BAB 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

      Suasana canggung terasa di ruang interogasi. Arion tidak menyangka gadis yang ia kenal apa adanya ternyata menyimpan sebuah rahasia besar sampai membuat anak itu membrutal. Dari luar, Algio sungguh terkejut melihat air muka Gesa mencair. Padahal belum ada percakapan di antara mereka, tapi gadis itu sudah melunak. Bagai mendapat secercah harapan, Algio tahu pada siapa akan ia percayakan penggalian informasi tersebut.

      Arion menarik napas dalam-dalam dan membuangnya lambat. Wajah gadis di depannya masih sama seperti yang ia kenal selama ini, tapi fakta bahwa pacarnya membunuh seorang wanita, sukar diterima. Ia masih belum mau angkat bicara, matanya sibuk menelisik gadis yang masih berstatus kekasihnya itu.

      “Aku kira kita udah saling terbuka.”

      “Maaf,” Gesa menunduk. Gerakan pertama yang ia lakukan sejak duduk di ruang berukuran sedang itu. “Sejujur-jujurnya manusia, dia masih tetap punya satu rahasia yang tersimpan baik.”

      “Apa karena rahasia itu, kamu jadi seorang psikopat?”

      Gesa tidak percaya Arion akan berkata demikian, tapi dia tetap tersenyum dan memaklumi kekagetannya. “Membunuh belum tentu menjadikan seseorang menjadi psikopat.”

      “Terus kenapa?”

      “Apa aku harus tetap cerita? Bukannya bukti di lapangan udah cukup bikin aku di penjara?”

      “Sepasrah itu?” Arion makin tidak percaya dengan sifat baru yang Gesa munculkan. “Kamu tahu penjara itu kejam, kan?”

      “Sekejam-kejamnya penjara, nggak sekejam dunia luar.” Gantian Gesa yang menatap lekat Arion. Mata mereka saling bertemu. Karena hal itulah yang bikin Arion meragu. Gesa, masih menyembunyikan sebuah fakta. “Aku cuma harus duduk dan mengikuti aturan yang aparat buat, sama kayak di sekolah, kan?”

      “Tapi keluar dari penjara, itu masalahnya. Nggak akan sama lagi.”

      “Nggak usah khawatir soal itu, aku udah punya rencana. Nggak mungkin ‘kan satu negeri ini nggak mau nerima aku?” Sama dengan kakaknya, Arion cukup stres mendengar setiap tutur kata Gesa. Seolah semua sudah begitu matang direncanakan gadis itu sampai-sampai setelah keluar penjara pun sudah ia pikirkan.

      “Percayalah, apa yang aku lakukan ini adalah benar.” Semakin sukar diterima, Arion memilih keluar dengan pamit yang dapat meneduhkan gadis itu.

      “Aku mau beli green tea. Selama itu, aku mau kamu pertimbangkan keterbukaanmu sama aku. Aku janji akan bantu kamu sekali pun harus menentang Mas sendiri.” Arion meremas bahu gadis yang masih memakai baju yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Sedikit perbedaan, ada jejak darah di cardigan yang dipakainya.

      Algio coba menegarkan adiknya. Arion sama seperti dirinya, sulit mencintai, tapi ketika sudah berada digenggaman, berpaling bukanlah hal mudah. Ia tahu adiknya akan memesankan minuman favorit kekasihnya, ia mengizinkan. Algio menatap punggung adiknya yang berjalan keluar ingin menghirup udara segar sekaligus menunggu pesanan yang sudah dipesannya tadi.

      “Gua tahu jalan pikiran elu,” Dimas memecah keheningan. “Tapi, apa nggak bahaya biarin adek elu yang interogasi itu cewek. Dilihat dari TKPnya aja, emosi itu cewek nggak stabil cenderung beringas. Sewaktu-waktu adek elu bikin kesalahan, bisa mampus.”

      “Kalau ini peluang terakhir kita gali informasi dari dia, kenapa harus ragu-ragu? Gua ngerasa, cewek itu nggak bakal nyakitin Arion.”

»»»»»

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro