👑43👑

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semakin kami berjalan, salju yang terlihat semakin memudar. Hingga akhirnya tidak terlihat sama sekali tumpukan berwarna putih itu. Tidak hanya salju, tumbuhan di sekitar juga semakin sepi, yang tadinya lebat walau gundul karena musim dingin. Tanah cokelat perlahan digantikan dengan warna kuning yang gersang. Bukti-bukit yang tertutup pepohonan dan rumput, kini hanya terlihat sebagai bebatuan besar yang ditumpuk.

Kami sudah sampai di Cleopat, tanpa Silas mengatakannya aku juga sudah tahu dari hawa panas yang kurasakan ini. Banyak orang berjalan ke sama kemari dengan kain yang dililitkan di badan dengan sabuk dan tanpa jahitan. Ini sama seperti pakaian bangsa yunani dan mesir era sebelum masehi. Mungkin aku sudah terbiasa di kerajaan Cinder dengan nuansa eropa abad pertengahan, sehingga melihat keadaan di Cleopat merasa sedikit terpukau. Hal yang kubayangkan saat menulis kini bisa kulihat langsung. Mungkin hal seperti ini yang diimpikan setiap penulis.

"Bagaimana kabar Anais?" Tanyaku pada Silas dihadapanku. Lebih baik mencari topik daripada merasa canggung karena Silas yang sedaritadi menatapku dengan aneh.

"Maksudkmu adik pelayanmu yang keturunan budak itu?"

"Bisakah kau lembutkan nahasamu," tehurku.

Dia malah terkekeh. "Jangan khawatir, Xi sudah mengurusnya. Sebelum kakaknya dieksekusi, dia diantarkan ke Academy yang jauh dari ibu kota. Aku juga memberinya nama baru, sehingga dia tidak akan kesulitan karena merupakan keturunan kaum budak."

"Mungkinkah dia akan segera sadar kakaknya sudah mati sekarang?"

"Entahlah, dia pasti akan sangat terpukul mengetahui orang yang sangat berharga baginya sudah tidak ada," Silas mengatakan itu seperti merasakannya langsung. Tentu saja, karena itu yang ia rasakan ketika kehilangan ibunya, Lina. Tidak ada orang di dunia ini yang memperlakukan Silas sebaik Lina. Bahkan ayahnya, sang Raja, sama seperti bangsawan lain, dia melihat anaknya sebagai sebuah aset. Tak jauh beda dengan Real.

"Bagaimana dengan pelayan itu? Maksudku Layla."

Silas menatapku dengan heran. "Kau sepertinya sangat peduli dengan mereka."

Tentu saja, aneh mengatakan bahwa aku memiliki simpati pada mereka seperti seorang ibu dan anak. "Aku hanya penasaran," sahutku sambil mengalihkan padangan.

"Kudengar dia pulang ke kampung halamannya. Bukannya kita pernah membhas soal ini?"

"Iyakah? aku lupa," aku terkekeh.

Kami sampai, ke sebuah bangunan yang tersembunyi di antara gedung. Dari luar mungkin nampak seperti rumah rakyat biasa yang sederhana. Namun di dalamnya hampir setera dengan masion count Deana. Beberapa pelayan berkulit hitam menyambutku dan Silas. Mereka langsung menuntuk kami ke kamar masing-masing, seraya menyiapkan bak mandi juga pakaian ganti, sebelum nantinya makan malam.

###

Aku melihat sekeliling, banyak tenda-tenda dan tikar di gelar untuk berdagang. Berbagai macam barang ada di sini, namun kebanyakan adalag rempah, batu-batu sihir, dan lampu hiasan. Silas berdiri di belakangku, dan setiap kali aku meliriknya, dia tersenyum padaku. Seperti biasa, Silas menutupi rambutnya dengan selendang yang digulung. Sedangkan aku memakai tudung agar tidak terlalu mencolok.

"Katanya Nanti malam akan adalah hari perayaan, pasti akan lebih ramai dari sekarang," ujar Silas. Dia menatapku sambil tersenyum kecil. "Kau mau pergi bersamaku?"

Aku merengut. "Aku ingin melihatnya, tapi aku tidak setuju jika harus berdekatan dengan orang berbahaya sepertimu."

"Ayolah, cuma aku yang kau kenal dekat sekarang."

Aku mengabaikan ucapannya. Mataku lalu teralihkan pada pedang batu Lazuardi. Yang membuatku tertarik adalah pedang itu merupakan seorang anak kecil yang kedua matanya di tutup oleh perban. Dari cara anak itu bertingkah, sudah pasti dia buta. Sedikit iba dan merasa tertarik, aku mendekati anak itu.

"Batu yang cantik," ujarku sambil menatap batu biru di sana.

"Terima kasih, itu sama seperti warna mata nona," sahutnya. Aku terkejut mendengarnya.

"Apa kau bisa melihat walau matamu tertutup?" Tanyaku dengan nada lugu.

Dia menggelengkan kepala. "Sebenarnya kedua mataku di ambil ayahku." Aku terteguk mendengarnya. Apalagi anak itu mengatakannya sambil tersenyum. "Tapi, aku seorang penyihir."

Aku hampir melupakan bahwa sekarang sedang berada di Celopat. Di mana sihir adalah bagian dari kehidupan sehari-hari orang di sini. Aku menatap sekitar, banyak para pedagang dan orang-orang beraktivitas dengan bantuan sihir. Memang tidak semuanya, tapi itu hal umum bagi mereka.

"Aku tidak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan aura. Nona sangat unik, karena badan dan jiwa nona berasal dari 2 tempat yang berbeda," lanjutnya.

Sekali lagi aku dibuat terkejut. Namun sebelum mengatakan lebih lanjut, aku mengamati sekitar. Silas sepertinya sedang sibuk berbicara dengan seorang pedagang, karena tujuan dia ke pasar ini adalah mencari relasi untuk pasar gelapnya. Kurasa aman untuk melanjutkan percakapan ini.

"Kau benar, aku bukan berasal dari sini," sahutku dengan senyum lebar. "Apakah kau tahu cara mengembalikan jiwaku dari sini?" Ini memang pertanyaan yang tidak masuk akal. Tapi lebih baik dicoba.

Anak itu terdiam cukup lama, rambut coklatnya tertiup angin kecil, dan aku bisa mencium bau rumput kering darinya. Dia tersenyum kecil, sebelum menjawab pertanyaannku. "Bukankah ini yang nona inginkan?" Anak itu berbalik bertanya.

Aku termenung, berusaha memahami apa yang ia maksud. Kenapa dia justru memberiku pertanyaan. "Yang kuinginkan adalah kembali," jawabku.

"Sebelum memulai hal lain, alakah baiknya jika manusia menyelesaikan masalah yang ia alami. Terkadang manusia berfikir dangkal dan mengakhiri semuanya dengan paksa, lalu menginginkan hal lain yang akhirnya disesali," ujarnya. Namun aku tidak mengerti. Aku bahkan tidak bisa membalas ucapannya karena kebingungan. "Semoga Nona bisa menemukan jawabannya."

###

Aku dua potong kain putih yang dililitkan ke tubuh, ini pakaian umum di Cleopat. Mirip dengan pakaian masa mesir kuno. Pelayan di sini tidak terbiasa menghias rambut, karena kebanyakan orang Cleopat menyukai rambut terurai, dan mungkin sesekali menggulung rambut mereka ketika merasa kepanasan. Sehingga selama menunggu kedatangan Silas, aku mengepang rambuku sendiri.

Fikiranku masih sedikit kacau sejak pertemuanku dengan anak tadi. Apa maksudnya 'Ini adalah keinginanku?'. Apa ada memori yang hilang? Mungkin saja, karena aku tidak mengingat apa yang terjadi sebelum menjadi Real. Dan aku hanya mengingat hal-hal berkaitan dengan Rina. Termaksud teaumaku itu. Selain itu, bagaimana aku menjalani hidup jauh sebelum itu, aku tidak terlalu ingat. Apa mungkin aku membuat kesalahan besar?

"Kau sudah siap Real?" Suara itu menghacurkan lamuananku.

Aku menoleh, dan melihat Silas yang berdiri di pintu kamarku. "Kau tidak terlihat berbeda dari biasanya."

Dia tersenyum. "Kuanggap itu pujian. Lagian memamg seperti ini standar pakaian pria."

Aku berdiri, namun sebelum aku berjalan menuju Silas, Silas sendiri yang terlebih dahulu menghampiriku. Dia menyelipkan bunga mawar berwarna merah ke telingaku, aku bahkan tidak melihatnya membawa bunga tadi.

"Kudengar para gadis memakaikannya agar keinginan mereka terkabulkan," ujar Silas.

Yang dia maksud bunga mawar ini kan? Jika diingat, pelayan tadi juga memakai bunga mawar di rambut. Aku tidak menyangka Silas selembut ini. " Terima kasih Silaa!" Sahutku dengan senyum lebar.

#
#
#

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro