Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Paling senang kalau konsumen puas dengan desain karakter dan bahan yang keluar setiap edisi. Sebagai pembuat karakter sablon kaus, aku pun merasa senang. Kalau dibilang puas, nggak lah. Aku masih belum puas karena kerjaan ini masih terus berlanjut sampai kapan pun. Walaupun kadang dapat respon negatif, tapi aku berusaha ambil positifnya saja. Aku beruntung punya sahabat seperti Alma. Kita sama-sama saling mengerti walaupun lebih banyak dia yang ngertiin aku.

Sweter di tubuh segera kulepas. Sweter lama rasa baru. Baru karena ada sesuatu yang berbeda. Ada sablonan karakter Palestina di bagian depan sweter yang kukenakan. Sebagai contoh, aku menyablon sweter ini dengan karakter Palestina desainku, tapi Bara menolaknya. Menurutku ini bagus, tapi nggak tahu kenapa Bara nolak. Dia memilih desain lain karena aku membuat beberapa contoh desain untuknya. Pesanan Bara pun akan segera diproses kalau bahan sudah ada. Ada kebahagiaan sendiri bisa bantu dia. Semangatnya buat brrbagi sangat tinggi. Bahkan dia menyisihkan tabungannya buat donasi ke sana. Pemuda hebat.

"Lo datang kapan? Kok gue nggak dengar lo buka pintu atau suara lain?"

Pandangan kulempar ke sumber suara. Alma terlihat barus aja keluar dari kamar mandi. "Baru saja gue datang. Ya kali gue grusuk-grusuk mau masuk ke sini." Aku membalasnya santai.

"Jaket baru?" tanya Alma sambil menatap jaket yang aku gantung di belakang kursi.

"Jaket lama rasa baru. Cuma gue sablon gambar karakter yang nggak dipilih Bara," tukasku.

"Lo udah ke tempat sablon?" Alma duduk di kursinya.

"Belum. Gue nunggu Bara, katanya mau ke sini buat ninjau tempat sablon sama sekalian mau hunting bahan. Kalau sweter ini, gue minta tolong Angga buat sablonin." Aku mulai berkutat pada laptop.

"Gue nggak bisa ikut, Sar. Rio ngajak gue makan siang sekalian milih undangan buat pernikahan kita."

Tatapanku langsung ke arah Alma. Dia masih sibuk dengan laptopnya. "Lo serius mau nikah tahun ini?" Aku memastikan.

"Ya kali gue bohong sama semua orang." Alma membalas santai.

Jujur, aku merasa sedih di atas kebahagiaannya. Aku dan Fandi lebih dulu menjalin hubungan daripada Alma dan Rio, tapi kenapa justru mereka yang lebih dulu ke pelaminan. Mungkin aku memang harus tegas sama Fandi. Aku nggak mau hubungan kita seperti ini terus. Hubungan kita butuh kepastian. Kalau dia nggak serius, terpaksa aku harus rela melepaskannya walaupun berat. Aku sudah cinta mati sama Fandi. Satu tahun lebih kita pacaran dan hubungan kami nggak terus-terusan seperti ini. Apalagi Mama sering tanya, kapan Fandi ke rumah buat lamar aku? Pusing aku rasanya.

"Sarah!"

Seruan Alma membuyarkan pikiranku. Hanya gumaman yang kuberi untuk membalasnya. Hatiku lagi galau karena Fandi.

"Bara lagi di jalan mau ke sini. Gue suruh ajak Hasan biar Bara nggak risih karena cuma berdua sama lo. Sekalian nanti belanja bahan buat edisi bulan depan. Gue transfer ke rekening elo sekalian bayar kontrakan distro cabang setahun ke depan. Gue takut lupa kalau nunggu pekan depan. Jangan lupa lo bayarin ke bokap lo. Entar lo lupa lagi." Alma menyampaikan.

"Bukannya masalah bayaran biasanya elo langsung? Gue malas urusan bayar-bayaran. Mending lo langsung yang bayar ke Putro nanti." Aku menolak masalah belanja.

"Sekalian, Sar. Kan lo mau ketemu Putro. Kalau gue ikut juga, ya pasti gue yang bayar. Sekali-sekali lo berhadapan duit sama Putro." Alma tertawa setelah mengatakan hal itu.

Hanya menghela napas yang kulakukan. Aku memang malas kalau disuruh hitung-hitungan uang. Prinsipku hanya percaya, dan syukurnya aku punya teman seperti Alma. Distro cabang memang ngontrak ruko punya papaku. Tempat ini sebenarnya pun punya Papa, tapi beliau kasih tempat ini ke aku waktu awal merintis sebagai modal dari beliau. Aku bersyukur karena sudah tiga tahun merintis bisnis ini sejak lulus kuliah dan masih terus berjalan sampai sekarang.

Lamunanku buyar ketika mendengar pintu ruangan ini terbuka. Aku menoleh ke sumber suara. Jasmin masuk ke dalam ruangan ini.

"Mbak, ada tamu mau ketemu sama Mbak Alma dan Mbak Sarah," kata Jasmin.

"Dua cowok?" tebak Alma.

"Iya, Mbak." Jasmin mengangguk.

"Suruh masuk saja." Alma menambahi.

Posisi duduk kegera kubetulkan. Jangan sampai terlihat kaku di depan Bara. Tak lama, pintu pun terbuka disertai salam. Beberapa benda yang berserakan di atas meja juga tak lupa kurapikan. Kalimat salam terdengar menggema. Siapa lagi kalau bukan suara Bara? Suara dia sangat khas. Berat.

"Wa alaikumussalam." Alma menjawab salam Bara. "Masuk, Bar. Sarah sudah nungguin kamu," lanjutnya.

Aku? Kenapa aku? Siapa yang nungguin dia? Perasaan dia yang nungguin Bara. Entah kenapa aku masih merasa canggung dengan kehadiran Bara di sini.

Bara sudah duduk di sofa yang ada sebelah kanan pintu. Wajah Bara selalu meneduhkan hati. Pakaian yang simpel pun terasa pas di tubuhnya. Aku suka gaya pakaiannya. Nggak berlebihan, tapi nggak norak juga.

"Hasan mana?" tanya Alma.

"Ada di luar. Dia lagi lihat-lihat koleksi distro kalian." Bara membalas.

Dan aku hanya mendengarkan obrolan mereka tanpa ingin bergabung. Lagian nggak ada yang ingin aku sampaikan ke dia. Mending aku fokus ke laptop. Aku nggak mau SKSD.

"Sarah."

Peehatianku teralih, menoleh perlahan ke sumber suara. Bara manggil aku.

"Kita jalan sekarang saja, gimana?" Bara menyarankan.

"Terserah. Aku tergantung kamu mau jalannya kapan," balasku santai.

Dia hanya tersenyum tipis. Aku beranjak dari kursi karena Bara pun sudah beranjak dari sofa. Kalau saja dia bukan teman Alma, mungkin aku nggak mau ikut ribet seperti ini. Apalagi ketemu Putro. Paling malas ketemu makhluk akstral satu itu.

"Mas, aku mau ini."

Perhatianku teralih pada suara Hasan. Kulihat, dia memegang topi keluaran lama di distro. Bara terlihat mengangguk. Hasan pun tersenyum senang dan menuju kasir.

"San," panggilku.

Hasan menghentikan langkah, menatap aku yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Kenapa, Kak?" tanyanya.

"Nggak usah bayar. Itu buat kamu." Aku tersenyum.

"Nggak. Jangan gitu. Aku bayar saja." Bara menolak.

"Nggak apa-apa. Lagian itu keluaran lama. Anggap saja hadiah dari aku buat Hasan." Aku tak mau kalah. "Jasmin. Bungkusin topi itu, dan jangan menerima uang dari Hasan atau Kak Bara." Aku menginstruksi Jasmin.

Jasmin hanya mengangguk. Hasan menolak untuk membungkus topi itu. Dia memilih untuk mengenakannya langsung. Aku melanjukan langkah untuk keluar dari distro.

"Terima kasih, Kak." Hasan terdengar sangat senang.

Terlihat Bara membukakan pintu mobil untukku. Aku terdiam karena mendapatkan perlakuan tak biasa darinya. Bukan hanya darinnya, bahkan Fandi tak pernah melakukan itu untukku kecuali aku memintanya. Aku terkesiap ketika mendengar pintu lain tertutup, lalu bergegas masuk karena Bara sudah menunggu. Beruntung banget pacar Bara dapat kekasih sebaik dan pengertian seperti Bara.

Selama dalam perjalanan menuju tempat konveksi Putro, aku memilih diam. Alunan nasyed pun menemani perjalanan kami. Sesekali Hasan memulai obrolan mengenai kuliahnya di Turki. Aku hanya menyimak obrolan mereka. Sesekali aku mencuri pandang ke Bara yang sedang sibuk menyetir.

Ya Allah, sumpah dia ganteng banget. Sayangnya Bara tipe laki-laki cuek. Kata Alma, dia nggak cuek, tapi jaga pandangan. Masa iya dia jaga pandangan dari semua orang?

Lantunan ayat suci mengusik perhatianku. Tatapan kulempar ke arah DVD. Mati. Aku menatap Bara. Dia yang sedang melantunkan ayat suci. Ingatanku kembali pada tempo hari saat di masjid. Aku menggelengkan kepala saat hatiku menebak jika laki-laki itu adalah Bara. Tapi suara persisi banget sama Bara. Aku nggak mungkin salah dengar. Bara dan Hasan sama-sama hafal Quran. Suara mereka juga hampir mirip. Nggak tahu awalnya darimana mereka sampai berbalas hafalan seperti ini. Sepertinya Bara menguji hafalan adiknya. Mereka sangat kompak. Ada rasa bangga ketika mereka bisa menghafal ayat-ayat suci Alquran. Entah kenapa aku merasa tenang mendengar lantunan ayat suci dari mereka.

Aku terkesiap ketika mobil ini berhenti di sisi jalan. Pandangan kualihkan ke luar kaca. Nggak terasa kami sudah sampai di konveksi milik Putro. "Kita parkir saja di depan garasi konveksi Putro." Aku menyarankan.

Bara mengangguk, melajukan mobilnya untuk parkir di depan konveksi milik putro. Setelah itu, aku, Bara dan Hasan pun turun dari mobil. Aku langsung mengenalkan Bara pada Putro saat tiba di dalam. Membiarkan mereka saling mengobrol. Aku sibuk dengan tujuanku, mencari sampel untuk keperluan distro. Sesekali aku memerhatikan Bara dan Putro yang sedang berbincang.

Setelah urusan Bara selesai, dan aku sudah memesan keperluanku untuk distro, kami pun langsung meninggalkan tempat konveksi Putro untuk menuju tempat sablon milik Rizki, teman bisnisku. Aku berusaha totalitas membantu Bara. Dan lagian, apa yang dilakukan Bara untuk hal baik. Ya, hitung-hitung cari pahala karena sudah membantunya.

"Sar, aku dan Hasan mau salat dulu karena sudah masuk waktu Zuhur. Habis salat, kita makan siang dulu, baru ke tempat sablon. Gimana?" tanya Bara membuka obrolan padaku.

Aku menoleh ke arah Bara, lalu mengangguk. "Aku tunggu di dalam mobil saja," balasku.

Bara hanya mengangguk. Kami tiba di halaman masjid yang letaknya tak jauh dari tempat sablon. Bara dan Hasan sudah turun dari mobil, meninggalkan aku sendiri di dalam mobil. Itu kemauanku karena aku nggak ikut salat. Tempat ini nggak jauh dari kantornya Fandi. Sebenarnya, aku ingin makan siang sama dia, tapi dia sibuk katanya. Dia selalu sibuk dengan kerjaannya. Mending aku ajak Bara sama Hasan makan siang di tempat langganan aku biasa makan siang sama Fandi. Lokasinya juga nggak jauh dari sini. Semoga saja Bara mau.

Bara dan Hasan masuk ke dalam mobil setelah selesai melakukan salat. Aku langsung mengajukan niatku mengusulkan untuk makan siang di tempat yang aku inginkan. Aku senang karena Bara menyetujui tanpa banyak tanya. Hasan pun mengikuti. Kami langsung menuju ke tempat itu.

Aku melebarkan senyum ketika tiba di halaman restoran kesukaanku. Aku masuk ke dalam diikuti Bara dan Hasan. Walaupun nggak bisa makan siang bareng Fandi di sini, seenggaknya aku ada teman buat makan siang di sini. Barangkali jadi rekomendasi buat Bara mengenai kuliner di restoran ini.

"Mas, aku ke toilet dulu." Hasan izin ke toilet.

Bara mengangguk. Aku duduk di kursi kosong dekat dengan pintu masuk. Hanya meja ini salah satu yang kosong. Aku mengedarkan pandangan untuk memanggil pelayan restoran ini.

"Mas!" seruku sambil melambaikan tangan pada pelayan laki-laki.

Orang yang kupanggil menghampiriku, siap mencatat pesananku. Lebih tepatnya pesanan kami. Aku menyampaikan pesanan makanan yang kuinginkan. Bara pun menyampaikan pesanannya. Hasan sudah selesai dengan keperluannya di toilet, dan langsung menyampaikan pesanan makanannya.

"Aku mau ke toilet dulu." Aku beranjak dari kursi.

Bara hanya mengangguk. Aku melangkah meninggalkan meja untuk menuju toilet. Terdengar suara yang sangat aku kenal. Aku menghentikan langkah, menoleh ke arah tangga. Pandanganku fokus pada laki-laki dan wanita yang sedang bergandengan tangan mesra.

"Fandi." Aku bersuara.

Mereka menoleh ke arahku. Fandi terlihat kaget, lalu melepas tangan wanita yang ada di sampingnya. Dia Nela, teman kantor Fandi. Mataku memanas. Air mata menggenang.

"Ini alasan kamu nggak mau makan siang sama aku?" tanyaku.

Fandi menghampiriku. "Bukan begitu, Sar. Aku sama Nela hanya makan siang biasa." Dia berkilah.

"Makan siang biasa? Sampai pegangan tangan?!" Aku emosi.

"Sar. Aku bisa jelaskan." Nela bersuara.

Kepala kugelengkan. "Aku lebih nggak nyangka ke kamu, Nel. Aku pikir kamu orang baik, tapi ternyata nggak. Jadi benar ya, info yang aku dapat dari teman aku nggak salah. Kalian pacaran di belakang aku." Aku tak kuasa menahan tangis.

Mereka hanya terdiam. Terdiam karena tertangkap basah. Aku meninggalkan mereka karena rasanya sakit. Kenapa mereka tega lakuin ini ke aku?

Aku mengusap air mata ketika tiba di hadapan Bara. "Kita pindah tempat makan saja." Aku menyampaikan.

"Kenapa?" tanya Bara bingung.

Aku menggeleng, berlalu dari hadapan Bara untuk keluar dari tempat ini. Sumpah, rasanya sesak banget hati aku. Selama ini Fandi bohongi aku. Selama ini, isu yang aku dapat dari teman-teman ternyata benar. Fandi selingkuh. Dan parahnya dia selingkuh sama Nela, teman kantor yang sering Fandi ceritakan ke aku. Bodohnya aku selama ini.

"Kak Sarah."

Pintu mobil segera kubuka, lalu masuk ke dalam. Hasan pun masuk ke dalam. Nggak tahu Bara ke mana. Hatiku semakin sakit ketika melihat Fandi dan Nela masuk ke dalam mobil. Air mata kembali mengalir di pipiku. Fandi lebih mementingkan Nela daripada aku. Bodoh banget aku selama ini. Aku dibodohi Fandi sama Nela. Aku benci sama mereka.

Air mata segera kuusap ketika Bara masuk ke dalam mobil ini. Pandanganku masih ke luar kaca. Hening. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Entah yang lain. Mereka sepertinya nggak tahu kalau aku habis mergoki pacarku selingkuh. Aku galau.

♡♡♡♡

Silakan bully Fandi 🤣🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro