Bagian 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih nggak nyangka kalau bakal nikah sama Bara secepat ini. Waktu dan tempat sudah ditentukan. Beberapa pekan lagi, aku dan Bara akan menikah. Semua ini terasa begitu cepat. Semua ditentukan saat Bara dan orang tuanya datang ke rumah. Jujur, ini bagi aku seperti dadakan. Hanya ada waktu sebulan dari hari itu. Aku merasa bingung dan bimbang. Alasan Bara, dia nggak mau menunda waktu, karena niat baik harus disegerakan. Iya, sih, tapi kenapa harus sebulan? Ini terlalu cepat. Aku merasa belum siap. Tapi Mama sama Alma terus bujuk, bikin aku kepentok.

Sar, gue kenal Bara, kenal keluarganya. Pastinya dia nggak mau ngulur waktu lama buat hal baik. Harusnya lo seneng karena lo bakal nikah sama Bara. Bayangin saja hubungan lo sama Fandi, itu sampai bulukan nggak nikah-nikah, malah Fandi yang nikah duluan sama selingkuhannya.

Iya, sih. Bara juga sudah jelasin ke aku masalah ini, tapi tetap saja aku masih bimbang. Aku juga baru tahu kalau dia punya adik cewek, lagi mondok di Bandung. Banyak hal yang baru aku tahu mengenai Bara setelah memutuskan untuk menerimanya. Aku pun mengungkapkan apa yang dia nggak tahu dari aku. Kami terbuka mengenai sesuatu yang kita nggak tahu dari diri kita masing-masing. Dan aku lebih banyak nanya ke dia daripada dia. Dia seolah nggak penasaran dengan jati diri aku.

Suara pintu terbuka membuat lamunanku buyar  pandangan kembali fokus sama cermin, merapikan penampilanku yang kurang rapi.

"Sar, Nak Bara sudah datang, tuh. Jangan lama-lama  keluarnya." Mama menyampaikan.

Ah, masih nggak percaya kalau Bara hari ini ngajak aku ke butik buat pesan gaun pengantin yang akan aku kenakan di acara ijab kabul dan walimah. Sekaligus membicarakan masalah undangan, padahal acaranya masih lama.

Aku beranjak dari kursi. "Ini sudah selesai dan mau keluar, Ma." Meraih tas yang sudah kusiapkan, lalu berjalan untuk keluar. "Malik sudah siap?" tanyaku pada Mama sambil mengikuti beliau.

"Sudah. Ada di ruang tamu sama Nak Bara," timpal Mama.

Saat mau tiba di ruang tamu, aku merasa deg-degan. Selalu saja seperti ini. Sosok Bara terlihat religius mengenakan koko warna merah tua dan bawahan celana levis hitam. Penampilannya memang sederhana dan nggak berlebihan seperti cowok-cowok pada umumnya yang terlihat ingin dipuji dalam berpakaian. Bara memang berbeda dengan mereka. Dia laki-laki sederhana dan luar biasa. Intinya aku beruntung dapat calon suami seperti dia.

"Udah siap, kan, Kak?"

Pertanyaan Malik membuyarkan pikiranku. "I-iya," balasku gugup. Tersenyum paksa.

"Tante, Bara izin pamit buat ajak Sarah dan Malik ke butik." Bara pamit sambil enangkupkan kedua tangan di dada.

Karena belum sah, jadi Bara belum boleh jabat tangan dengan Mama. Jangankan Mama, sama aku saja masih belum boleh buat salaman apalagi Mama. Setelah dapat peringatan hati-hati dan izin dari Mama, kami beranjak dari ruang tamu.

"Sarah pergi dulu, ya, Ma." Aku pamit pada Mama, mengulurkan tangan pada Mama.

"Hati-hati. Jangan pulang malam-malam." Mama mengingatkan saat aku mencium punggung tangan beliau.

Malik menyusul melakukan hal yang sama setelah aku melepas tangan Mama. Setelah itu, kami bergegas menghampiri mobil milik Bara.

Sebelum Bara membukakan pintu untukku, pintu belakang sudah kubuka lebih dulu. Merasa risih dapat perlakuan seperti itu darinya. Lebih tepatnya malu sama Malik dapat perlakuan spesial dari Bara. Aslinya senang dapat perlakuan seperti itu, tapi bagiku itu belum saatnya. Aku duduk di belakang, sendirian. Bara dan Malik di depan. Biarlah. Ini lebih bagus. Bara sengaja ngajak aku pas hari libur biar ada orang ketiga yang jaga kami. Bukan berarti yang ketiganya setan, tapi yang ketiga di sini adalah penghalang setan. Masa iya aku mau katai adik aku sendiri setan.

"Mulai ujian kapan, Lik?" tanya Bara membuka obrolan sambil fokus menyetir.

"Bulan depan, Kak." Malik membalas.

Seperti biasa, aku hanya menjadi pendengar setia. Pendengar obrolan mereka mengenai sekolah Malik. Biarin saja, lah. Sepertinya Malik memang butuh pendekatan dengannya karena nggak lama lagi Bara akan jadi kakak iparnya. Bara sangat ramah pada Malik. Dia banyak tanya mengenai apa saja yang menyangkut Malik, berbeda dengan aku atau Alma, dia terkesan cuek dalam menanggapi. Mungkin karena Malik cowok, jadi dia lebih leluasa, berbeda dengan aku dan Alma yang bukan mahram dia. Mungkin.

"Sar, kita mau makan siang dulu atau langsung ke butik?"

Pertanyaan Bara membuatku mengalihkan perhatian dari pemandangan luar mobil. Dia masih terlihat fokus dengan kemudi. "Aku terserah kamu saja. Tapi menurutku, lebih baik langsung ke butik saja, takut Tante Ani sudah nunggu." Aku mengusulkan.

"Ya sudah, kita langsung ke butik," balasnya tanpa menatapku.

Pandangan kembali kulempar ke luar kaca yang menampilkan jalanan kota Jakarta yang cukup padat. Obrolan ringan antara Bara dan Malik kembali kudengar. Kali ini mereka membahas tentang nasyid. Aku hanya tersenyum. Mereka terlihat akrab. Aku suka. Nggak sama Hasan Saja, tapi ternyata Bara sosok kakak teladan. Dia mampu mengimbangi lawan bicaranya. Masya Allah.

Mobil yang kami naiki akhirnya tiba di halaman sebuah butik milik Tante Ani, adik dari ayah tirinya Bara. Aku terkesiap ketika pintu mobil terbuka. Napas kuhela karena Bara sudah mencuri start. Aku turun dari mobil. Senyum kusungging pada Bara karena dia sudah membukakan pintu mobil untukku. Kami pun masuk ke dalam butik.

"Mas Bara," sapa seorang karyawati butik.

Bara hanya mengangguk sambil tersenyum. "Tante ada?" tanyanya.

"Ada." Karyawati itu berjalan mendahului.

Kami mengikuti karyawati itu untuk masuk ke dalam menemui Tante Ani. Setiap ruangan yang terlewati mengundang rasa penasaranku. Manekin berbalut gaun-gaun cantik terlihat memanjakan mata. Langkahku seketika terhenti saat menabrak sesuatu. Aku segera meluruskan pandangan, lalu menunduk. Malu. Terlena menatap keindahan manekin berbalut gaun pengantin bikin aku nggak fokus jalan dan nabrak punggung Bara.

"Bu, ada Mas Bara." Karyawati menyampaikan.

"Assalamu'alaikum, Tante." Bara bersuara. Lebih tepatnya menyapa sang tante yang sedang sibuk menginstruksi karyawan.

"Wa alaikumussalam. Bara." Senyum menghiasi wajah beliau.

Bara memutar tubuh, memberi ruang agar Tante Ani menatapku. Kini aku bisa menatap beliau dengan jelas. Tante Ani sangat cantik.

"Sarah," tebak Tante Ani sambil mengacungkan jari telunjuk padaku.

Senyum kusungging, lalu meraih tangan beliau dan mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Tante?" tanyaku setelah melepas tangannya.

"Baik," balasnya singkat.

Beliau mengajak kami ke ruangannya. Kami pun mengikuti beliau. Butik ini cukup luas. Tempatnya juga strategis. Pasti sudah banyak yang percaya pada butik ini. Karyawannya juga banyak.

"Tante masih nggak nyangka kalau kamu mau nikah, Bar. Ternyata bisa move on juga dari Safira." Tante Ani membuka obrolan ketika kami sudah duduk di sofa yang ada di ruang kerja utama beliau.

Move on dari Safira? Siapa Safira? Apa mantan Bara? Dia pernah pacaran?

Karena nggak ada balasan dari yang bersangkutan, aku menatap ke arah Bara. Dia hanya terlihat santai dan merasa nggak disinggung. Justru aku yang tersinggung dengan ucapan Tante Ani. Dia pura-pura nggak tahu atau takut aku marah?

"Maaf. Itu sudah lama. Tante nggak seharusnya bahas dia di depan Sarah. Sarah sudah tahu, 'kan?" Tante Ani memastikan.

Hanya anggukan lemah dan tersenyum tipis yang kulakukan. Sama sekali Bara nggak pernah cerita ke aku masalah wanita yang pernah dekat sama dia. Aku terpaksa diam karena nggak mau bikin suasana jadi keruh. Terutama karena ada Malik dan Tante Ani. Kalau nggak? Aku sudah cecar Bara mengenai wanita itu. Begonya lagi aku nggak pernah nanya ke dia kalau pernah dekat sama cewek.

"Sar."

Lamunanku buyar, menatap Tante Ani. Baru sadar kalau Bara sama Malik sudah nggak ada di antara kami. Mereka ke mana?

"Jadi mau desain yang bagaimana?" tanya beliau.

"Seperti yang sudah Sarah jelasin di chat, Tante. Nggak perlu rame, tapi sesuai sama contoh." Aku membalas.

Beliau hanya mengangguk, lalu mengajak aku untuk melihat bahan dan contoh gaun. Manekin berbalut kain warna coklat muda dilandasi brukat senada ada di hadapan kami saat ini. Tante Ani menjelaskan material bahan, sedangkan aku sibuk memikirkan Bara. Aku berusaha menyimak, menyingkirkan Bara dari pikiranku. Pandangan kuedaekan saat ada kesempatan. Sosok yang aku cari ternyata sedang menunggu di tempat lain sambil bercanda dengan Malik.

"Yang warna pink bagus, Sar. Cocok di badan kamu."

Tatapanku kembali pada deretan bahan yang Tante aani tunjukan. "Apa nggak terlalu terang, Tante? Aku nggak pernah pakai pink soalnya." Aku tersenyum paksa.

"Bagus, kok. Cocok dipakai kamu dan nggak terlalu terang. Ini contohnya." Tante Ani menunjukkan majalah yang menampilan seorang wanita memakai gaun warna pink. Pinknya terlihat kalem. Bagus.

Saat kesempatan ada lagi, aku kembali menatap ke arah Bara. Dia dan Malik nggak ada di sana. Aku mengedarkan pandangan buat nyari sosok dia, tapi nggak ada. Mereka ke mana?

"Gimana?"

Pertanyaan Tante Ani bikin aku kembali menatapnya. "Ya sudah, Sarah nurut saja." Aku pasarah.

Keinginan aku ada tiga gaun buat ganti saat proses ijab kabul, walimah, dan foto keluarga. Yang pertama putih, sengaja aku minta warna ini karena untuk acara ijab kabul. Kedua warna coklat muda untuk acara setelah ijab kabul. Yang ketiga warna pink sesuai masukan dari Tante Ani untuk acara walimah.

Aku masih saja nyari sosok Bara setelah selesai membahas masalah gaun dan mengukur tubuh. Sosok Bara terlihat sedang berdiri di depan cermin sambil menata rambutnya yang berantakan. Pakaiannya masih sama. Aku segera menghampirinya.

"Kamu beneran nggak jahit kemeja atau jas buat acara pernikahan kita?" tanyaku saat tiba di dekatnya.

Dia menatapku sekilas dari pantulan cermin. "Kamu tenang saja. Aku sudah menyiapkannya," balasnya santai.

"Nanti kalian ke sini lagi buat memastiin gaunnya. Tante kabari kalau sudah selesai. Semoga satu minggu cukup buat selesaikan gaunnya."

Hanya anggukan yang kulakukan untuk membalas ucapan Tante Ani. Nggak lupa aku dan Bara berterima kasih karena sudah mau membantu jadi bagian dari pernikahan kami. Kedatangan kami ke sini memang hanya untuk masalah gaunku saja, sedangkan Bara hanya mengantar. Dia sudah memiliki pakaian sendiri untuk acara pernikahan kami nanti. Aku nggak bisa maksa karena itu keputusan dia. Terserah dia yang mau pakai asal sesuai dengan penampilanku. Asal jangan bikin malu saja.

Setelah urusan gaun selesai, Bara mengajak aku dan Malik makan siang. Aku hanya diam selama perjalanan menuju tempat makan. Pemastian tempat makan pun aku nggak peduli.  Aku masih sedikit kesal dengannya mengenai Safira. Penasaran dengan sosok wanita itu.

Aku segera turun saat mobil ini berhenti di area parkir restoran yang sudah ditentukan oleh Bara dan Malik. Ini tempat rekomendasi dari Bara. Aku hanya mengikuti apa yang dia inginkan. Malik juga terserah dia. Kami duduk di kursi yang sudah dipesan Bara. Tempat ini cukup ramai, rapi dan tentunya bersih. Nggak salah seorang dokter pilih tempat ini karena dia pasti cari tempat yang nyaman dan higienis.

Buku menu yang diberikan oleh pelayan segera kubuka, meneliti menu masakan yang disajikan restoran ini. Bara terdengar menyampaikan pesanan, membuat aku melirik ke arahnya. Aneh. Dia nggak pesan makanan berat. Lalu disusul Malik menyampaikan pesanan yang dia inginkan. Tinggal aku yang belum pesan.

"Aku pesan paket nasi paket yang ada ayam goreng menteganya. Minumnya ice tea lecy." Aku menyusul mereka memesan makanan.

Setelah selesai memesan makanan, pelayan mengulang pesanan kami, lalu pamit dari hadapan kami setelah tidak salah catat. Suasana mendadak kaku. Semua diam.

"Aku mau ke toilet dulu." Malik pamit ke toilet.

Kenapa dia ke toilet di waktu nggak pas? Bikin suasana jadi makin canggung saja.

Kini hanya tinggal aku dan bara di meja ini setelah kepergian Malik. Ingin sekali tanya mengenai Safira, tapi bingung mau mulai dari mana. Mumpung nggak ada Malik. Dari pada bikin beban di hati.

"Aku mau tanya mengenai Safira." Aku membuka obrolan setelah mantap untuk bertanya.

"Iya, silakan," balasnya santai. Dia masih menunduk.

"Kenapa nggak pernah cerita masalah hubungan kamu sama dia ke aku?" tanyaku memastikan.

Kepala Bara terangkat, membuat mata kami bertemu. Tatapannya serius, lalu tak selang lama kembali menunduk. "Dia hanya masa laluku, Sar. Aku rasa kamu nggak perlu tahu karena khawatir akan berdampak dengan hubungan kita," jelasnya.

"Tapi aku mau tahu." Aku kukuh ingin tahu.

"Iya, aku ngerti." Suaranya terdengar tenang. Senyum terlihat di bibirnya.

Kenapa dia cuma senyum? Aku mau dia terus terang mengenai Safira. Pasti cewek itu pernah dia sukai atau bahkan dia pernah mau menikah dengannya.

"Aku sempat ingin menjalin hubungan serius dengannya, tapi Umi melarangku untuk melanjutkan hubungan kami karena beliau ingin aku menikahi orang Indonesia," ungkapnya kemudian.

Jadi Safira bukan orang Indonesia? Kenapa Umi ingin Bara menikah dengan orang Indonesia? Apa beliau khawatir kalau Bara jauh darinya?

Kedatangan Malik memaksa kami menjeda obrolan. Di saat yang sama pesanan kami tiba, lalu mulai disajikan di atas meja. Pikiranku masih dipenuhi tentang Safira. Aku jadi penasaran dengannya. Dia pasti cantik. Kalau Bara suka sama dia dan serius berarti dia bukan wanita sembarangan.

Kami fokus makan siang bersama. Suasana masih sama, hanya Malik dan Bara yang saling bersautan, sedangkan aku hanya diam mendengarkan karena sibuk dengan pikiranku sendiri mengenai Safira. Aku penasarang banget sama dia.

Apa Bara punya foto dia? Apa dia masih komunikasi dengan Safira? Apa jangan-jangan Safira belum nikah? Ya Allah, kenapa aku jadi gelisah begini? Aku cemburu? Pasti. Aku mau jadi istrinya Bara, jadi wajar saja kalau aku cemburu. Semoga saja Bara sudah nggak ada hubungan sama Safira. Aku akan tanya lagi sama Bara mengenai Safira kalau nggak ada Malik atau pas telepon.

https://www.youtube.com/watch?v=Si-Zn5hGO4k

♡♡♡

Cemburu tanda cinta.
Kalau nggak cemburu, perlu tanda tanya. 😅😅

Gimana part ini? Asal jangan baper ya.
Jangan lupa vote biar aku cepat update lagi.
Jangan lupa juga koment dan follow akun aku.

Thanks. ❤❤🌹


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro