💎59💎

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh iya sebagai imbalan untuk ayah angkatku, aku membantunya untuk mewujudkan ambisinya."

"Kau membunuh Raja?" Tanyaku. "Bukannya kau bilang tidak ingin mengacaukan alur cerita."

"Itu benar, tapi kau terlebih dulu melakukannya!" Bentaknya padaku. Dia menghela nafas untuk menenangkan amarahnya. "Dan anggap saja aku mempercepat tujuan Silas untuk menjadi seorang Raja. Lihat betapa aku berbaik hati padanya."

Walaupun begitu caramu melakukan itu sangat berlebihan. "Ada yang ingin aku luruskan. Aku tidak berminat menjadi pasangan Silas secara permanen. Apalagi menjadi seorang Ratu. Jadi bisakah kau membebaskanku sekarang? Kau bisa dapat apapun yang kau mau."

Dia menyengir. "Tentu tidak semudah itu."

Dia berdiri, tatapannya tampak mencurigakan. Aku mencoba untuk ikut berdiri, tapi nyatanya tidak bisa. Sepertinya jawabnya sudah jelas, dia tidak ingin melepaskanku dengan mudah. "Lalu apa yang kau inginkan? Kau ingin aku menjadi Real dan hidup bahagia dengan Ryan sesuai karanganmu?" Teriakku padanya.

"Karangan yang sudah hancur sejak kau mengacaukan segalanya. Sebenarnya aku membutuhkanmu, lebih tepatnya aku ingin mencari tahu mengapa kita bisa di sini, dan apakah kita bisa kembali."

"Jangan bilang kau ingin menjadikan ku ekperimen uji coba sihirmu. Kau memang bajingan," gumamku.

"Lebih tepatnya rekan. Bagaimana, apakah kau ingin bekerjasama denganku?" Tanyanya.

"Lalu apa yang kau tawarkan padaku?" Tanyaku balik.

"Aku tidak menawar, aku memaksa. Apakah kau tidak ingin kembali kehidupanmu sebelumnya? Atau setidaknya kau penasaran mengapa berada di sini? Sejak mana sihir Carina muncul aku bertanya-tanya."

Aku menyengir padanya. "Jangan bilang kau ingin kembali kehidupanmu yang sebelumnya?"

Dia ikut tersenyum. "Anggap saja iya, semua orang punya penyesalan."

"Tapi semua orang punya pilihan, jika jadi kau aku tidak akan menaruh kepalaku pada untaian tali," ujarku. Kalimat yang ingin kukatakan, bahkan kubantin saat Rina dimakamkan. Ironis sekali mendengarnya mengatakan hal itu sekarang.

Jelas ekspresinya langsung berbuah. Dia menatapku dengan sangat marah. Carina mengibaskan tangannya, menyingkirkan semua teko, cangkir, dan vas bunga yang ada di meja, menepisnya hingga pecah berserakan di lantai. Dia tidak peduli dengan darah yang keluar dari tangannya karena terkena pecahan keramik. Atau pipiku yang berdarah karena terkena pecahan juga. Walaupun begitu aku tetap tenang, menatapnya dengan senyuman kecil.

"Siapa kau sebenarnya!" Teriaknya dengan emosi. "Bagaimana kau bisa tahu tentang itu?"

"Aku hanya menebaknya, siapa sangka itu benar," lanjutku. "Tapi jika benar kan mengaku diri, bukannya hidupmu juga sangat berat. Kenapa kau ingin kembali? Apa kau merasa bersalah atau merindukan seseorang?" Entah kenapa dalam lubuk hatiku yang paling dalam dia menjawab dengan menyebutkan namaku.

"Itu bukan urusanmu." Tangannya terulur kearahku.

Pyaar! Cahaya terang muncul, ada gelombang aneh yang mendorongku ke belakang. Sangat kuat hingga aku terhempas hingga menghantam ke tembok bersama dengan meja dan kursi di sana. Mataku terbuka, sedikit buram karena Kilauan cahaya tadi. Aku merintih kesakitan, dan belum mampu untuk kembali berdiri. Samar-samar aku melihat Carina berjalan mendekatiku. Walau agak buram, aku bisa melihat ekspresi kesalnya padaku.

"Apa ini ... Apa kau tersinggung?" Celotehku sambil menahan sakit.

"Selama ini aku berusaha baik padamu, tapi seperti nya kau tidak ingin menerima kebaikanku." Dia berjalan semakin mendekat padaku.

"Apa menculik dan membakar hasil kerja kerasku adalah perbuatan baikmu. Kalau begitu kau harus belajar lebih baik lagi."

Dia kini berada di dekatku, aku berdiri walau agak sulit dan menatapnya dengan tajam. Tangannya kembali terulur, aku bersiap untuk gelombang kedua, tapi dugaanku salah. Dia menerkam dan mencekik leherku dengan tangan kanannya.

"Iya... Aku sudah menjadi baik sejak awal. Tapi kau selalu saja berulah. Aku tadi menawarkanmu kerja sama, tapi kau malah mengatakan hal itu. Padahal aku menyambut mu dengan ramah tadi. Dan yang paling memuakan bagiku adalah ucapanmu, kau bilang tidak ingin menjadi pasangan Silas secara permanen. Tapi sejak kau di sini, bahkan sampai hari ini kau masih menjadi pasangannya. Kau bermesraan dengannya seolah aku tidak tahu. Bukannya kau tahu bahwa di tempat ini hanya Silas yang kuinginkan."

Aku tidak bisa bernafas. Selama dia mengoceh aku berusaha melepaskan tangannya dariku. Tapi dia sangat kuat walau hanya menggunakan satu tangan. Dari tatapannya, kali ini dia benar-benar ingin membunuhku. Aku merintih, kepalaku semakin pusing karena kehabisan oksigen.

"Apa kau ada kata-kata terakhir? Mungkin akan ku sampaikan pada Silas saat aku menjadi ratu nanti," ujar Carina.

Aku berusaha meraih belati dari balik rokku. "Keluarlah dari khayalanmu!" Aku menancapkan belati ke perutnya, secepat dan sekuat mungkin agar ujung lancipnya masuk ke dalam. "Uhuk ... Uhuk ...!" Dia akhirnya melepaskanku. Aku tersungkur ke lantai, samar-samar aku lihat tetesan darah jatuh.

Bruuk ... Tubuh Carina juga ikut terjatuh. Darah terus keluar dari belati yang ku tancapkan. Aku merangkak mendekatinya yang sepertinya mulai sekarat. Ku ulurkan tangan untuk memegang bahunya, jelas bagaimana ekspresi terbelalak nya padaku. Kedua tangannya sibuk memegang belati yang ku tancapkan. Nafasku masih sesak walau sudah tidak lagi tercekik, kepalaku pusing, dan penglihatanku tidak kunjung membaik.

Jleeb ... Di Tengah kesadaranku yang belum pulih, dia juga menancapkan garpu ke perutku. Titik yang sama seperti aku menusuk perutnya. "Setidaknya jika kita akan berkahir bersama-sama," ujarnya dengan suara sesak.

Aku tersenyum, entah mengapa ini tidak adil. "Kau tahu, seharunya kita tidak berakhir seperti ini." Air mataku keluar, tanganku mengusap darah yang keluar dari mulutnya. "Kita harusnya tidak seperti ini, harusnya kau tidak naif, dan harusnya aku tidak egois." Andai hari itu kami saling mengerti dan menjadi saudara yang baik, apa mungkin kami berakhir seperti ini?

"Apa maksudmu ... Apa ini ucapan seseorang yang akan mati?" Dia mendorong garpu yang menusukku. Darah keluar dari mulutku. Itu hal terakhir yang ia lakukan sebelumnya akhirnya tubuhnya hilang kendali, dan tergeletak ke lantai. Matanya sayup-sayup hampir tertutup. "Aku tidak akan mati, jika mati aku akan membuka mata di tempat yang baru. Sama seperti saat itu," rintihannya dengan suara kecil. Mata Rina akhirnya tertutup.

Bahkan sampai akhir aku tidak mengatakan bahwa kami bersaudara. Andai kukatakan, apa dia akan berubah pikiran. Apa yang ia perbuat dan lakukan sangat gila. Tapi mau bagaimana lagi, dia mati sebagai anak remaja yang naif. Aku merebahkan tubuhku di sampingnya, ke lantai yang bersimbah darah. Aku lupa betapa aku membenci darah.

Tiba-tiba aku teringat masa lalu yang sudah lama kulupakan. Kalau tidak salah kami berusaha 8 tahun, berjalan kaki untuk perjalanan pulang ke rumah. Aku dan Rina saling bergandengan, mengibas-ngibaskan tangan sambil bersenandung. Aku lupa lagu apa yang kami nyanyikan hari itu, tapi terdengar sangat riang, kami tersenyum lebar dengan tatapan lurus ke depan.

"Ayo kita menua dan meninggal bersama-sama. Dengan begitu kita tidak akan sendirian," celoteh Rina padaku.

"Itu masih lama, kenapa kau mengatakannya sekarang. Tapi boleh saja, karena aku takut di rumah sendiri," ujarku dengan polos.

Hmmm ... Dia mengingkari janjinya. Jangan-jangan alasan kami berdua kembali hidup di sini untuk menepati janji itu. Mati bersama-sama, hal yang kau ingkar, karena Rina meninggalkanku sendiri dengan semua penderitaan itu.

"Jika kita hidup bersama lagi, mari kita menjadi dua saudari yang saling menyayangi. Dengan begitu kita tidak akan mati konyol seperti ini atau sebelumnya," desisku sebelum kesadaranku hilang.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro