👑37👑

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka mulut, membiarkan satu suap bubur nasi masuk ke dalamnya. Rasanya hambar, mengingatkanku pada makanan di rumah sakit. Tidak kusangka akan merasakannya lagi di dunia ini. Tanganku masih diperban, padahal ku yakin lukanya sudah hilang. Dhara khususnya tidak mengizinkanku untuk memegang sendok sendiri. Mau tidak mau Dhara yang menyuapiku. Dan kali ini, Silas yang melakukannya.

"Makanlah yang banyak. Kau tahu, tubuhmu seperti bulu yang bisa terbang jika tertiup angin," ujatnya dengan wajah datar.

Aku merengut sambil menguyah makanan di dalam mulut. Kenapa dia dingin seperti ini, padahal sesaat setelah mendengarku bangun, Silas berlari ke kamarku dan langsung memeluku dengan erat. Ah ... Mengingatnya membuaku malu. Dia tidak harus seperti itu kan? Dhara saja nampak biasa, walau sempat kaget. Ya tentu, 2 minggu bukan waktu yang sebentar. Padahal aku berharap tidak lagi terbangun sebagai Real. Aku tidak ingin berhadapan dengan Rina untuk kedua kalinya.

"Hei! Apa yang kau pikirkan seserius itu?" Tegur Silas sambil memainkan sendok.

"Bukannya kau banyak pekerjaan? Kenapa kau di sini?" Gerutuku.

"Memangnya tidak boleh? Lebih baik mencemaskanmu daripada pekerjaanku. Lagipula sudah ada yang melakukannya untukku," senyum liciknya kembali.

"Terserah kau saja," aku mendengus keras.

Aneh, Silas tidak menanyakan apapun terkait penculikan itu. Dia pasti sudah tahu pelakunya. Dhara juga melihat Rina dengan jelas saat itu. Walau aku yakin, mereka tidak tahu motiv aslinya. Aku juga tidak ingin membahas. Apa yang perlu ku bahas memangnya? Semua sulit untuk di terima dalam satu renungan. Sampai saat ini pun aku belum bisa menerimanya. Mataku menatap arah luar, embun menempel pada jendela, padahal saat ini masing siang hari. Itu berarti, musim dingin sudah datang.

"Kita akan ke Cleopat minggu depan," cetus Silas.

"Apa? Bukannya itu terlalu cepat?" Sebelum aku kembali bertanya, Silas kembali menyodorkan satu suap bubur.

"Aku tahu kau baru bangun. Tapi musim dingin sudah datang. Dan aku benci udara dingin."

Aku merasa itu hanya dalih saja. Walau aku tidak tahu pasti dia ingin kabur dari apa. Terlalu arogan jika aku berfikir Silas ingin segera pergi karena takut hal buruk sebelumnyab kembali terjadi. Aku yakin ada alasan lain mengapa Sila ingin segera pergi. Dan aku tidak ingin mempertanyakannya lagi, akupun tidak ingin bertemu dengan Rina di sini.

"Baiklah, terserah saja." Silas diam sambil menatapku dengan serius. Tentu saja dilihat seperti itu membuaku malu. "Hei! Kenapa kau melihatku seperti itu?" Bentakku.

Dia berdecak dan meletakan mangkuk yang sudah kosong ke atas meja. "Kau tidak seperti orang yang baru bangun setelah 2 Minggu. Ya mungkin memang tubuhmu yang semakin kurus dan wajahmu sedikit pucat. Tapi sifatmu sama saja."

"Memangnya kau berharap aku nampak lemah dan hanya berbaring di kasur seperti tidak punya tenaga. Seperti itu?"

"Tidak, aku suka kau yang seperti ini," jawabnya sambil tersenyum. Semakin lama, Silas membuatku takut.

Aku memalingkan tatapan. Kurasa ini waktu yang tepat untuk memanfaatkannya lagi. Terlepas dari Rina, aku harus tetap meluruskan alur yang sempat dibuat kacau karena kehadiranku dan Rina. Memang aku harus menjalani hidupku sendiri tanpa memikirkan alur cerita yang sudah tidak ada lagi hubungannya. Namun tetap saja, aku orang dewasa yang tahu mana benar mana salah.

"Ngomong-ngomong, ada satu hal yang ingin kulakukan sebelum pergi ke Cleopat," gumamku dengan suara kecil.

Silas tersenyum dan mendekatkan wajah padaku. Membuatku harus memundurkan kepala. "Katakan saja," jawabnya dengan ekpresi yang membuaku geli. Dia tidak pantas belagak manis seperti itu. "Tapi tentu saja ada bayarannya. Aku tidak ingin kau manfaatkan terus menerus tanpa bayaran."

Pantas saja dia memasang wajah seperti itu. Aku mengehela nafas panjang. "Baiklah, aku akan membayarnya saat kita di Cleopat."

Dia kembali tersenyum manis yang membuat tubuhku merinding. "Katakan saja apa yang kau mau, Real."

###

Aku duduk di balkon, masih dengan setelan gaun tidur berwarna merah muda, dan selimut yang menutupi bahuku. Dhara menyisir rambutku dengan lembut, tangannya begitu lihai merapikan bagian kusut tanpa membuaku merasa sakit. Sesekali dia mengoleskan krim khusus, agar rambuku tidak rusak dan tetap wangi.

"Anda memanggil saya lady?" Tanya Bea yang masuk dengan wajah bingung walau masih tetap tersenyum. Sulit baginya berpisah dengan Anais, bahkan saat mereka berkerja.

"Mendekatlah Bea," ujarku.

Tanpa ragu dan sambil tetap tersenyum, Bea berjalan mendekatiku. Dia masih nampak bingung, wajar karena biasanya aku hanya memanggil Dhara. Bea dan Anais datang hanya saat merapikan kamar, dan ketika aku berganti pakaian.

"Adikmu sudah nampak sehat sekarang," ujarku basa basi. Dari balkon ini aku bisa melihat Anais nampak riang menyiram bunga bersama beberapa pelayan istana.

"Itu berkat Lady, adik saya dan saya bisa hidup nyaman di sini. Saya sampai sekarang masih berutang pada Lady."

Aku tersenyum kecil, bersamaan Dhara yang sudah selesai menyisir rambutku. Dhara melatakan sisir ke atas meja, dan berdiri di belakangku.

"Berkat kau juga Silas datang menyelamatkanku tepat waktu. Aku sangat berterima kasih padamu."

Wajahnya nampak sangat senang, pipi Bea memerah. "Tidak,itu belum seberapa dengan kebaikan Lady." Dia pasti merasa terbang sangat tinggi.

Aku menyengir. "Tapi kenapa kau tidak langsung memberikan pita itu. Padahal jika kau langsung memberikannya, aku tidak perlu koma selama 2 minggu."

Mendadak Bea nampak pucat. Walau dia masih berusaha tetap tenang. "Itu karena saya tersesat lady," jawabnya. Dia mengepal kedua tangannya.

"Kau berarti tidak menyangkal terlambat memberikan pita itu."

Suasana mulai mencekam, wajah senang di raut Bea menghilang dan berganti dengan wajah ketakutan. Setetes keringat keluar dari keningnya, padahal hari ini terasa dingin bukannya gerah sampai harus bercucuran keringat padahal tidak melakukan pekerjaan berat.

"Ngomong-ngomong sampai saat ini temanmu Layla belum juga di eksekusi. Sepertinya dia kekurangan bukti. Entah karena dia sudah menghilangkan semua buktinya, atau seseorang yang menghilangkannya. Sayang sekali saat kita ke sama Layla tidak mau bicara."

"Karena Layla, pertunangan anda dengan Grand Duke hancur. Apa anda khawatir karena dia tidak kunjung di eksekusi lady?" Tanya Bea dengan ritme suara yang bergetar.

Aku menatapnya dengan tajam. "Kau tahu, aku tidak pernah membencinya. Aku hanya tidak suka dengannya. Itu dua hal yang menuruku berbeda. Dan lagi, sepertinya bukan aku yang khawatir dia tidak kunjung di eksekusi," jawabku dengan lantang.

Bea kembali nampak membantu. Wajahnya saat ini benar-benar nampak pucat. Aku bahkan bisa melihat tangannya yang gemetaran walau sudah saling menggenggam. Sepatunya bergetak sedikit ke belakang. Aku belum pernah dia memasang ekpresi seperti itu sebelumnya, ketakutan besar ketika seseorang tahu kebenaran yang sedang ia sembunyikan

"Jadi Bea apa alasanmu terlambat? Kau yang tersesat ... Atau kau yang masih mengikuti perintah Carina Cane?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro