari tempat tidur. Sepertinya memasak kue lebih menyenangkan daripada merenung seorang diri di sini.

Sebagai ratu di rumah ini, dapur adalah pusat kerajaan Ibu. Dulu pun aku hanya diperbolehkan membantu Ibu di dapur setelah menyelesaikan sejumlah syarat yang terkadang ajaib. Aku pernah disuruh untuk menghitung jumlah cengkeh di toples. Belum lagi harus menebak mana lada dan mana ketumbar dengan mata tertutup. Sekarang baru kusadari bahwa itu adalah cara Ibu untuk melatihku agar bisa mengetahui bumbu-bumbu.

"Menurut Ibu, aku harus mengikuti keputusan Kai untuk tinggal di penginapan?" tanyaku sambil mengocok kuning telur dan gula sesuai dengan petunjuk Ibu.

"Tergantung apa keputusan kalian nanti. Tapi kalau menurut Ibu pribadi, sih, ya nggak masalah tinggal di sana. Udaranya segar, halamannya luas. Cocok buat kalian membesarkan anak nanti."

"Ibu, apaan, sih?" Ucapan mengenai anak, membuatku malu. Kalau dipikir-pikir, sebelum-sebelumnya aku dan Kai memang tidak pernah membicarakan anak. Orang tua kami tidak pernah menuntut jadi kami juga merasa santai. Kalau sampai dengan saat ini aku belum hamil, mungkin memang belum dipercaya oleh Tuhan.

"Lah, ya bener, Ila. Apa pun keputusan kalian, selama itu untuk kebaikan, Ayah dan Ibu pasti setuju."

"Tapi kalau aku di sana, nanti jauh dari Ibu," ucapaku pelan.

Tubuh Ibu berputar cepat sampai aku harus sedikit merunduk atau terkena spatula yang masih ada dalam genggaman Ibu. Tanpa memedulikan wajahku yang kaget, Ibu mendekat dengan raut wajah serius.

"Jadi selama ini kamu mikir-mikir lama banget sampai Ibu kira kamu mau pindah lagi ke sini itu karena mikirin jauh dari kami?"

Aku hanya bisa mengangguk karena kaget. Lebih kaget lagi ketika Ibu malah tertawa terbahak-bahak sampai aku harus menyingkirkan segala macam peralatan dan adonan supaya tidak terkena muncratan droplet Ibu.

"Ngapain kamu singkirin itu? Ibu, kan pakai masker buat masak." Ibu mendelik saat melihatku menyingkirkan segala macam barang dari hadapannya.

"Eh? Maaf, Bu. Reflek. Aku lupa," cengirku tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar lupa kalau sejak pandemi Ibu menyuruh siapa pun yang ada di dapur untuk memakai masker memasak yang terbuat dari plastik, untuk menghindari jatuhnya droplet ke dalam masakan. Terima kasih pada mama Mili yang telah mengajarkan pada kami.

"Ila, mau kamu jauh atau dekat, bagi Ibu kamu selalu ada. Di dalam doa, hati dan ingatan. Jika itu yang terbaik, maka lakukanlah."

Kutatap wajah Ibu dengan pandangan matanya yang tenang. Kata-katanya merasuk dan membuat bulu kudukku merinding karena haru. Aku memalingkan wajah sambil mengerjap supaya tidak menangis. Bisa repot kalau menangis dalam kondisi memasak seperti ini.

"Orang tua Kai juga pasti memikirkan hal yang sama. Bagi kami orang tua yang mulai keriput ini, melihat anak-anak bahagia adalah hal yang membahagiakan juga."

Sebagai ganti tepukan di bahu, Ibu menyikut lenganku lalu mengubah topik menjadi serangkaian instruksi. Selama beberapa menit berikutnya pikiranku yang penuh teralihkan dengan mengoles molten espresso untuk menambah kelezatan tiramisu.

Satu jam kemudian aku meregangkan tubuh sementara tiramisu didinginkan. Rumah terasa sepi. Ayah dan Keanu sejak tadi pagi sibuk di dalam kamar untuk mengurus proyek. Sementara Ibu baru saja masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.

Aku duduk di ruang keluarga sambil memandangi foto-foto yang dipajang di sana. Selain foto-foto masa kecilku dan Keanu, juga ada foto-foto di pernikahan. Kusentuh fotoku yang sedang mencium punggung tangan Kai, merasakan kerinduan yang besar pada laki-laki itu.

Suara bel rumah terdengar tiba-tiba, membuatku terlonjak. Aku bergegas beranjak ke pintu depan sebelum Ibu terganggu dengan suara belnya. Kubuka pintu sambil berpikir siapa tamu yang datang di siang hari ini lalu terhenyak. Laki-laki yang kurindukan tepat berada di hadapanku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro