Bagian 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari yang ditunggu sekarang tiba. Hari di mana Bara akan menjabat tangan Papa dan mengucapkan kalimat sakral. Aku nggak bisa bayangin. Gugup, khawatir, haru, semua campur aduk. Masih nggak percaya kalau aku bakal dinikahi Bara. Masih berasa seperti mimpi. Beruntung banget aku bisa dapat laki-laki seperti Bara. Dia pilihan terbaik buat aku. Ya. Saat ini aku ada di masjid dekat rumah sesuai permintaan Bara untuk prosesi ijab kabul. Alasan dia memilih masjid karena ingin masjid itu menjadi saksi pernikahan kita. Aku nggak bisa nolak karena itu hal bagus.

"Mempelai laki-lakinya sudah sampai."

Cermin kembali menjadi pusat perhatianku. Gaun pengantin warna putih sudah menghiasi tubuh ini. Kepalaku pun sudah terbalut hijab dan mahkota terhias rapi di atasnya. Aku kelihatan beda. Merasa lebih cantik dari biasanya.

"Bara sudah sampai, Sar. Acaranya sebentar lagi dimulai." Alma memberi info.

Aku menatap Alma dari pantulan cermin. "Aku mimpi nggak sih, Al? Kok aku masih berasa kayak mimpi mau nikah sama Bara," ungkapku.

Alma menyentuh bahuku. "Nggak, kok, ini beneran nyata. Kenapa? Masih nggak percaya?" tanyanya.

Kepalaku mengangguk lemah. Alma terlihat menahan tawa. Napas kuhela. Perhatianku teralih ketika Alma menyodorkan ponselnya. Aku menatap layar ponsel milik dia. Aku tersenyum seketika saat lihat postingan Bara di WA. Dia terlihat sangat tampan mengenakan pakaian itu. Pantas saja dia nggak mau jahit baju buat pernikahan kita, ternyata sudah disiapkan sendiri dan nggak perlu jahit.

"Akhirnya lo nyusul gue juga, Sar. Nyusul gimana rasanya nanti jadi istri. Lo bakal rasain." Alma bersuara.

Ponsel miliknya kukembalikan. "Rencana Allah memang dahsyat, ya. Gue saja masih nggak percaya," balasku.

Alma mengupas tata cara menjadi istri yang baik. Nggak cuma dia saja, tapi Kak Hana juga banyak menceramahiku mengenai rumah tangga. Aku cuma mendengarkan saja sambil mengiyakan. Ya, aku memang harus banyak tahu tentang rumah tangga supaya nggak kaget. Apalagi calon suami aku belum aku kenal banget, jadi aku harus banyak tahu dan mencari tahu. Setidaknya aku tahu sedikit mengenai karakter Bara. Yang kutahu dia memang sederhana, entah nanti sesungguhnya. Dia juga nggak pilih-pilih makanan. Apalagi mengenai pakaian, dia nggak ribet. Untuk ibadah, jangan tanya. Dia paling rajin dan tepat waktu.

Suara pintu terbuka menjeda penjelasan Alma. Lebih tepatnya mengakhiri. Mama dan Tante Ani terlihat  masuk ke dalam ruangan ini. "Sar, ijab kabulnya sudah selesai." Mama menyampaikan.

Tatapanku kembali ke Alma. Dia hanya tersenyum, menguatkan. Pandanganku beralih pada Mama. "Serius, Ma?" Aku memastikan.

"Iya." Mama membalas singkat.

"Waktunya kamu untuk keluar, Sar." Tante Ani menginstruksi.

Aku beranjak dari tempat duduk. Tante Ani memberikan buket bunga padaku. Beliau merapikan gaun yang kukenakan, sedangkan aku justru masih sibuk dengan pikiran sendiri karena masih belum percaya sudah sah menjadi istringa Bara.

Mama, Tante Ani, dan Alma menemaniku berjalan menuju aula masjid untuk menemui calon suamiku. Ah, bukan lagi calon sekarang, tapi Bara sudah sah jadi suami aku karena dia sudah mengucapkan ijab kabul. Ini nyata nggak, sih? Kok aku jadi ragu begini?

Aula masjid terlihat sangat ramai. Semua mata tertuju padaku, tapi mataku justru tertuju pada sosok laki-laki yang masih menunduk tanpa menatapku. Dia yang sudah mengucapkan janji suci di hadapan Papa dan semua orang.

Seketika aku merasa gugup saat duduk di samping Bara. Meliriknya saja malu apalagi menatapnya. Bara saja nggak menoleh sama sekali. Dari awal tiba di sini Bara sama sekali nggak nataaku. Melirik saja nggak sama sekali. Kami pun sibuk dengan surat nikah yang perlu tanda tangan.

"Selamat untuk Mas Bara dan Mbak Sarah. Kalian sudah resmi jadi suami istri," kata petugas dari KUA.

Hanya senyum paksa dan mengangguk lemah yang kulakukan.

"Silakan diberikan maharnya," lanjut petugas KUA.

Tante Ani memberi instruksi agar aku membetulkan posisi duduk untuk menghadap Bara. Bara terlihat meraih sesuatu di atas meja saat aku sudah berhadapan dengannya. Dia mengulurkan tangan, meminta tanganku agar menerima ulurannya. Aku menggerakkan tangan dengan gerakan ragu sambil menunduk malu. Bara juga terlihat ragu. Aku kembali menggerakkan tangan untuk menyentuh tangannya, tapi entah kenapa ragu itu semakin menggunung. Gemetar. Suasana pun riuh karena banyak yang menggoda kami. Aku benar-benar malu.

"Sar," lirihnya.

Aku berusaha menenangkan hati, lalu mengggerakkan tangan untuk perlahan mendekati tangan Bara. Ya. Tanganku kini digenggamnya. Bara menyematkan cincin di jari manisku. Nyata. Aku memejamkan mata, berharap semua ini benar nyata.

Perhatianku teralih ketika Mama berbisik padaku untuk mencium tangan Bara. Ternyata tanganku masih digenggamnya. Aku menarik tangannya ragu. Perlahan kudekatkan pada wajah, lalu mencium punggung tangannya. Ini pertama kali kami bersentuhan langsung. Setelah itu, Bara pun mencium keningku. Samar kudengar dia berdoa. Setelah itu, suasana cukup tenang. Aku masih pada posisi, duduk di samping Bara. Bara juga tenang.

"Ayo, Bar." Abi menginstruksi.

Bara terlihat mengangguk, lalu menarik napas dalam. Lantunan ayat suci keluar dari lisannya. Seketika aku merinding. Tatapan kuberanikan beralih ke arahnya. Dia terlihat tenang melantunkan ayat-ayat suci. Aku terharu. Apa dia kasih mahar surat untuk aku? Kalau iya, alangkah beruntungnya aku.

Cukup lama Bara melantunkan ayat suci sampai yang hadir di sini pun merasa terhipnotis dengan lantunan ayat sucinya. Aku nggak tahu dia melantunkan surat apa, tapi lantunannya sangat menyentuh hati dan merdu.

Selanjutnya, aku dan Bara  sungkem pada orang tua. Mama dan Papa memasrahkan aku pada Bara. Mereka meminta Bara untuk menjagaku. Ini yang membuat aku sedih bahkan menangis. Aku masih nggak tega kalau harus ninggalin Mama sama Papa. Dari aku lahir sampai besar segini, ini momen paling menyedihkan yang aku rasakan.

"Titip Sarah, Nak. Mama percaya kalau kamu bisa didik anak Mama," kata Mama sambil memeluk Bara, mengusap punggungnya lembut.

"InsyaAllah, Ma." Bara membalas.

Aku pun memeluk Mama. Lama. Nggak tahu harus ngomong apa. Kelu. Rasanya campur aduk. Mama mengusap punggung aku. Aku terisak.

"Nanti riasannya rusak." Mama mengingatkan.

Aku menggeleng. Nggak peduli. Aku masih ingin memeluk Mama.

"Sar." Papa mengusap bahuku.

Pelukan bersama Mama terpaksa kulepas. Mama mengusap air mataku. Entah kenapa air mata nggak mau berhenti keluar.

"Jangan nangis terus, nanti make up-nya rusak." Kak Hana mengingatkan.

"Nggak apa-apa, Mbak. Mungkin Sarah masih sedih. Nanti bisa dirias lagi." Tante Ani menimpali.

Jujur, rasanya berat banget. Apa semua pengantin cewek merasakan seperti ini? Berat banget mau ninggalin Mama Papa. Aku sudah dari kecil tinggal bersama mereka, lalu bakal ninggalin mereka setelah diambil suamiku. Sedih.

Setelah prosesi ijab kabul selesai, kami akan bertolak ke gedung resepsi. Tapi sebelum itu, aku harus ganti gaun dan merapikan make up di wajahku yang berantakan karena air mata.

Hari ini akan melelahkan buat aku, Bara dan keluarga kami. Tapi seenggaknya hal yang akhir-akhir ini bikin aku galau, takut, dan khawatir akan terlewati. Aku bahagia dengan semua ini. Yang pasti aku bersyukur karena Allah pilihkan laki-laki terbaik untukku yang akan menemaniku mengarungi bahtera rumah tangga. Rasanya masih nggak percaya semua ini terjadi.

♡♡♡

Aku mengerjapkan mata, lalu meraba benda yang membuat tidur nyamanku terganggu. Kuusap layar ponsel dengan asal untuk mematikan alarm. Masih bunyi. Aku membuka mata lebar untuk melihat layar ponsel. Kuputar benda pipih yang ada di tangan. Ini bukan ponselku. Tubuh segera beranjak duduk. Ponselku terlihat masih di atas nakas.

Astagfirullah. Aku lupa kalau sekarang sudah jadi seorang istri. Ya. Aku istrinya Baraa Hameed. Kenapa aku semalam ketiduran sampai pagi begini? Di mana Bara?

Semalam aku capek banget karena seharian sibuk dengan prosesi pernikahan. Sampai rumah aku langsung tidur karena benar-benar lelah dan ngantuk. Aku juga nggak tahu Bara masuk ke kamar ini jam berapa karena aku ketiduran. Bisa jadi dia tidur di luar karena pintu kamar aku kunci. Tapi seingatku, aku nggak kunci pintu kamar.

Aku beranjak dari kasur untuk memastikan pintu kamar. Nggak dikunci. Jadi Bara semalam masuk ke sini. Aku menepuk dahi karena lupa. Ponselnya ada di kamar, sudah pasti dia masuk ke sini. Dia pasti lihat ekspresi aku lagi tidur. Malu aku.

Langkah kuayun mendekati lemari dan mencari pakaian yang sesuai. Aku nggak mau kelihatan norak di depan Bara. Gamis warna baby pink menjadi pilihan. Semenjak pakai gaun warna baby pink, aku jadi suka warna-warna kalem. Setelah itu, aku segera mandi.

Setelah menyelesaikan keperluan, aku bergegas keluar dari dalam kamar mandi. Aku harus segera menunaikan salat Subuh karena sudah lewat masuk Subuh. Fokus. Setelah selesai, aku bergegas melepas mukena. Terdengar pintu kamar ini terbuka disertai suara salam. Ah, ternyata Bara yang masuk ke kamar ini. Aku nggak tahu dia habis dari mana.

"Wa alaikumussalam," balasku lirih.

Langkah kakinya terdengar menghampiriku. Aku bergegas memakai jilbab. Rasanya masih malu kalau nggak pakai jilbab di depan dia. Bara duduk di tepi kasur. Aku meletakkan lipatan mukena dan sajadah di atas dipan.

"Sar," panggilnya.

Aku hanya bergumam, masih membelakanginya. Dia menyentuh lenganku dan menginstruksi agar aku menghadapnya. Aku menurut, lalu duduk di sampingnya. Menunduk. Mata kupejamkan ketika Bara akan mencium keningku, menggigit bibir bawah karena merasa canggung. Deg-degan. Bibir Bara terasa lembut mencium keningku.

"Maafkan aku kalau semalam bikin kamu nunggu lama sampai ketiduran," ucapnya setelah mencium keningku.

Mata kubuka. Wajah yang aku kagumi kini persis di depanku dan jaraknya nggak jauh. Dia benar-benar tampan. Wajahnya bersih dan putih. Senyumnya menenangkan. Aku menahan senyum karena malu. Dia mengangkat tangan lalu menyentuh pipiku.

"Bagaimana rasanya?" tanyanya lembut.

Ya Allah, baru kali ini dia tanya tanpa aku harus mendahului. Ada apa dengannya? Apa ini caranya? Kenapa baru sekarang?

"Kok diam?"

Hanya gelengan kepala yang kulakukan. Bingung mau balas apa. Dia kembali tersenyum. Aku jadi makin malu.

Ya Allah, baru kali ini aku lihat dia senyum seperti ini. Sebelumnya, mana pernah dia seperti ini. Apa ini sifat asli dia.

Gerakan Bara mengalihkan perhatianku. Dia beranjak dari kasur. Ini pertama kali aku lihat dia pakai sarung dan peci. Penampilannya berbeda.

"Tadi kamu dari mana?" tanyaku memberanikan diri.

Dia membalikan tubuh setelah meletakkan peci di atas nakas. "Aku salat jamaah di masjid belakang rumah," balasnya santai. "Kenapa? Kamu nyariin aku?" lanjutnya dengan pertanyaan.

Gelengan kepala kembali kulakukan, lalu menunduk. Setelah melepas sarung, dia kembali menghampiriku, duduk di sampingku. Hening. Lantunan ta'awudz terdengar dari arah Bara, membuat aku segera menatapnya. Ayat suci pun menyusul dilantunkan olehnya. Merdu. Dia tersenyum saat tahu aku memerhatikannya, meraih tanganku dan digenggamnya dalam keadaan masih melanjutkan lantunan. Aku juga ikut tersenyum. Tenang banget rasanya. Suara Bara sangat merdu dan menyentuh. Dia benar-benar suami idaman. Cukup lama aku menikmati lantunannya. Nggak tahu ayat apa yang dia lantunkan.

"Maafin aku kalau sempat ragu sama kamu." Aku mengungkapkan ketika dia selesai melantunkan ayat suci.

Dia kembali menyentuh pipiku. "Tidak masalah. Wajar kalau kamu merasa seperti itu dan aku memaklumi," balasnya.

Tangannya kutahan saat akan terlepas dari pipi. "Apa aku pantas jadi istri kamu?" tanyaku nggak yakin.

Tatapan Bara terlihat datar. Dia melepas tangan dari pipiku, lalu menarik tubuhku agar kami berpelukan. Aku pasrah dengan perlakuannya.

"Allah akan memantaskan jika Dia berkehendak. Aku bersyukur karena Allah pilih kamu sebagai tulang rusukku." Bara berusaha menenangkan aku.

Aku hanya diam tanpa ingin membalasnya. Pagi ini, suasana bercampur antara bahagia dan haru. Aku juga bahagia karena Allah pilih aku untuk menjadi tulang rusuknya.

Ya Allah, terima kasih atas semua nikmat yang Engkau berikan pada hamba termasuk nikmat memiliki suami seperti dia. Aku yakin, Bara mampu jadi suami yang baik untuk aku dan membimbing aku untuk selalu taat padaMu. Aamiin.

♡♡♡


.
Cieee ... ada yang baper 🤣🤣🤣
Eh, ada yang nungguin nggak?

Mau kasih ucapan apa ke Bara?
Sok, lapak tak persilakan untuk diacak-acak. 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro