Bagian 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Walaupun hati aku masih penuh tanda tanya mengenai hubungan Bara sama Safira, tapi aku bersyukur karena Bara sudah benar-benar putus kontak sama Safira. Dia juga sudah nggak punya foto atau nomor Safira, katanya. Aku juga sudah tanya sama Alma, tapi dia sama sekali nggak tahu mengenai hubungan mereka. Aku menduga kalau mereka kenal bukan di Indonesia. Mungkin saja di Palestina. Buat sekarang ini, aku rasa sudah cukup cecar Bara mengenai hubungannya dengan Safira. Lagian dia jawabnya juga nggak banyak. Nggak kaget sama sifat dia yang irit ngomong sama aku.

"Mau ke butik jam berapa?"

Pertanyaan Alma bikin aku kaget dan apa.yang ada di pikiran ikut buyar. Tatapan kulempat ke arahnya yang sudah seleaai salat Zuhur. Aku sudah duluan salat selang beberapa menit dari waktu azan.

"Sekarang." Aku membalas singkat.

Ini hari terakhirku masuk kerja. Aku sudah izin ke Alma. Dia pasti ngerti karena sebelumnya mengalami hal yang sama. Nggak nyangka kalau kita menikah di tahun yang sama. Nggak nyangka lagi karena aku nikah sama cowok yang pernah dia taksir.

"Pas lo mau nikah, rasanya kayak aku nggak sih, Al? Gue masih nggak yakin saja kalau mau nikah sama Bara seminggu lagi." Aku mengungkapkan.

"Lo itu harusnya bersyukur, Sar. Bersyukur karena Bara nggak ngulur waktu lama buat nikahin lo. Percaya sama gue kalau Bara itu cowok terbaik yang Allah kirim buat lo. Buang jauh-jauh rasa nggak yakin lo. Nanti kalau lo sudah jadi istri dia, lo bakal tahu sendiri gimana dia. Gue jamin lo bakal muji dia ke gue nantinya." Alma meletakkan sajadah di atas sofa.

"Kapan lo nggak pernah puji Bara?" Aku menepis.

"Gue ngomong sesuai fakta, Sar. Apa lo masih kepikiran masalah Safira?" tebak Alma.

"Ya, salah satunya itu," ketusku.

"Bara paham agama, lo tahu itu. Dia nggak mungkin masih berharap sama cewek yang jelas bukan jodoh dia. Bara pasti lagi mikirin lo, mikirin pernikahan kalian, mikirin rumah tangga kalian ke depannya. Nggak penting banget buat Bara mikirin cewek yang nggak ditakdirkan buatnya. Lo kudu bisa mikir ke situ. Kalau lo mikir buruknya terus, kapan lo bisa percaya sama Bara?" Alma mengingatkan.

Astagfirullah. Kenapa aku nggak kepikiran sampai situ? Ucapan Alma seakan nampar aku kalau aku selama ini sudah curiga berlebihan sam Bara. Ya Allah, ampuni aku. Maafin aku, Bara.

"Sudah mau jam satu, mau jalan kapan?"

Alma kembali membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk. Masih ada rasa bersalah di dalam hati ini. Alma selalu mengingatkan aku. Dia memang lebih paham Bara dan lebih ke arah pikiran baik.

"Al ..." lirihku ketika dia akan membuka pintu.

Alma membalikan tubuh. Aku memeluknya. Air mata yang kutahan tumpah. Aku terisak dalam pelukan Alma. Entah kenapa aku merasa sangat bersalah dengan Bara.

"Gue ngerti kalau lo masih ragu. Percaya sama gue, Bara laki-laki baik." Alma mengusap bahu aku.

"Gue merasa bersalah sama dia karena sudah berpikiran negatif dan cemburu mengenai Safira. Jujur, gue cuma takut kehilangan dia." Aku mengungkapkan.

Alma melepas pelukan. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Kulihat dia tersenyum. "Wajar, kok. Aku ngerti," ucapnya.

Aku menunduk. Malu. Alma sudah banyak bantu meyakinkan aku supaya ikhlas menerima Bara. Dia juga sering semangati aku. Nggak tahu apa jadinya hubungan aku sama Bara kalau nggak ada campur tangan dia.

Aku dan Alma meninggalkan distro untuk menuju butik Tante Ani. Kami ke sana naik taksi. Bara nggak bisa ikut karena sibuk dengan tugas negaranya. Syukur Alma mau menemaniku ke sana, jadi aku ada teman ngobrol, minimal nggak sendirian ke sana.

Nggak lama, aku sama Alma sampai di butik Tante Ani. Seperti biasa, suasananya cukup sepi. Aku melangkah masuk bareng Alma setelah membayar taksi. Persiapan pernikahan aku sama Bara sudah hampir selesai. Undangan sudah disebar, tempat sudah ditentukan, masalah WO sudah selesai, katering diserahkan ke orang tua aku, dan pakaian juga sudah hampir selesai. Aku cukup tenang. Setelah ini, aku cukup fokus dengan diri aku sendiri, membuang rasa ragu menjelang hari sakral.

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam ketika memasuki butik Tante Ani.

"Wa alaikumussalam." Salah satu karyawati Tante Ani membalas salamku. Dia tersenyum padaku.

"Tante Ani ada?" tanyaku padanya.

"Ada, Mbak." Dia mengangguk.

Aku berjalan menuju ruangan Tante Ani berada diikuti Alma. Aku suka tempat ini. Di sini banyak gaun-gaun cantik terpajang pada manekin yang berjajar rapi. Aku menghentikan langkah ketika melihat Tante Ani sedang mengamati gaun warna putih yang terbalut pada sebuah manekin. Karyawatinya menyapa jika aku sudah tiba. Aku tersenyum ketika Tante Ani menataku. Beliau menyapa dan menghampiriku. Aku membalas sapaannya. Pandangan Tante Ani mengarah pada Alma.

"Ini Alma, Tante, teman SMA Bara. Dia mak comlang aku sama Bara." Aku mengenalkan Alma pada Tante Ani.

Tante Ani berjabat tangan dengan Alma. Aku hanya menatap mereka yang sedang berbincang singkat. Tante Ani mengajak aku untuk mengikutinya. Kami berjalan mendekati manekin yang tadi diamati Tante Ani.

"Ini gaunnya, Sar. Semuanya sudah jadi, tinggal finishing," kata Tante Ani.

Aku terpaku menatap gaun pengantin warna putih yang ada di hadapanku. Cantik. Nggak nyangka kalau jadinya bakal secantik ini. Aku suka.

Tante Ani kembali berjalan menuju gaun warna gold, buka coklat. Aku kira, sebelumnya bahan ini warna coklat, tapi ternyata gold, dan aku kembali takjub dengan gaun ini. Cantik.

Entah berapa lama untuk membuat gaun ini. Ini nggak mudah. Dan aku yakin kalau Bara banyak mengeluarkan uang demi gaun-gaun ini. Padahal gaun ini cuma dipakai sekali. Ya Allah.

Tante Ani kembali menunjukkan gaun berikutnya. Gaun terakhir.  Aku kembali dibuat tercengang. Ini bukan pilihan warnaku, tapi aku suka dan senang dengan desain Tante Ani. Bara nggak salah pilih desainer. Tante Ani sukses bikin aku kagum. Gaun warna pink ini sukses bikin aku nggak bisa komentar.

Walaupun aku nggak begitu suka desain gaun India, tapi gaun ini khas banget negara yang terkenal dengan Taj Mahalnya itu. Aku suka. Tak hentinya aku memuji Tante Ani. Bara harus tahu semua ini. Dia pasti juga senang.

"Bagaimana, Sar?" tanya Tante Ani.

"Ya Allah, Tante, Sarah suka banget. Sarah nggak nyangka kalau gaunnya bakal cantik banget seperti ini. Bara nggak salah pilih Tante buat desain gaun pernikahan aku sama dia." Aku mengungkapkan rasa puas dan memuji kehebatan Tante Ani.

"Tante hanya ingin memberikan yang terbaik buat Bara. Alhamdulillah kalau kamu suka. Tante juga bahagia." Tante Ani membalas.

Bukan hanya aku saja yang memuji gaun-gaun itu dan Tante Ani, tapi Alma pun memuji beliau. Tante Ani menawari aku untuk mencoba gaun itu. Aku menolak, tapi beliau memaksa untuk memastikan jika gaunnya pas di badan aku. Aku dibantu Tante Ani mengenakan gaun itu. Yang pertama gaun warna putih. Senyum tak pernah pudar dari wajahku ketika gaun ini terbalut di tubuhku. Aku terlihat sangat berbeda. Tante Ani mengganti jilbabku dengan warna putih agar senada dengan gaun yang kini sedang kukenakan. Alma tak hentinya memujiku. Dia mengabadikan momentum ini dengan mengambil gambar melalui ponselnya. Aku jadi malu.

Semua gaun sudah kucoba dan semuanya pas di badan aku. Gimana nggak pas, hampir sebulan aku diet gara-gara dikomporin sama Kakak aku. Katanya, mau nikah itu harus diet biar calon suamimu pangling. Hadeh. Segitunya. Bara nggak bakal nanya berat badan aku. Lagian dia ini terima aku apa adanya.

♡♡♡

Aku melangkah gontai memasuki halaman rumah. Capek. Hari ini aku lagi puasa karena tuntutan dari Kak Hana. Aku pulang diantar Alma dan Rio. Ya. Rio jemput kami di butik Tante Ani. Mana tadi panas banget bikin aku jadi lemas. Aku membuka pintu ruang tamu pas tiba di teras. Syukur nggak di kunci.

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil menutup pintu ruang tamu.

"Tante Sarah!!!" Sebuah teriakan menggema di ruang tengah.

Kulihat Hafa berlari ke arahku. Aku tersenyum menatapnya. Dia sudah datang rupanya. Keponakku satu-satunya itu menubruk tubuhku, memeluk pinggangku erat. Aku meletakkan tas karton yang ada di tangan ke atas meja. Kuusap kepala keponakanku satu-satunya.

"Hafa datang kapan?" tanyaku.

Hafa melepas pelukannya. "Tadi siang dijemput Kakek di bandara," balasnya sambil menatapku.

"Mana Bunda?" lanjutku.

"Ada di dalam." Hafa menunjuk ke arah dalam.

Aku meraih tas karton yang kuletakkan di atas meja, lalu berjalan mengikuti Hafa yang sudah mendahului masuk ke dalam. Rumah cukup ramai dengan kehadiran Hafa dan Kakak. Rasa capek jadi hilang karena lihat tingkah Hafa.

"Baru pulang, Sar?" Kakak menyapaku.

Aku kembali meletakkan tas karton di atas meja yang ada di ruang tengah. Aku menghampiri Kak Hana yang sedang menyiapkan piring, lalu kupeluk kakak perempuanku satu-satunya ini. Sudah lama aku nggak peluk dia. Aku mengurai pelukan ketika ada sesautu yang ganjal. Aku menatap perut Kak Hana.

"Kakak hamil?" tebakku.

Kak Hana tersenyum sambil mengangguk. Aku kembali memeluknya. Aku bakal nambah keponakan lagi.

"Kok nggak bilang-bilang?" tanyaku.

"Biar jadi kejutan."

"Kakak datang kapan? Sama Mas Fajar, 'kan?" tanyaku setelah melepas pelukan.

"Mas Fajar belum bisa cuti sekarang, Sar. Mungkin nanti, satu hari sebelum akad nikah kamu, dia baru ke sini." Kak Hana menjelaskan.

Aku hanya mengangguk. "Sarah ke kamar dulu, ya." Aku pamit.

Aku berjalan menuju kamar setelah meraih tas karton yang sempat kutaruh di atas meja. Tas karton itu berisi sovenir yang sempat aku pesan beberapa pekan yang lalu untuk tamu undangan dan baru kuambil tadi setelah dari butik.

Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Capek. Kupejamkan mata supaya capekku sedikit berukurang. Ingatanku tertuju pada gaun pengantin. Aku membuka mata, beranjak duduk, meraih tas yang tergeletak di atas kursi. Kuraih ponsel dari dalam tas untuk memastikan pesan dari Bara. Beberapa pesan masuk ke WA dari teman-teman. Mereka pasti komentar masalah postingan aku di WA. Biarlah. Cuma satu pesan yang aku utamakan saat ini. Bara. Aku membuka pesan darinya.

From: Bara
Masya Allah, tabarakallah.
Calon bidadari surga.

Aku tersenyum ketika melihat pesan balasan dari postingan aku di WA. Ternyata dia komentar mengenai gaun yang aku pakai. Cuma gaun warna pink yang aku posting. Sengaja. Kalau aku posting semua nanti nggak jadi kejutan lagi. Aku segera membalas pesan Bara.

To: Bara
Kamu suka nggak?
Aku suka banget.
Nggak salah kamu pilih Tante Ani buat rancang gaun pengantin kita.

Kukirim pesan balasan pada Bara. Sambil menunggu balasan darinya, aku beralih ke pesan teman-temanku yang berkomentar mengenai gaun itu. Ada yang memuji, ada yang kepo, dan sedikit yang bilang kurang cocok dengan warna kulit aku. Biarlah. Yang penting Bara setuju. Yang mau nikah aku, bukan mereka.

Perhatianku teralih ketika pintu kamarku terbuka. Aku menatap sumber suara. Kulihat Kak Hana masuk ke dalam kamarku.

"Belum mandi?" tanyanya sambil berjalan menghampiriku.

"Nanti, Kak. Masih capek." Aku membalas santai sambil menatap layar ponsel.

"Nggak terasa kamu sudah mau nikah ya, Sar. Kakak kira, kamu itu mau nikah sama Fandi, nggak tahunya sama Bara."

Aku menghela napas mendengar ucapan kakakku. Kenapa Kak Hana harus sebut dia? Males banget bahas dia.

"Fandi bukan jodoh Sarah, tapi Bara yang ditakdirkan buat Sarah. Lagian Fandi kurang baik buat sarah, makanya dia juga dapat jodohnya yang setara," balasku dengan nada sedikit kesal.

Nggak ada jawaban. Aku menatap Kak Hana. Dia tersenyum. Aku menaikan kedua alis. Misterius.

"Kakak masih ngebayangin waktu kamu masih kecil. Kamu yang manja, cengeng, tomboy, sekarang mau nikah." Kak Hana mengungkapkan.

"Sarah sudah gede, Kak. Nggak kecil lagi, nggak manja lagi, nggak tomboy lagi, apalagi cengeng." Aku nggak mau kalah.

"Kamu sekarang berubah. Apa karena Bara?" tebaknya.

Aku jadi nggak konsen balas pesan teman-teman. Kuletakkan ponsel di atas kasur. "Kalau bukan Bara siapa lagi, Kak? Alma juga, sih. Ya, Sarah cuma bersyukur saja bisa ketemu sama Bara apalagi mau nikah sama dia. Masih nggak nyangka saja sama semua ini. Masih kayak rasa mimpi. Bara ini pintar, dokter, hafidz, tapi mau nikah sama aku yang jauh dari kriteria dia." Aku menjelaskan.

"Semoga Bara yang terbaik buat kamu. Kakak cuma bisa doakan buat kebaikan kamu. Jadi istri yang baik, yang setia, dan nggak nuntut macam-macam." Kak Hana mengingatkan.

"Iya, Kak, insya Allah. Maafin Sarah kalau banyak salah sama Kakak." Aku menunduk.

Kak Hana memelukku. "Rumah ini bakal sepi kalau nggak ada kita. Kakak sedih jauh dari Mama Papa. Kamu jangan jauh-jauh dari Mama Papa, kalau bisa minta sama Bara buat tinggal di sini biar Mama nggak merasa kehilangan anak-anaknya." Kak Hana memberi saran. Nadanya terdengar sedih.

Gimana nggak sedih? Kak Hana dibawa Mas Fajar ke luar kota. Jauh dari Mama Papa, dan jarang ketemu. Ketemu kalau ada kayak gini atau pas lebaran. Rindu? Sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi? Kak Hana harus menuruti suaminya. Papa Mama juga nggak berhak melarang. Aku? Kayaknya bakal mengalami hal yang sama. Kalau dibilang pingin kembali pas kecil, aku mau. Kita semua masih sama-sama di rumah ini. Rumah ramai dengan teriakan aku sama Malik karena ribut masalah alat sekolah. Sekarang rasanya sepi. Aku jadi sedih mau ninggalin Mama Papa. Nanti cuma ada Malik. Dia juga sibuk sama sekolah.

Ya Allah, begini banget rasanya mau ninggalin orang tua demi menyempurnakan sebagian agamaMu. Aku galau, ya Allah.

♡♡♡

Siapa yang pernah ngerasain kayak Sarah?
Follow, vote, dan koment tak tunggu, ya.
Pict cuma pemanis, silakan dihaluin. 😆

Luv u all ❤❤🌹


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro