Bagian 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama ini aku sudah salah menilai Bara. Aku mengira jika dia cuek. Salah. Dia justru sangat ramah dan baik. Dia juga nggak seirit ngomong yang sering aku keluhkan. Dia justru banyak ngomong dan selalu mendahului obrolan saat aku diam. Dia sangat berbeda dengan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Alasan dia cuek, diam, dan nggak perhatian itu karena untuk menjaga hal-hal di luar keinginan kita. Aku baru tahu sekarang. Nyesel.

Tangan Bara kugenggam erat. Walaupun dia sibuk dengan pekerjaan, tapi dia selalu meluangkan waktu untukku setelah bekerja. Dia nggak ambil cuti banyak, hanya dua hari, Jumat dan Senin. Ini hari libur pertamanya setelah kami menikah. Dia mengajak aku liburan ke Bogor. Dia juga pesan vila untuk kita menginap. Dia sangat romantis. Setiap mau tidur, dia selalu minta maaf. Saat bangun tidur, dia selalu mencium dahiku. Dia nggak pernah bangunin aku waktu tidur kecuali buat salat wajib. Dia juga nggak maksa aku untuk melakukan ini dan itu termasuk bisa masak. Mama selalu marah ke aku kalau bangun siang, tapi Bara meredakan suasana dengan kata-katanya yang lembut. Dia laki-laki terbaik yang aku miliki. Beruntungnya aku memiliki suami seperti dia.

Aku menyandarkan kepala di bahunya. Bara melepas tangannya dari genggamanku, lalu mengusap kepalaku lembut. Sesekali dia mencium puncak kepalaku. Romantis.

"Masih lama?" tanyaku. Kembali menggenggam tangannya.

"Sebentar lagi," balasnya.

"Kenapa harus malam jalannya? Nggak besok pagi saja?"

"Supaya kita lebih banyak waktu berdua."

Senyum kusungging saat mendengar ucapan terakhirnya. Mungkin dia merasa nggak bebas di rumah orang tuaku karena masih canggung. Bara juga belum ada niatan buat ajak aku pindah ke rumah orang tuanya. Aku terserah dia. Mau di rumah orang tuaku ya syukur. Mau pindah ke rumah orang tuanya juga aku nggak masalah. Syukur-syukur Bara punya rumah sendiri.

"Mau makan dulu?"

Tatapan kualihkan padanya. "Kamu lapar?" tanyaku balik.

"Kamu?"

"Kok malah nanya aku?" Aku tak mau kalah.

Dia terkekeh. Aku mencubit pipinya pelan.

"Kenapa nggak berasa?" Dia mulai menggoda.

"Jadi mau yang berasa?" Aku memastikan.

"Nanti saja. Aku sedang menyetir sekarang."

Suasana kembali hening di dalam mobil ini. Biar dia fokus nyetir. Aku juga nggak mungkin bercanda sama dia di saat seperti ini. Bahaya. Salah satu sifatnya yang sekarang aku tahu, suka bercanda. Dia bisa cairkan suasana kalau aku lagi kesal.

Kami tiba di depan restoran masakan sunda. Seperti biasa, Bara selalu membukakan pintu mobil untukku. Tangan kami kembali bertautan sambil masuk ke dalam restoran. Baru kali ini aku ke daerah puncak dan makan di restoran yang ada di sini. Lumayan ramai. Sekarang sudah jam delapan malam. Kami berangkat setelah Bara pulang dari tugas menangani pasien. Jalan sudah mulai macet setelah keluar dari tol. Kami sempat berhenti di rest area saat waktu salat. Bara menyarankan agar mencari meja kosong dekat balkon. Aku menurutinya. Urusan pesan makanan aku serahkan ke dia. Aku pilih cari tempat duduk yang nyaman. Aku tahu alasan Bara memilih tempat dekat balkon. Pemandangan malam hari terlihat jelas dari sini. Aku menghampiri meja yang kosong. Tepat di pojok. Kuraih ponsel dari dalam tas buat kasih kabar Bara kalau aku ada di pojok. Setelah mengirim pesan, aku menatap ke arah pemandangan yang menampilkan gemerlap lampu yang ada di bawah sana.

Aku terkesiap ketika mendapati Bara duduk di sampingku. Senyum terlihat jelas di wajahnya. Dia mengalungkan tangan di bahuku.

"Kamu pesan makan apa?" tanyaku.

"Nasi putih biasa, gurame goreng asam manis, perkedel, bakwan jagung, sambal hijau, teh hangat dan kopi." Dia menjelaskan.

Hanya anggukan yang kulakukan untuk menanggapi kalimatnya. Apa yang dia pesan termasuk makanan kesukaanku. Bara pesan kopi karena dia pasti ngantuk. Kami benar-benar menikmati waktu berdua. Minuman yang kami pesan sudah tiba. Bara membetulkan posisi duduk, lalu meraih cangkir berisi kopi yang baru disuguhkan. Aku hanya memerhatikannya. Dia bukan pecinta kopi, tapi dia terkadang minum kopi jika dibutuhkan. Dia pasti lebih tahu kapasitas dalam masalah makanan atau minuman yang harus dikonsumsi olehnya.

"Kamu sering ke sini?" Aku kembali membuka obrolan.

"Jarang. Hanya sesekali kalau ingin," balasnya tanpa menatapku. Pandangannya masih pada gemerlapnya lampu di bawah sana.

Aku tak membalasnya, ikut menikmati keindahan pemandangan yang tersaji ditemani udara yang kini terasa dingin. Makanan pesanan kami pun tiba. Aku tergoda dengan makanan yang Bara pesan. Kami pun menyantap makanan yang tersaji sambil sesekali diselingi candaan ringan. Aku kalah dengannya dalam hal makan. Dia cepat jika makan. Aku baru dua suap, dia sudah lima suap. Sesekali dia menyuapiku untuk menunjukkan rasa sayangnya. So sweet.

Setelah selesai makan, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju vila. Hari sudah malam, dan Bara juga pastinya lelah. Kita nggak perlu mampir-mampir lagi karena kebutuhan lain sudah ada di bagasi. Aku sudah menyiapkan keperluan kita selama dua hari di vila. Bara pun membeli bahan makanan untuk kita masak di sana.

Akhirnya kita sampai di tempat tujuan. Aku bergegas turun dari mobil sebelum Bara membukakan pintu aeperti biasa. Sengaja. Aku akan membantunya, tapi dia melarangku. Dia menyuruhku untuk membukakan pintu. Aku menurutinya, membuka pintu vila yang akan kami tempati. Aku masuk ke dalam. Vila ini memiliki dua lantai. Ada satu kamar di bawah. Nggak tahu di atas. Ada dapur. Satu kamar mandi. Dan ada ruang tamu. Aku duduk di sofa sambil menunggu Bara. Dia pun masuk sambil membawa koper dan perlengkapan lain. Aku hanya menatapnya sambil tersenyum. Salah siapa dibantu nggak mau.

Pintu utama kututup setelah semua barang dibawa masuk. Aku bergegas menuju kamar karena Bara sudah terlebih dulu masuk ke sana. Kulihat dia membuka koper dan mencari sesuatu. Aku melepas jilbab, lalu merebahkan tubuh di atas ranjang.

"Cari apa?" tanyaku.

"Cari handuk, alat mandi, baju."

Aku beranjak dari tempat tidur, lalu menghampirinya. Kubuka koper bagian depan, lalu meraih alat mandi yang kujadikan satu biar nggak makan banyak tempat. Aku memberikan alat mandi pada Bara. "Aku siapkan bajunya," kataku.

Bara menerima, lalu mencium pipiku. "Syukron," katanya setelah mencium pipiku.

Sudah bisa dipastikan kalau wajah aku merah karena malu. Bara beranjak dari hadapanku untuk segera mandi. Dia memang belum mandi dari pulang kerja karena langsung jalan ke sini. Aku nggak masalah. Dia nggak mandi saja tetap tampan dan wangi. Apalagi kalau baru bangun tidur. Mukanya ngegemesin. Aku betah kalau natap dia baru bangun tidur.

Sambil nunggu Bara, aku kembali tiduran di kasur. Udara dingin membuatku ingin cepat tidur.

♡♡♡

"Sar."

Panggilan itu membuat tidur nyamanku terganggu. Aku masih enggan membuka mata karena ingin menikmati tidur. Usapan mendarat di lenganku disertai panggilan agar aku bangun. Aku masih bergeming.

"Sudah masuk waktu Subuh. Kamu nggak salat Subuh?" tanyanya.

Ucapannya kembali kuabaikan, masih nyaman dengan gelungan selimut, dan di tambah udara yang mendukung. Kecupan mendarat di keningku. Biarin saja.

"Beneran nggak mau bangun?" bisiknya.

Mata masih enggan kubuka, lalu menggelengkan kepala. Kecupan mendarat di mata, lalu beralih ke pipi, membuat aku menenggelamkan wajah pada bantal. Bara masih terus berusaha agar aku bangun dengan cara mencium telingaku. Geli. Tangan segera kuangkat untuk membekap mulutnya  tapi dia justru menggigit jariku pelan, membuat aku refleks menarik tangan.

"Mau bangun sendiri atau aku gendong ke kamar mandi sekarang juga?" Dia mengancam.

Senyum kusungging tanpa ingin membuka mata. Dia selalu seperti ini kalau membangunkan aku. Kalau dicium masih belum bangun, pasti ada cara lain supaya aku bangun.

"Masih belum mau bangun?" Dia masih terdengar sabar.

Mata perlahan kubuka karena tangan Bara kini di tengkukku, lalu disusul ciuman di bibir. Aku membuka mata lebar saat akan menolak, tapi dia justru menekan tubuhku. Bibir masih terkatup rapat. Jangan sampai mulutku terbuka karena belum sikat gigi. Please, Bara. Aku nggak PD.

Aku bernapa lega saat Bara menjaga jarak wajah kami. Lebih tepatnya karena dia tahu kalau aku sudah bangun.

"Lagi?" tanyanya.

Hanya gelengan kepala yang kuberikan, lalu bergegas duduk. Dia juga ikutan duduk. Aku hanya bisa tersenyum getir di hadapannya, lalu beranjak dari kasur untuk ke kamar mandi. Kalau aku belum salat, dia pasti akan terus mengingatkan. Setelah selesai wudu, aku segera bersiap buat salat Subuh. Airnya dingin banget seperti es sampai terasa ke tulang. Bara terlihat sedang sibuk dengan Alqur'an. Lebih baik aku segera menunaikan salat Subuh.

Setelah selesai salat Subuh, aku melepas mukena, lalu melipatnya dan meletakkan di sisi ranjang. Kuraih jaket yang tersampir di kursi, lalu mengenakannya sambil berjalan keluar kamar. Saat aku selesai salat, Bara sudah nggak ada di kamar. Aku mengedarkan pandangan ketika sudah di ruang tengah. Terdengar suara dari arah dapur. Aku berjalan perlahan menuju sumber suara. Rupanya dia memang ada di dapur sedang membuat sarapan.

Peluk, enggak. Peluk, enggak. Peluk.

Kedua tangan kuangkat, melingkarkan di pinggang Bara, lalu memeluknya erat. Dia menoleh sekilas ke arahku sambil tersenyum hangat, lalu kembali sibuk dengan roti yang sedang dia panggang. Ini pertama kali aku melakukan hal ini. Kalau di rumah nggak mungkin aku bisa melakukannya.

"Butuh bantuan apa?" tanyaku menawarkan.

"Bantu bawa roti bakarnya ke meja ruang tengah," perintahnya.

Pelukan kulepas, menerima piring berisi roti bakar untuk dibawa ke ruang keluarga, sedangkan Bara kembali sibuk bikin minuman. Aku melepas pelukan. Aku duduk di sofa setelah meletakkan piring berisi roti bakar di atas meja. Dua cangkir berisi minuman hangat ada di tangan Bara, lalu memberikan dalah satunya padaku. Dengan senang hati aku menerima. Bara duduk di sampingku, meraih remot televisi, lalu menyalakan benda persegi panjang itu. Dia suka dengan animasi kartun. Nggak salah kalau sekarang yang ada di layar televisi adalah film kartun. Aku baru tahu hal ini saat dia sibuk dengan ponselnya, ternyata nonton film kartun. Aku nggak masalah. Dia justru kurang suka game seperti cowok kebanyakan yang hobi main game berjam-jam sampai lupa waktu. Suamiku beda.

Pagi ini sangat terasa berbeda. Udara di sini sangat dingin, menambah keromantisan honeymoon yang kita lakukan. Aku suka seperti ini, hanya berdua, jadi bisa bebas melakukan apa saja tanpa ada yang mengawasi atau diganggu. Andai saja bisa seperti ini setiap hari.

.
♡♡♡


.
Jangan ganggu pengantin baru ya.
Mereka lagi nikmati honeymoon.
Kalian kasih semangat aku saja biar semangat ngeditnya. Haha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro