Bab 1.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepi, senyap. Ruangan bernuansa putih itu hanya dihuni oleh satu pasien yang belum sadarkan diri setelah selamat dari masa kritisnya. Kecelakaan dahsyat telah membuatnya terbaring kaku di rumah sakit dengan berbagai macam alat bantu. Sudah satu Minggu sejak kecelakaan maut yang mendewasakan dua manusia paruh baya.

Ada yang bergerak di wajah tampan itu. Kelopak mata yang semula tertutup kini perlahan terbuka yang segera disambut cahaya terang sang surya di luar sana. Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika pasien tampan itu terbangun. Merasa silau, mata itu kembali tertutup sebelum berkedip-kedip pelan menyesuaikan cahaya yang masuk hingga pandangannya bisa dengan jelas menangkap situasi ruangan tempatnya terbangun.

Rasanya asing.

Dimana dia sekarang? Tidak mungkin ini dunianya.

Apakah dia berada di surga?

Belum lama ia menerka-nerka pintu ruangan terbuka disusul dengan masuknya beberapa manusia berpakaian medis. Oh, sepertinya dia tahu ini dimana. Dunia manusia.

Seorang diantara mereka memeriksa dirinya dengan sigap dan apik. Sementara yang lainnya ikut membantu mencatat keterangan dari dokter yang sedang bertugas. Setelah memastikan beberapa hal dokter itu akhirnya selesai melakukan tugasnya.

"Syukurlah kau sudah siuman. Aku senang karena masih bisa menyelamatkan setidaknya satu orang anak muda dari kecelakaan itu."

"Kecelakaan?" Pasien tampan itu bertanya menyela ucapan sang dokter.

"Ya, Tuan Muda Alex. Anda dan orang tua Anda mengalami kecelakaan tunggal satu Minggu lalu. Tapi, maaf aku harus mengatakan ini. Orang tuamu tidak selamat," kata sang dokter. Pasien bernama Alex itu hanya diam, tak bereaksi apa-apa. Seolah dia sudah siap menerima kabar buruk itu. Lagipula apa yang harus dia katakan? Sementara yang meninggal bukan orang tuanya. Tapi orang tua Alexander, pemilik tubuh yang ditempatinya.

Ya. Dia baru menyadari tubuhnya terasa berat dan lemah. Tak seperti dia sebelumnya, itu artinya dia sedang bersemayam di tubuh pemuda bernama Alexander. Meskipun nama mereka hampir sama, tapi mereka berbeda. Dia adalah Xander, sosok yang sudah tersegel 100 tahun lamanya. Ah, akhirnya dia kembali.

Seperginya para medis tadi, Xander melirik meja di samping ranjangnya. Sebuah buku teronggok begitu saja di samping gelas kaca berisi air mineral. Ternyata dia benar-benar telah bebas dari segel. Apakah kekuatannya juga kembali? Dengan penasaran Xander mencoba mengangkat air di gelas tanpa menyentuhnya, namun nihil. Air itu sama sekali tak terangkat satu inchi pun dari tempatnya. Sial! Sepertinya kekuatannya belum kembali.

Tiba-tiba sekelebat ingatan memenuhi kepalanya. Bukan ingatannya, melainkan ingatan milik pemuda bernama Alexander yang sebenarnya sudah mati.

Masa kecil pemuda itu benar-benar bahagia. Beralih pada masa remaja dan berakhir saat kecelakaan maut yang menewaskan orang tuanya. Yang Xander tidak mengerti adalah bagaimana dia bisa terbebas dan menempati tubuh pemuda itu? Matanya kembali menatap buku merah di samping ranjang. Dengan ragu ia bangun dan mencoba meraih buku itu, melihat buku itu bolak balik lalu membukanya.

Tertulis nama Alexander George di sana.

"Apa-apaan ini? Buku ini ditemukan olehnya?" Xander mengerutkan keningnya heran.

"Apa terjadi kesalahan? Seingatku hanya reinkarnasi Shire yang bisa memilikinya."

"Astaga. Kenapa aku malah memikirkan sesuatu yang tak penting. Sebaiknya aku memulihkan diri sebelum fokus mencari cara agar kekuatanku kembali." Xander menyimpan buku itu kembali ke tempatnya dengan sedikit hentakan. Dia kembali membaringkan tubuhnya untuk tidur. Firasatnya mengatakan Alexander ini anak seorang konglomerat. Semua itu terlihat dari ruangan tempatnya dirawat adalah kelas VVIP. Mungkin tak lama lagi akan ada asisten ayahnya menjenguk dan bertanya beberapa hal. Xander harus bersikap persis seperti bagaimana Alexander yang sebenarnya. Dan dia membutuhkan tenaga untuk itu.

***

Seminggu kemudian Xander sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Meski pada awalnya Robin, asisten ayahnya ragu dan meminta dokter mengecek kembali Xander seolah dia meragukan keputusan doktor yang memperbolehkan anak bosnya pulang.

"Sudah saya cek untuk ke sembilan kalinya Tuan Robin, Tuan muda Alex sudah sembuh. Aku berani bersumpah tak ada tulang yang retak sama sekali, dia sehat seperti tak pernah mengalami kecelakaan." Robin terkejut. Lantas dia memegang kedua bahu anak bosnya, menatap dengan teliti dari ujung kepala sampai kaki seperti mesin scanner yang memeriksa kalau-kalau dokter anak bosnya ternyata belum pulih benar.

"Paman aku baik-baik saja, percayalah pada perkataan dokter." Merasa jengah dan ingin segera pergi dari rumah sakit membosankan itu Xander akhirnya angkat suara.

"Kau yakin? Tapi ini terlalu cepat."

"Paman, ada apa denganmu? Kenapa kau berkata seolah kau tidak senang aku pulih dengan cepat," keluh Xander sambil menatap sangsi pada asisten ayahnya yang sudah dia anggap paman.

Robin buru-buru menggeleng. "Tidak Tuan muda, bukan itu maksudku. Ini hanya terlalu luar biasa untuk ukuran manusia," ucapnya masih bersikeras.

"Jadi sekarang paman ragu aku bukan manusia begitu?" tanya Xander dengan senyum jenakanya. Robin semakin kelabakan buru-buru tangannya terangkat dan bergerak cepat ke kiri dan ke kanan.

"Astaga, tidak Tuan bukan seperti itu juga. Sudahlah aku percaya kau baik-baik saja, ayo kita pulang." Setelah pembicaraan omong kosong itu Robin baru mengajaknya Xander pulang yang disambut dengan gembira oleh pemuda itu.

"Kenapa tidak dari tadi, sih?" protes Xander pura-pura kesal. Menurutnya Robin terlalu berlebihan.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengulur waktu Anda, Tuan." Robin menunduk merasa bersalah.

"Sudahlah, aku tidak apa. Sebaiknya paman bantu aku berkemas karena demi Neptunus aku bosan berada di sini."

"Baiklah, ayo paman bantu."

***

Setelah pulang dari rumah sakit, kini Xander menjalani hidupnya sebagai Alexander George. Seorang anak tunggal pasangan George yang menjadi satu-satunya ahli waris atas seluruh kekayaan orang tuanya. Karena kecerdasan yang dimilikinya, dia bisa mempelajari semuanya dengan cepat. Menjadi manusia ternyata rumit juga, tapi menjadi raja di kerajaan jauh lebih rumit lagi.

Entah kapan Xander akan kembali ke dunianya. Dia tak bisa kembali sebelum mendapatkan kekuatannya lagi. Kini dia sedang mengantri di depan gedung yang dijadikan tempat sidang skripsi. Ternyata Alexander masih memiliki urusan yang belum di selesaikan. Maka dengan berbaik hati, Xander mengantikan Alex untuk mengikuti sidang.

Setelah seseorang keluar, Xander dipanggil untuk masuk ke ruang penguji. Semuanya berjalan lancar dan Xander yakin hasilnya pasti memuaskan. Lihat saja.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat dia pulang ke rumah. Melepaskan segala benda yang membuatnya benci hidup sebagai manusia. Lehernya seolah tercekik saat menggunakan dasi. Jadi hal itulah yang pertama kali dia lepas di kamarnya.

Sepertinya dia butuh mandi untuk menyegarkan kembali pikirannya. Ingatannya melayang memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini? Haruskah dia melupakan kerajaannya dan hidup sebagai manusia di dunia manusia. Atau mencari cara untuk kembali?

***

To be continue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro