Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa hari dari pertemuan itu, Bara masih belum juga hubungi aku masalah contoh desain yang dia inginkan. Aku heran. Sebenarnya dia niat atau nggak buat bikin clothing. Dia yang butuh kenapa aku jadi yang kepikiran. Masalahnya juga aku sibuk harus mikir buat desain sablon edisi berikutnya. Aku yang terlalu buru-buru atau Bara yang terlalu santai. Pusing ah!

Deringan ponsel membuatku terkesiap. Kuraih benda pipih itu. Fandi. Aku menghela napas. Sudah beberapa hari kuabaikan telepon darinya. Haruskah aku menerima panggilan telepon darinya?

Aku menempelkan benda pipih yang kupegang pada telinga setelah menggeser ke warna hijau. Gumaman keluar dari mulut untuk menyapanya.

"Kamu di mana?" tanyanya.

"Di distro." Aku membalas datar.

"Cepat keluar. Aku sudah di depan distro kamu."

Tirai kusibak. Mobil Fandi terlihat parkir di depan distro. "Aku siap-siap," ucapku.

Layar ponsel kutatap, lalu menghela napas. Seharusnya, sebagai laki-laki yang baik itu turun dari mobil, masuk ke sini, baru ajak aku keluar. Ini nggak! Dia malah nyuruh aku turun sendiri dan seenak jidat dia. Cowok nggak peka!

"Sar, ada Fandi di depan."

Aku tak menatap Alma, memilih untuk bergumam sebagai tanda balasan untuknya. Aku sibuk memasukan laptop ke dalam tas. Alma duduk di kursinya.

"Lo balik lagi ke sini nggak? Gue mau ngajak lo jenguk ibunya Bara nanti sore. Tapi kalau lo sibuk nggak masalah gue datang ke sana sendiri," ajaknya.

Apa ini alasan Bara masih belum hubungi aku masalah contoh untuk aku desain? Aku sudah prasangka jelek sama dia. Dia juga pasti sibuk dengan kerjaannya.

"Sar!" seru Alma.

"Iya, nanti gue WA. Gue pergi dulu." Aku keluar dari ruangan karena Fandi pasti sudah lama menunggu. Bisa marah dia kalau nunggu lama.

"Jas, aku pergi dulu." Aku pamit pada Jasmin.

"Iya, Mbak," balasnya.

Pintu utama distro kubuka, menghampiri mobil Fandi, lalu masuk ke dalam kendaraan itu. Aku menoleh sekilas ke arahnya. Biasa saja. Dia langsung melajukan mobil menuju tempat tujuannya.

"Sibuk banget sampai lupa sama aku." Fandi membuka obrolan.

"Iya, lagi banyak pesanan dan barang masuk." Aku membalas santai.

"Sampai nggak mau angkat telepon aku. Nggak biasanya kamu seperti ini." Fandi terdengar ketus.

"Lagi bad mood," balasku seadanya.

"Masih mengenai pas terakhir kita ketemu?" tanyanya.

Kalau sudah tahu kenapa nanya? Nggak peka banget jadi cowok. Kapan pekanya?

"Kamu jangan khawatir. Aku pasti nikahin kamu. Kamu cuma butuh sabar." Dia masih dengan janjinya yang menunda.

Dari dulu juga bilangnya seperti itu. Sabar, sabar, sabar. Aku juga punya batas sabar. Enak banget kamu bilang aku suruh sabar. Bilang saja masih belum siap. Males.

Fandi menggerakan tangan untuk menyentuh tanganku, tapi aku menarik tangan untuk menghindarinya. Aku masih kesal dengannya.

"Kamu kenapa?"

"Aku butuh bukti kalau kamu beneran serius mau nikahi aku. Minimal tunangan dulu. Aku pacaran sama kamu lebih dulu daripada Alma sama Rio. Tapi mereka dulu yang tunangan, malah Rio yang maksa buat tunangan. Kenapa kamu santai dan nggak mikir ke arah situ?" Aku mengungkapkan tanpa menatapnya, masih berusaha tenang.

Tak ada jawaban. Aku menoleh sekilas ke arah Fandi. Dia terdiam. Aku ingin lihat, seberapa dia serius sama hubungan kita. Sudah lama aku sabar menanti jawaban keseriusan darinya. Nggak mau aku terus-terusan seperti ini. Digantung.

"Aku akan buktikan, tapi nggak sekarang. Untuk bulan-bulan ke depan aku akan sibuk mengenai peluncuran produk baru." Dia kembali beralasan.

Bola mataku menjuling. Sudah banyak alasan yang dia berikan padaku. Sibuklah, ini lah, itu lah. Basi!

Tanpa menunggu dibukakan, aku langsung turun dari mobil ketika kami tiba di restoran yang cukup terkenal. Aku duduk di kursi kosong sesuai petunjuk dari pelayan restoran ini. Buku menu langsung kubuka untuk memilih makanan yang akan kupesan. Aku memesan makanan dan minuman seperti biasa. Kuberikan kembali buku menu pada pelayan. Fandi masih memilih menu. Aku meraih ponsel untuk memastikan barangkali ada pesan penting masuk ke dalam ponselku. Mataku tertuju pada nama yang sedang kupikirkan dari kemarin. Bara.

From: Bara
Assalamu'alaikum
Maaf kalau aku baru bisa kabari kamu sekarang.
Aku sibuk dengan pasien dan ditambah ibuku sakit.

Senyum kusungging setelah membaca pesannya. Aku segera membalas peaan dari Bara.

To: Bara
Wa alaikumussalam.
Iya, nggak masalah.
Tadi Alma juga bilang gitu ke aku.
Santai saja, aku nggak ngejar-ngejar, kok.

"Siapa?"

Perhatianku teralih. Ganggu saja. "Reseller," balasku singkat. Kuletakkan ponsel di atas meja setelah membalas pesan dari Bara.

"Minggu ini aku nggak bisa ajak kamu jalan karena aku mau ke Bandung buat acara kantor. Kalau bukan acara kantor, mungkin aku bakal ajak kamu." Fandi membuka obrolan.

"Iya, nggak masalah. Lagian, menurut kamu kantor lebih penting dari pada aku. Tumben mau keluar kota izin sama aku. Biasanya juga kasih kabarnya kalau sudah sampai tempat tujuan," balasku datar. Lebih ke arah menyindir.

"Bukan seperti itu, Sar." Dia mengelak.

Laptop kuraih, lalu meletakannya di atas meja. Aku malas menanggapinya. Mau liburan ke Bandung, ke Jawa, atau ke manapun, aku nggak peduli. Kecuali dia berencana buat lamar aku secepatnya baru aku peduli.

Kami menikmati makan siang bersama seperti nggak kenal satu sama lain. Aku diam, dia juga diam. Entahlah. Aku juga malas nanggapi dia. Nggak tahu kenapa sekarang hubungan kami rasanya hambar seperti sayur tanpa garam.

***

Langkah kuayun gontai memasuki distro. Rasa kesalku sama Fandi semakin memuncak. Aku dibiarkan pulang naik ojek daring sama dia. Bukannya dia ngantar aku ke sini, tapi aku malah balik ke sini naik ojek. Sumpah! Aku kesal banget sama dia!

"Lo kenapa? Habis ketemu pacar bukannya senang malah ditekuk gitu muka lo. Habis perang lagi lo sama Fandi?" tanya Alma ketika aku masuk ke dalam ruangan kerja.

Tas  kulempar ke atas meja, lalu duduk di kursi kerja. Aku menghela napas kasar. "Makin lama hubungan gue sama Fandi tambah hambar. Lo bayangin, gue pulang ke sini nggak dianterin. Dia malah langsung balik ke kantor. Sumpah! Gue sebal banget," ucapku dengan nada kesal.

"Dia sibuk kali. Lo juga harus maklumi." Alma masih saja bela dia.

Punggung kusandarkan pada kepala kursi, memejamkan mata buat berusaha tenang. "Kalau merasa sibuk ya nggak usah ngajak gue makan siang dari pada bikin gue makin kesal sama dia. Dia harusnya sadar diri. Apalagi kondisi gue lagi seperti ini sama dia. Lama-lama kalau nggak ada kepastian, gue bisa nyari lagi yang serius sama gue."

"Ingat, Sar. Ucapan adalah doa." Alma mengingatkan.

"Gue sadar. Kalau memang ada yang lebih baik dan lebih serius dari Fandi kenapa nggak? Gue mau yang pasti-pasti saja." Aku tak mau kalah.

Tak ada jawaban. Mungkin dia menyadari kalau aku nggak main-main dengan apa yang keluar dari mulutku. Aku memang nggak pernah main-main kalau ngomong.

Terdengar suara ponsel menggema. Itu bunyi nada dering ponsel Alma. Aku masih diam, memejamkan mata. Terdwngar Alma berbicara dengan tim pemasaran. Lebih baik aku tidur daripada pusing mikirin Fandi. Mau pulang ke rumah sudah janji sama Alma mau ikut dia nengokin ibunya Bara.

"Sarah."

Mata kukerjapkan mendengar panggilan Alma. Perasaan belum lama aku tidur, tapi Alma sudah bangunin. Kuusap kedua kelopak mata untuk menormalkan indera penglihatan. Aku menegakkan tubuh.

"Prasaan  gue baru tidur, tapi sudah dibangunin saja sama elo. Ada apa?" tanyaku serak khas bangun tidur.

"Sudah Asar, woy. Jadi nggak ikut gue ke rumah Bara? Sekalian lihat contoh karakter yang dia mau," balasnya.

"Gue ke kamar mandi dulu." Aku beranjak dari kursi, lalu berjalan menuju kamar mandi.

Jilbab segera kulepas dari kepala, mambasuh wajah hingga rata, lalu mwngeringkannyadengan handuk. Setelah selesai, aku menatap wajah dari pantulan cermin. Kupoles wajahku dengan krim supaya tidak terlihat pucat. Tak lupa kuoleskan lipblam ke bibir. Aku kembali mengenakan jilbab segi empat yang biasa kupakai sehari-hari saat keluar rumah. Kulangkahkan kaki untuk keluar dari kamar mandi.

"Lo tidur lagi di kamar mandi?" tanya Alma ketika aku keluar dari kamar mandi.

"Iya. Gue semedi di sana," balasku tak kalah.

Kulihat dia tertawa sambil menutup laptopnya. Aku meraih tas, lalu memasukan laptop ke dalamnya. Tak lupa kumasukan ponsel dan keperluanku ke dalam tas lain. Alma sudah selesai mengemas barangnya. Aku pun mengikutinya dari belakang setelah selesai mengemasi barangku. Hari ini aku nggak bawa mobil. Kita ke rumah Bara naik taksi.

"Jas, kita pergi dulu." Alma izin pada Jasmin.

"Iya, Mbak." Jasmin membalas sambil mengangguk.

Aku dan Alma pun meluar dari distro. Taksi dengan lambang burung pun sudah ada di depan distro. Alma memang paling cepat kalau urusan seperti ini. Aku pun masuk ke dalam taksi.

"Pak, nanti kalau ada toko buah berhenti dulu ya sebentar. Aku mau beli buah." Alma mengintruksi sopir taksi ketika taksi ini sudah mulai melaju.

Sopir taksi hanya mengangguk. Aku pun masih terdiam karena masih tersisa rasa kantuk membebani mataku.

"Bara sudah WA lo, Sar?"

Aku menoleh ke Alma. "Sudah," balasku singkat.

"Masih bad mood masalah Fandi?" tanya Alma.

"Iya. Nggak tahu kenapa nggak hilang-hilang rasa kesal gue ke dia." Aku membalas.

"Aku traktir makan habis dari rumah Bara." Alma menghibur.

Aku menatapnya. "Bukan sogokan, kan?" Aku memastikan.

"Sogokan apa? Aku memang serius mau traktir kamu."

"Kirain sogokan biar aku nggak ngadu ke Rio." Aku melanjutkan.

Alma tertawa. "Aku sudah izin Rio kali sebelum ke rumah Bara dan dia nggak masalah."

Syukurlah. Jujur, aku sebenarnya iri dengan hubungan asmara Alma sama Rio. Rio pengertian banget dan nggak atur-atur Alma. Sedangkan Fandi? Dia nggak pernah ada waktu buat aku. Jemput aku saja jarang banget kalau nggak aku paksa. Rio hampir setiap hari jemput Alma. Tambah lagi sekarang mereka sudah tunangan. Makin lengket mereka seperti permen karet. Coba Fandi seperti Rio. Perhatian, dewasa, lembut. Mimpi apa aku. Huft.

Aku turun dari taksi ketika sampai di tempat tujuan. Kutatap bangunan yang ada di depanku. Terlihat asri. Alma mengajakku masuk. Aku mengikutinya.

"Kangen gua sama suasana ini. Nggak banyak yang berubah." Alma terdengar senang.

Ya. Suasananya asri. Banyak pohon menghiasi taman depan. Ada pendopo dan kolam ikan di ujung taman. Aku kembali fokus pada tujuan ketika Alma mengetuk pintu disertai salam.

"Wa alaikumussalam." Terdengar jawaban salam dari dalam. Suara laki-laki.

Pintu pun terbuka. Kulihat sosok laki-laki sebaya dengan adikku berdiri di balik pintu.

"Bara ada, San?" tanya Alma.

"Mbak Alma." Dia tersenyuman pada Alma. "Mas! Ada Mbak Alma!" serunya ke dalam sambil membuka pintu lebar.

Dia pasti adiknya Bara. Wajahnya agak mirip dengan Bara. Aku dan Alma masuk ke dalam rumah Bara untuk menuju kamar ibunya karena ajakan adiknya Bara. Aku menatapi setiap ruangan yang kulalui. Rumah ini terlihat nyaman dan tenang. Kami pun masuk ke sebuah kamar. Kudengar lantunan ayat-ayat suci yang tak asing dalam ingatan. Terlihat Bara sedang duduk di samping ibunya yang tertidur di atas ranjang.

"Mas," lirih adiknya, masih bisa didengar.

Bara mengakhiri tilawah, lalu menutup Alquran. Dia menoleh ke arah kami. Senyum terukir di bibirnya. Dia beranjak dari tempat duduk. Aku dan Alma mendekat ke arahnya. Alma memberikan buah tangan yang ia bawa pada Bara.

"Terima kasih," ucapnya ketika menerima buah tangan dari Alma.

"Bagaimana keadaan ibu kamu?" tanya Alma.

"Sudah membaik," balasnya sambil meletakkan buah tangan kami di atas meja.

"Siapa, Bar?"

Kami sontak menoleh ke arah ibunya Bara. Istirahat beliau seperrtinya terganggu dengan kehadiran kami.

"Alma, Mi. Dia datang mau jenguk Umi." Bara membalas pertanyaan ibunya.

Alma mendekati beliau, lalu meraih tangan beliau dan mencium punggung tangannya. Aku hanya menatap mereka yang sedang menikmati obrolan ringan.

"Dia siapa? Umi baru lihat?" tanya beliau kemudian mengenai aku.

"Ini teman Alma, Mi, namanya Sarah." Alma mengenalkan aku pada ibunya Bara.

Aku pun mendekat, meraih tangan beliau dan mencium punggung tangannya.

Kami terlibat obrolan ringan bersama ibunya Bara. Beliau wanita yang kuat. Aku teringat dengan cerita Alma mengenai Bara dan ibunya. Banyak pengorbanan yang sudah mereka lakukan. Sebenarnya, beliau enggan meninggalkan Palestina, tapi beliau memikirkan masa depan Bara. Beliau ingin melihat Bara tumbuh dewasa dan tanpa dibayangi penindasan kaum zionis. Aku tersentuh.

Setelah selesai berbincang ringan dengan ibunya Bara, kami pun diajak ke pendopo yang ada di samping rumah Bara. Alma cukup dikenal keluarga Bara karena dulu sering main ke sini. Tak heran, adinya Bara pun mengenal Alma. Pantas saja Alma tahu tentang keluarga Bara karena dia sudah sering ke sini.

Bara bukan hanya tampan, tapi dia juga penyayang sama ibunya. Andai saja Fandi seperti dia. Ya ampun, Sarah! Kamu mikir apa, sih?!

"Kamu sudah tentukan bahannya, Bar? Jadinya mau bikin apa? Kaus? Sweter? Syal?" tanya Alma membuka obrolan serius.

"Semuanya boleh, tapi bertahap." Bara membalas sambil membuka laptopnya.

Hasan pun bergabung dengan kami. Dia membawakan makanan dan minuman untuk kami. Dia pun akan ikut berperan dalam hal ini. Hasan adiknya Bara. Adik satu rahim, beda ayah. Dia baru pulang dari Turki karena sedang libur.

Aku membuka laptop yang sudah kuambil dari dalam tas ketika tiba di pendopo ini. "Aku kemarin sempat coret-coret bikin desain. Coba kamu lihat." Aku menunjukkan contoh desain pada Bara.

"Bagus itu, Mas." Hasan berkomentar.

"Bagaimana dengan ini?" Bara menunjukkan hasil desainnya.

Aku menilai dan memberi pendapat pada desain buatan Bara. Masih ada yang kurang kalau menurutku. Semua tergantung pada keputusan Bara. Bisa kugambarkan lagi jika dia mau. Kami pun tenggelam dalam diskusi mengenai permintaan Bara. Obrolan pun diselingi dengan candaan dari Hasan. Aku suka dengan Hasan karena dia ramah dan baik. Sifatnya berbeda dengan Bara yang pendiam. Bukan berarti Bara nggak baik. Mereka sangat baik karena terlahir dari ibu yang baik juga.

♡♡♡

Castnya Bara sudah ada.
Aku butuh castnya Sarah.
Ada yang mau kasih saran, muslimah mana yang cocok buat Bara di cerita ini?

Coret-coret yuk siapa yang cocok jadi cast Sarah.
Langsung koment saja dan seret n akun IG-nyanya, nanti aku tinjau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro