Bagian 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku meraba sekeliling untuk mencari benda pipih yang bergetar karena panggilan telepon masuk entah dari siapa, dan bikin aku terbangun dari tidur nyenyak. Mataku mengerjap untuk memastikan orang yang nggak putus asa telepon nomorku pagi buta sepertu ini. Kalau nggak Alma mungkin yang berhubungan dengan pekerjaan. Mata kupaksa terbuka lebar karena rasa kantuk masih menyerang. Sesuai dugaan. Alma yang menghubungiku. Layar ponsel kugeser ke warna hijau, lalu menempelkan benda pipih ini ke telinga, dan aku kembali menutup mata.

"Sar, cepat ke distro, Bara mau ketemu lo. Kenapa lo nggak balas WA Bara? Dia telepon juga katanya nggak lo angkat? Lo kok jadi gini, sih? Katanya mau bantu dia totalitas?" Sarah memberondong banyak pertanyaan. Sudah kayak petasan yang ada di hajatan.

Rasa kantuk lebih mendominasi, membuat aku kembali memejamkan mata, mengabaikan kata-kata Alma yang membahas Bara. Nggak peka banget sih ini anak. Aku lagi putus cinta, dia malah ngomel nggak jelas sekarang.

"Saraahh!!!"

Ponsel kujahukan dari telinga karena Alma mulai ngegas. Dia kalau sudah seperti ini bakal terus ngomel kayak petasan. "Iya, gue ke distro!" balasku kesal.

"Cepat!"

Sambungan telepon kututup karena kesal. Ganggu waktu tidurku saja. Sudut layar menjadi pusat perhatian untuk memastikan jam. Mataku langsung melotot. Sudah jam sepuluh siang. Aku segera beranjak duduk, lalu menatap sekitar. Berantakan. Sudah hampir sepekan duniaku berantakan. Hubungan berantakan, kerjaan berantakan, kamar berantakan, lebih-lebih penampilan. Mama sampai ngomel-ngomel lihat aku kacau seperti ini. Semua ini gara-gara Fandi. Dia yang bikin aku seperti ini. Dia jahat sama aku. Dia selingkuh. Dan bodohnya, kenapa aku nggak curiga waktu Gina kasih info ke aku kalau Fandi dekat sama Nela. Bodoh!

Aku segera turun dari kasur, memunguti barang-barang yang berserakan. Pakaian, kertas, sampah, semua berhamburan di kamar ini. Seminggu juga aku nggak ke distro. Kerjaanku cuma di kamar, nangis, meratapi diri, kesal. Sumpah! Kacau parah!

Suara pintu terbuka membuat aku terkesiap, menoleh ke sumber suara. Palingan Mama yang masuk ke sini. Aku masih sibuk merapikan kamar.

"Nah, gitu, dong! Jangan nangis terus. Kalau Fandi saja bisa dapat lagi, kamu juga harus cari dan dapat yang lebih baik lagi dari dia. Laki-laki di Jakarta yang lebih tampan dari Fandi banyak, Sarah." Mama mulai kambuh mengomel.

Omelan Mama kuabaikan. Lebih baik aku siap-siap buat ke distro. Nggak guna juga mikirin Fandi terus. Aku juga nggak mau terus-terusan seperti ini. Ya sudah, kalau dia maunya seperti ini, aku harus menerima dengan berat hati. Sedih? Pasti. Mau gimana lagi? Hidup juga akan terus berjalan. Nangis pun nggak akan bikin semuanya balik.

"Sar, Mama mau ke tempat Tante Dina. Kalau mau makan tinggal panasin kuah santannya di dapur." Mama pamit.

"Sarah mau ke distro. Nanti makan di warung dekat distro saja," balasku malas. Malah juga ke dapur, apalagi manasin sayur.

"Ya sudah, Mama jalan dulu, ya." Mama berjalan keluar dari kamarku.

Hanya gumaman yang kulakukan. Setelah nepergian Mama, aku mengayun lanhkah gontai menuju kamar mandi setelah meraih handuk baru dari dalam lemari. Rumah ini sepi lagi.

Setelah mandi, rapi-rapi penampilan, memastikan keperluan di dalam tas, aku pun keluar dari rumah untuk menuju tempat kerja. Rumah sepi. Mama ke rumah Tante Dina untuk cari hiburan. Maklum, Mama butuh hiburan karena Kak Hana dan keponakanku sudah nggak tinggal di sini lagi. Dia sudah ikut suaminya ke Pontianak karena Mas Fajar ada tugas di sana. Aku tiga bersaudara. Yang paling kecil si Malik. Dia masih kelas tiga SMA. Papa juga sibuk dengan bisnisnya.

Setelah mengunci pintu utama, aku segera meninggalkan rumah. Kali ini aku pakai motor ke distro karena mobil dipakai Papa. Nggak semangat aslinya ke distro. Paling masalah Bara. Lagian aku sudah serahkan ke Alma, tapi dia juga sibuk dengan urusan pribadinya.

Nggak sampai sepuluh menit, aku tiba di distro. Ada mobil Bara di sini. Dia pasti ada di dalam. Hari ini dia mau ambil barangnya yang dikirim bareng sama barang distro. Aku melangkah masuk ke dalam distro. Senyum paksa kulakukan pada Jasmin ketika dia menyapaku. Aku langsung menuju ruangan kerja.

"Yang ditunggu-tunggu datang." Alma menyapaku ketika baru saja membuka pintu.

"Gara-gara elo ini, mah." Aku meletakkan tas berisi laptop di atas meja. Pandanganku beralih ke sekitar.

Di mana Bara? Mobilnya ada di depan, tapi orangnya nggak ada di sini?

"Woy! Kenapa?!"

Seruan Alma membuatku terkesiap. Aku menggelengkan kepala, lalu duduk di kursi kebanggaanku. Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Sosok laki-laki, tinggi, mengenakan kaus abu lengan panjang pun keluar dari kamar mandi. Laki-laki yang aku cari ternyata di kamar mandi. Bara.

"Kamu sudah datang?" sapa Bara padaku dengan pertanyaan. Anggap saja sapaan.

Senyum paksa kusungging. Sebenarnya malas. Kondisi hati aku masih kacau.

"Sar, gue tinggal keluar dulu bentar ke seberang." Alma beranjak dari tempat duduknya.

Hanya gumaman yang kuberikan, membuka laptop untuk mulai kerja."

Suara Alma terdengar pamitan pada Bara dan entah apa yang dia katakan selanjutnya aku nggak tau.

Hening.

Merasa nggak semangat kerja, aku mengalihkan pandangan ke arah Bara. Dia terlihat sedang sibuk sama HPnya. Dia memang nggak banyak bicara. Akan diam kalau nggak ada yang ingin dibicarakan. Terus, apa gunanya aku di sini? Sama saja datang atau nggaknya aku ke sini, bikin bad mood.

Suara pintu terbuka membuatku lega karena Alma cepat kembali. Setidaknya aku nggak mati kutu di dekat Bara.

"Sarah."

Suara itu membuat aku segera menatapnya. Suara itu bukan Alma, tapi Fandi. Aku kembali menatap laptop, mwngabaikan dia yang mulai mendekat. Mau apalagi dia datang menemuiku?

"Aku mau bicara sama kamu.

Ucapannya kuabaikan. Malas menanggapi. Jangankan menanggapi, menatapnya saja nggak sama sekali. Aku masih merasa sakit. Kenapa dia harus ada di sini? Bukankah kita sudah nggak ada hubungan lagi setelah kupergoki selingkuh. Mau ngejelasin apalagi? Aku sudah nggak butuh penjelasan darinya.

"Aku ingin menjelaskan salah paham ini," lanjutnya.

Sesuai dugaan. Aku mengangkat kepala, memberanikan diri buat natap dia. "Salah paham?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.

"Aku dan Nela hanya hubungan biasa." Fandi mencoba untuk berdalih.

"Hubungan biasa?" Aku tersenyum mengejek. "Sampai pegangan tangan dan ketawa bahagia? Sampai kamu nolak makan siang waktu itu dengan alasan sibuk, dan aku pergoki kamu ternyata makan siang sama Nela? Itu sibuk atau selingkuh?!" Aku mulai geram, beranjak dari tempat duduk.

Fandi menyentuh lenganku. "Sar, kamu dengar dulu penjelasan aku," bujuknya dengan nada manis.

Basi! Aku mengempaskan tangannya dari lenganku. "Aku nggak butuh penjelasan dari kamu! Aku muak dengan semua ini! Jangan lagi temui aku! Dan kamu sendiri yang bilang kalau kamu mau sukses dulu. Silakan kamu kejar kesuksesanmu itu. Aku ikhlas kamu sama Nela. Jangan ganggu aku lagi! Silakan kamu keluar dari sini!" Emosiku akhirnya keluar.

"Tapi aku nggak mau putus sama kamu." Fandi kukuh.

Langkah kuayun untuk keluar dari ruangan, tapi kedua lenganku dicekal Fandi. Aku berusaha melepas cekalan Fandi, tapi cekalan tangan dia sangat kuat. "Lepasin aku!" seruku dengan tayapan tajam.

"Maaf. Saya bukan bermaksud ikut campur dengan urusan kalian. Bisakah Anda tidak kasar dengan wanita?"

Suara itu membuat aku mengalihkan perhatian. Hampir saja aku lupa jika ada dia di sini. Aku melepas tangan Fandi dari lenganku, beranjak menghindarinya, mendekat ke arah Bara. Fandi pun menatap Bara.

"Siapa kamu? Jangan ikut campur dengan hubungan kami." Fandi mengingatkan Bara.

"Saya nggak akan ikut campur kalau Anda bisa bersikap baik dengan wanita," balas Bara santai.

"Lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau diganggu kamu. Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa." Aku mengusir Fandi.

"Bukannya laki-laki ini yang ada di restoran sama kamu waktu itu? Sedang apa dia di sini? Apa kamu selingkuh sama dia? Kamu justru menuduh aku selingkuh sama Nela? Padahal kamu juga lagi dekat sama laki-laki ini?" Fandi membalikkan fakta.

"Jaga ucapan Anda." Bara menegur. Nadanya terdengar menahan keaal.

"Kenyataannya kalian di sini berdua. Apalagi kalau bukan untuk pacaran? Aku nggak nyangka ternyata kamu licik, Sar." Fandi tersenyum setelah mengatakan hal itu. Senyum mengejek.

Ucapannya bikin aku kesal. Aku mendekat ke Fandi, lalu menampar wajahnya. Dia yang selingkuh, tapi malah nuduh aku selingkuh sama Bara. Dia terlihat kesal sambil menyentuh bekas tamparanku. Fandi akan memukulku, tapi seseorang menangkis tangannya. Aku menoleh. Bara yang menangkis tangan Fandi. Fandi terlihat geram, lalu memukul wajah Bara, membuat aku langsung memejamkan mata karena takut. Aku mendorong tubuh Fandi karena kesal.

"Kamu apa-apaan, sih? Kamu sudah gila?!" Aku menatap Fandi tajam. Geram karena perlakuan kasarnya.

"Aku nggak terima kamu selingkuhi!" Fandi masih terlihat geram.

"Kamu yang selingkuh, tapi nuduh aku! Kamu sudah nggak waras?!"

Fandi akan mendekatiku, tapi Bara mendorong tubuhnya. Fandi akan kembali memukul Bara, tapi kali ini Bara cepat menangkis. Dia mematikan gerakan Fandi dengan memutar tangannya ke belakang. Aku berjalan mundur. Fandi berusaha melawan.

Suara pintu terbuka membuat aku terkesiap. Napas lega kuhela karena kehadiran Alma. Aku segera mengampirinya, sembunyi di belakang tubuh Alma.

"Ada apa ini?" tanya Alma bingung ketika melihat Bara melepas tangan Fandi.

"Fandi nuduh aku selingkuh sama Bara padahal dia yang selingkuh sama Nela. Fandi juga mukul Bara," aduku pada Alma.

"Lo gila ya, Fan! Bara sahabat gue. Dia cowok baik-baik. Dia nggak selingkuh sama Sarah!" seru Alma mengingatkan.

"Kamu belain mereka?!" tanya Fandi marah.

"Gue nggak belain mereka. Kenyataannya memang mereka nggak pacaran kayak yang lo duga! Elo yang nggak punya malu dan etika. Sudah ketahuan selingkuh, tapi masih berani datang ke sini nemuin Sarah. Malu lo ke mana?" Alma nggak mau kalah.

Pernyataan Alma membuat Fandi seketika telak. Dia bergegas pergi dari tempat ini. Aku dan Alma menyingkir dari posisi karena menghalangi jalan. Napas lwga kuhela. Untung ada Alma. Kalau nggak, aku nggak tahu apa jadinya.

"Kamu nggak apa-apa, Bar?" tanya Alma sambil mengampiri Bara untuk memastikan.

Bara hanya tersenyum sambil mengangguk sebagai tanda kalau dia baik-baik saja. Aku jadi merasa bersalah. Dia jadi dituduh Fandi yang nggak-nggak. Semoga dia nggak marah dan tersinggung. Fandi benar-benar nggak punya malu. Sudah ketahuan selingkuh, dia malah nuduh aku sama Bara selingkuh. Keterlaluan. Aku nggak bakal maafin dia.

"Aku minta maaf karena Fandi sudah menuduh kamu yang nggak-nggak, ungkapku berterus terang karena memang awalnya juga kesalahan itu dari aku.

"Iya, nggak masalah. Aku hanya nggak suka dengan cara dia seperti itu ke kamu." Bara kembali duduk di sofa.

Aku menghampiri mereka, duduk di samping Alma untuk memastikan wajahnya baik-baik saja. "Wajah kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanyaku memastikan.

Senyum tipis kembali dia sungging sambil menggeleng. Aku kembali menelaah wajahnya. Wajah Bara sangat bersih dan putih. Dia sepertinya rajin merawat wajah. Bahkan nggak ada jerawat di sana. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya-

"Si Fandi nggak ada malunya. Sudah bikin kesalahan, malah datang ke sini cari masalah. Mengkambinghitamkan Bara pula." Alma memotong pikiranku.

Alma meletakkan minuman yang dia beli di atas meja. Bara menerima minuman pemberian Alma. Jujur, aku malu sekaligus nggak enak hati dengan Bara. Gara-gara Fandi, aku jadi seperti ini. Kenapa dia harus datang ke sini? Main tuduh-tuduh nggak jelas. Sumpah. Dia laki-laki teraneh. Nggak tahu malu dan nggak dewasa. Syukurlah, seenggaknya aku bisa lupain dia dengan tenang karena sifatnya.

♡♡♡♡

Yeee ... Sarah putus sama Fandi.
Kapan Bara sama Sarah klop?
Sabar dulu, butuh waktu 🌻

Aku udah nemu cast buat Sarah.
Next part aku tunjukin.

Selamat Malmingan!
Kaum jomlo apa kabar malam minggu begini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro